Categories
101

Absurdism, Sisyphus, dan Camus

Albert Camus terkadang adalah seorang tokoh yang seringkali dipikirkan sebagai salah satu tokoh eksistensialisme. Hal ini mungkin terjadi karena beberapa hal, Camus yang dekat dengan Sartre semasa hidupnya, dirinya yang memiliki pandangan yang merupakan campuran dari optimisme kemanusiaan dan pesimisme terhadap dunia, atau karena eksistensialisme sendiri terdiri dari kumpulan orang-orang yang saling tidak setuju dengan ide satu dengan yang lain sehingga menimbulkan kebingungan mengenai apa sesungguhnya yang dimaksud dengan eksistensialisme dan apakah eksistensialisme merupakan aliran filsafat sungguhan atau hanyalah label untuk orang-orang menyebalkan yang tanpa arah dan selalu bertanya-tanya, “Kenapa kondisi kehidupan manusia seperti ini?” Terlepas dari apakah Camus dan absurdisme itu sendiri sesungguhnya dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari klub eksistentialisme atau tidak, tidak dapat dipungkiri bahwa selama hidupnya, Camus telah membentuk pemikiran khas dia sendiri. 

            Meskipun absurdisme biasanya dijelaskan sebagai “kondisi absurd manusia yang dipaksa untuk hidup di dunia yang tanpa makna meskipun manusia menginginkan makna hidup,” absurdisme merupakan aliran yang lebih mendalam dari kalimat tersebut. Absurdisme pertama-tama merupakan hasil dari refleksi penulisnya terhadap kehidupan yang telah dijalaninya selama ini, bukan sebuah sistem dingin yang mencoba untuk menghilangkan sisi subjektivitas pengalaman yang personal untuk mencari kebenaran yang diluar sana. Akan tetapi, bukan berarti absurdisme hanyalah sebuah karya romantis yang menceritakan pergumulan emosional yang kekanak-kanakan. Meskipun kisah “absurd” yang dituliskan Camus pada The Myth of Sisyphus mungkin lebih romantis dibandingkan Being and Nothingness yang ditulis Sartre, romantisisme yang dibawakan The Myth of Sisyphus merupakan romantisisme yang didasarkan pada pandangan realistis terhadap dunia. Malahan, dapat dikatakan romantisisme yang muncul merupakan hasil dari pandangan realistis terhadap kehidupan manusia di dunia, kehidupan yang dipenuhi pergumulan yang harus dijalani sehari-hari. 

            Pandangan ini mungkin sebagian dipengaruhi oleh kesulitan dalam kehidupan Camus sendiri. Albert Camus bukanlah orang yang dilahirkan oleh keluarga yang berkecukupan. Albert Camus lahir di koloni Prancis di Algeria dalam sebuah keluarga yang miskin, meskipun mungkin tidak miskin sekali. Meskipun begitu, karena dirinya dilahirkan di koloni Perancis, Camus sangat mengenali bentuk rasisme yang dilakukan oleh institusi kolonial Prancis terhadap orang-orang Arab dan Berber di tanah kelahirannya. Camus, meskipun lahir di keluarga yang tidak selalu berkecukupan, memiliki sebuah kebebasan tertentu dari tindak diskriminasi, yakni kewarganegaraannya sebagai seorang warga negara Prancis, kekuatan hukum yang tidak dimiliki oleh orang-orang Arab dan Berber di Algeria. Meskipun begitu, Camus mengembangkan rasa kemanusiaan dengan dosis yang sehat terhadap orang-orang di Algeria. Kemanusiaan ini dia tuangkan kedalam aktivismenya. Berbeda dengan Sartre, rekan kerjanya, yang nampaknya memiliki semangat yang berapi-api terhadap kegiatan politik dengan ideologi tertentu, nampaknya Camus sendiri bergabung dengan berbagai macam partai dan organisasi aktivisme bukan karena kepercayaan dirinya terhadap ideologi-ideologi yang ada di luar melainkan karena ideologi yang dia pegang sendiri dalam hatinya. Hal inilah yang menyebabkan dia ditendang keluar dari partai beraliran kiri yang berkembang di Algeria pada masa mudanya, dan hal inilah yang membuat dia kesal dengan birokrasi kolonial Prancis yang lebih kurang menghargai “kehormatan manusia.”

Photo by jimmy teoh from Pexels

            Kedekatan dirinya dengan penderitaan manusia, serta rasa kemanusiaannya yang aktif tertuang dalam karya-karyanya. Akan tetapi, mungkin karyanya yang karena alasan tertentu menjadi semacam “manifesto” dari absurdisme adalah esai reflektifnya yang berjudul The Myth of Sisyphus. Esai ini merupakan refleksi dari sebuah tokoh dari legenda Yunani, Sisyphus, yang dihukum oleh dewa-dewa yang ada setelah dia mati untuk mendorong batu berat naik ke puncak bukit, hanya untuk melihat batu tersebut menggelinding kembali ke kaki bukit tersebut. Setelah itu, Sisyphus harus mendorong batu itu lagi kembali ke puncak bukit yang ada, dan demikian seterusnya untuk selama-lamanya. Akan tetapi, untuk mengerti sepenuhnya absurdisme yang dituangkan oleh Camus dalam cerita ini, kita harus mengetahui kenapa Sisyphus mendapatkan hukuman tersebut. Singkatnya, Sisyphus adalah seseorang yang menyebalkan, setidaknya dari pandangan dewa-dewa yang menghukumnya. Ada yang mengatakan Sisyphus tidak sopan kepada dewa-dewa yang ada karena menyuruh seseorang untuk mempersembahkan persembahan ke dewa-dewa dalam bentuk air, ada yang juga yang menyatakan bahwa dia, entah karena alasan apa, memutuskan untuk memenjarakan Kematian, sebuah tindakan yang membuat dewa orang mati menjadi sedih karena tidak ada orang lagi yang mati. 

            Alasan terakhir, alasan yang mungkin menjadi alasan favorit Camus, atau setidaknya alasan yang mungkin memiliki peranan penting dalam absurdisme, adalah ketidakinginan Sisyphus untuk kembali ke dunia orang mati. Alkisah Sisyphus, mungkin karena dia ingin menguji cinta istrinya, meminta kepada istrinya untuk membuang tubuh Sisyphus ketika dia sudah meninggal ke persimpangan jalan di pusat kota tempat mereka tinggal. Karena begitu besar cinta istrinya kepada Sisyphus, ketika dia meninggal, dibuanglah tubuhnya ke persimpangan jalan tersebut, sesuai dengan permintaan suami tercintanya. Atau mungkin istrinya kurang mencintainya sehingga istrinya tidak memberlakukan mayat Sisyphus dengan hormat. Setidaknya dari sini kita belajar untuk tidak menjadi menyebalkan dan kekanak-kanakan ke pasangan kita, sebab menguji cinta pasangan kita dengan cara yang dilakukan Sisyphus tidaklah lain dari sebuah tindakan yang pada masa kini hanya dapat diklasifikasikan sebagai perilaku pasif-agresif dari pasangan yang tidak sehat secara kejiwaan yang dapat dipastikan akan membuat relasi dengan pasangan tercinta yang ada menjadi hancur dalam hitungan hari. Singkatnya, jangan lakukan hal yang sama. 

            Sisyphus, yang mengetahui permintaan terakhirnya dikabulkan oleh istrinya, menjadi marah dan meminta dewa orang mati untuk membiarkannya kembali ke dunia orang hidup untuk memarahi istrinya. Di sini, mungkin kita dapat berpikir bahwa Sisyphus tidak tahu terima kasih. Permintaanya dikabulkan dan dia marah. Akan tetapi, hal itu tidak penting dalam absurdisme. Hal yang penting disini adalah ketika Sisyphus kembali ke dunia orang hidup, dia menyukai segalanya. Dia menyukai cerahnya sinar matahari, hembusan angin yang menyegarkan jiwa, pemandangan laut yang indah, yang pada akhirnya membuatnya tidak mau kembali ke dunia orang mati yang gelap dan membosankan. Akibatnya, Sisyphus dipanggil pulang oleh dewa orang mati. Akan tetapi, Sisyphus malah kabur kemana-mana. Pesan-pesan dewa, kemarahan dewa, semuanya tidak dihiraukan oleh dirinya. Setelah bertahun-tahun, akhirnya Dewa Merkurius, dewa pembawa pesan, disuruh untuk menarik Sisyphus ke dunia orang mati. Pada saat inilah Sisyphus mendapatkan hukuman untuk mendorong batu untuk selama-lamanya. 

            Mungkin kita dapat berpikir, jika demikian, maka Sisyphus layak untuk diberikan hukuman yang didapatkannya. Akan tetapi, berpikir demikian hanyalah mengalihkan fokus kita kepada detil yang tidak penting. Terkadang, kita terlalu terokupasi dengan apakah orang tersebut layak mendapatkan suatu perlakuan atau tidak, apakah kewajiban seseorang mengharuskan seseorang menjalankan suatu tugas atau tidak, atau apakah seseorang harus menjalani sebuah kehidupan tertentu atau tidak. Meskipun betul mungkin pada kisah yang lain, diskusi seperti itu dapat berguna, tapi pada kenyataanya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu hanyalah mengaburkan kita dari kondisi sesungguhnya, yakni kondisi tragis yang dimunculkan oleh kenyataan bahwa Sisyphus merupakan seseorang yang hidup. Patut diingat, Camus sendiri sedikit banyak merupakan seorang humanis. Dia sendiri membenci birokrasi Kolonial Perancis karena mereka mengutamakan efisiensi birokrasi dibandingkan keadilan dan rasa kemanusiaan. Oleh karena itu, kita harus mengembalikan fokus kita dari hal-hal yang tidak penting seperti diskusi, “Seperti apa manusia yang bermoral?” atau, “Apa itu manusia?” dan segala diskusi lainnya yang seakan-akan nampaknya memanusiakan manusia tapi pada akhirnya hanya memberlakukan manusia seperti sesuatu yang digunakan untuk kepentingan justifikasi sistem ide yang ada dan mengabstrakan manusia menjadi sebuah roda gigi dalam sebuah sistem ide yang ingin dikemukakan, kepada fokus utama penting yang patut diperhatikan, yakni bahwa setiap manusia memiliki emosi, pikiran, harapan, dan masa lalunya sendiri. Singkatnya, kita harus kembali ke realitas brutal yang ada bahwa setiap manusia memiliki kesadarannya sendiri-sendiri. 

            Hal inilah yang memberikan makna tragis kepada Sisyphus sang Pendorong Batu. Jika kita hanya membatasi diskusi kita pada kelayakan atau ketidaklayakan dirinya untuk mendapat hukuman yang diterimanya, kita akan mengaburkan kenyataan bahwa ketika Sisyphus melihat batu yang sedang menggelinding ke bawah, dia merasa putus asa dan frustasi seiring dengan kembalinya ingatan akan hangatnya sinar matahari dan indahnya pemandangan laut yang dia nikmati selama dia berada di dunia orang hidup. Sisyphus adalah seseorang yang hidup, yang sadar akan kondisi di sekelilingnya. Kisah ini tragis sebab Sisyphus bukanlah seseorang yang terbatas pada kondisi ini saja. Sama seperti seseorang yang terpaksa menjalani pergumulan untuk makan setiap harinya akibat kemiskinan yang dideritanya, Sisyphus mampu membayangkan apa yang mungkin dapat terjadi diluar kondisi yang sedang dihadapinya sekarang. Bahkan, tanpa membayangkan hal lain yang dapat terjadi jika dia setidaknya tidak dihukum oleh dewa atau bahkan jika dia sekarang masih hidup dan menikmati hangatnya matahari diatasnya, rasa frustasi dan kekesalannya, atau bahkan pengalaman dirinya ketika dia melihat batu tersebut menggelinding kembali ke kaki bukit yang ada sudah cukup untuk membentuk ketragisan yang ada. Ketragisan muncul terutama ketika seseorang sadar akan sekelilingnya, sebab kesadaran itulah yang menjadikan dia lebih tinggi dari pergumulan yang dia hadapi, akan tetapi pada saat yang bersamaan dibatasi oleh pergumulan yang mengunci takdirnya. 

            Ketragisan tidak akan muncul jika seseorang tidak ada kesadaran penuh akan situasi yang sedang dihadapi. Oedipus, seseorang yang ditakdirkan untuk membunuh ayahnya sendiri dan menikahi ibunya sendiri, tidak merasakan adanya ketragisan dari nasibnya ketika dia tanpa mengetahui apa-apa membunuh ayahnya sendiri. Keseriusan dan rasa berat dari situasi yang sedang dihadapi hanya muncul ketika Oedipus sadar akan apa yang telah dilakukannya ketika semua takdirnya telah dipenuhi, sesuatu yang telah dilakukannya secara sadar semasa hidupnya di masa lalu tanpa sepengetahuannya, atau ketika seorang pengemudi menyadari bahwa tanah longsor telah mengubur keluarganya hidup-hidup. Kesadaran inilah yang menyimbolkan kehormatan manusia. Lewat kesadaran inilah manusia dapat menyadari hal lain yang dapat terjadi dan lewat kesadaran inilah manusia dapat bangkit di atas takdirnya tersebut. 

            Bangkit di atas takdirnya tidak serta-merta berarti manusia mampu mengubah situasinya. Lagipula, Sisyphus yang menyadari kesulitan situasinya ketika dia melihat batu yang telah didorongnya dengan susah payah sedang menggelinding jatuh ke kaki bukit, tidak mampu keluar dari hukuman ini. Dengan kata lain, dia secara efektif tidak memiliki pilihan lain selain turun ke kaki bukit mengejar batu tersebut dan mendorongnya kembali ke atas menuju puncak bukit tersebut, sama seperti seorang ibu-ibu yang terpaksa meninggalkan bayinya di panti asuhan sebab ibu tersebut tidak memiliki kekuatan ekonomi atau bahkan kemampuan yang memadai untuk mendukung perkembangan bayinya di masa depan nanti. Bisa saja, ibu tersebut tinggal di tempat yang berbahaya yang dapat mengancam kesehatan bayi tersebut. Tentu saja ibu tersebut tidak ingin untuk meninggalkan bayinya. Jika mungkin, dia ingin sekali membesarkan bayi tersebut. Dia mungkin membayangkan seandainya nasibnya tidak seperti ini, seandainya situasi ekonomi sedang tidak dibawah resesi, atau bahkan setidaknya jika dia dilahirkan dalam ras lain, ras yang tidak dipaksa untuk tinggal secara terpisah di tempat yang berbahaya seperti yang sedang terjadi padanya. Padahal apalah itu ras? Apalah itu uang? Apa segitu kuat dan nyata kekuatan impersonal ini hingga dapat memisahkan ibu tersebut dari anaknya? Akan tetapi, apakah yang dapat dilakukannya?

            Inilah mengapa situasi yang ada terasa begitu absurd. Bagi Sisyphus yang dipaksa untuk mendorong batu di luar pilihannya hanya karena dia begitu mencintai laut dan bumi. Siapa yang dapat menyalahkannya jika dia tidak menyukai dunia orang mati yang gelap dan dingin? Siapa yang ingin menekan kemanusiaannya atas nama tanggung jawab dan berkata, “Ya memang seharusnya begitu bagi orang mati untuk tinggal dibawah tanah.” Suatu situasi yang bahkan tidak memiliki makna yang hakiki? Apalah makna dari ras, dari kondisi ekonomi, kehormatan bangsa, atau takdir tuhan yang harus memaksa orang untuk beramai-ramai dibantai di kamar gas? 

            Akan tetapi, perasaan absurd yang merupakan bentuk protes terhadap situasi yang ada ini di saat yang bersamaan membuka jalan bagi respons dari penderitanya. Perasaan kesal dan benci, kemarahan terhadap alam dan terhadap Yang Maha Kuasa merupakan bukti bahwa sekuat apapun alam yang memberikan penderitaan, sekuat apapun Tuhan yang katanya mencintai manusia tapi memperbolehkan kecelakaan yang absurd, seseorang tetap tidak bisa dikuasai sepenuhnya. “Aku adalah seorang manusia!” merupakan sebuah teriakan yang dapat dilontarkan, walaupun hanya untuk menunjukkan di bawah penderitaan, diriku tidak sepenuhnya dibentuk oleh penderitaan ini. “Aku benci akan semua ini!” merupakan bukti bahwa tidak ada tuhan atau alam yang mampu mengontrol semua aspek hidup seseorang, tak peduli seberapa kecilnya orang tersebut. Seseorang bisa marah, seseorang bisa benci, dan seseorang bisa menatap ke masa lalunya yang telah membawanya ke situasinya dia sekarang dan menyatakan bahwa “semuanya baik-baik saja”.

            Inilah yang dilakukan oleh Oedipus setelah dia menyadari nasibnya, setelah dia melaksanakan semua takdirnya, dan melihat ke masa lalunya. “Semuanya baik-baik saja,” begitu pikirnya. Semua takdir merupakan takdir seseorang, semua penderitaan adalah penderitaan seseorang. Meskipun baik takdir maupun penderitaan seseorang mungkin merupakan sesuatu yang sekilas impersonal, sebab takdir dan penderitaan bisa datang kepada siapapun tanpa pandang bulu, pada akhirnya tetap saya dan Anda yang menjalaninya, tetapi kita sebagai manusia yang membuat hal tersebut terjadi. Takdir dan penderitaan yang ada menjadi kisah dari kisah kita, kisah dari orang-orang yang menjalaninya. Kitalah yang membuat itu terjadi, sehingga takdir atau penderitaan hanyalah sesuatu yang pada akhirnya memiliki ciri khas manusia, sesuatu yang memiliki nama dari masing-masing orang yang menjalaninya. Ingatlah, diluar manusia tidak ada rasa kepedulian, tidak ada rencana yang lebih besar di luar kerja keras manusia. Batu tersebut bisa menggelinding lagi tanpa rasa peduli pada kita, kerja keras kita selama ini dapat dibasmi oleh resesi ekonomi, dan tidak ada yang akan peduli. Kita dapat berdoa, kita dapat marah, tapi pada akhirnya dunia ini diam. Dunia memiliki terlalu banyak orang yang menderita untuk memberikan sedikit waktu untuk kita. Tuhan terlalu sibuk dengan urusannya untuk berurusan dengan perempuan di Jepang yang disekap, disiksa secara brutal, dan diperkosa berkali-kali secara kasar selama 40 hari lamanya sampai dia meninggal. 

            Dunia tidak peduli, tapi bukan berarti semuanya pasti akan berakhir dengan buruk. Kita dapat dan akan terus berusaha, kita dapat terus berjuang untuk menggapai mimpi kita di tengah dunia yang kasar dan dingin. Dunia ini tidak ada takdir, setidaknya tidak ada takdir yang diberikan oleh Tuhan untuk tujuan tertentu. Takdir adalah hasil dari perilaku kita sendiri, seperti nasib Sisyphus merupakan hasil dari perilakunya sendiri, dari keputusan dirinya untuk mengekspresikan cintanya untuk kehidupan. Setiap penderitaan adalah penderitaan yang aku secara sadar jalani sehari-hari, bukan sebuah penderitaan yang jalan dengan sendirinya. Aku masih hidup.  Inilah sebabnya mengapa kemenangan terasa manis dan kekalahan terasa pahit, sebab kemenangan maupun kekalahan merupakan hasil dari kerja keras kita dan memiliki nama kita sebagai meterai diatasnya. Inilah juga sebabnya mengapa kita tidak akan jatuh kedalam nihilisme, sebab pada akhirnya kita tetap ingin berjuang, dan merasa bahwa ada sesuatu yang layak untuk dipertahankan, entah itu keluarga kita, pasangan kita, atau kebahagiaan kecil yang selama ini kita miliki. Kita adalah tuan dari hidup kita sendiri, layaknya seperti cacing yang bergumul di bawah tanah, dan tidak ada Tuhan maupun kekuatan lainnya yang dapat menguasai kita dan mengambil pemberontakan kita dari dalam diri kita.

            Inilah sebabnya mengapa Sisyphus bahagia, dan kenapa Oedipus berpikir bahwa semuanya baik-baik saja, sebab pada akhirnya, jika memang dunia ini memberikan penderitaan tanpa alasan, jika hukuman untuk dirinya adalah untuk menunjukan dunia yang dingin kepadanya, pada akhirnya kehormatan manusia, kesadaran manusia, merupakan penentu dari segalanya. Mungkin bukanlah sesuatu yang salah jika penderitaan hanya dapat ada jika manusia adalah tuan dari hidupnya, sebab seseorang tidak bisa mengetahui gelap tanpa mampu membayangkan terang, sama seperti Sisyphus tidak akan tahu ketragisan penderitaannya jika dia tidak mampu membayangkan kehidupan di dunia orang hidup. 

Sebagai penutup, oleh karena itu, kata “absurd” dari absurdisme bukanlah sebuah kata yang menggambarkan hal yang teknis, melainkan sebuah ekspresi protes kepada Yang Maha Kuasa, atau setidaknya, jika Tuhan tidak ada, sebuah ekspresi kekecewaan terhadap dunia yang tidak peduli terhadap nasib orang-orang susah, yang dibarengi dengan perasaan kesegaran dan kebebasan tertentu yang didapatkan dari ketidakpedulian dunia itu sendiri. 

Reference:

Kaufmann, W. (1956). Existentialism from Dostoevsky to Sartre. World Publ. Co. 

One reply on “Absurdism, Sisyphus, dan Camus”

Blog yang menarik, mengingatkan saya akan kata-kata Albert Camus:” Saya lelaki Mediterranean, dengan badan sehat yang menyembah keindahan dan badan seperti orang Yunani kuno. Saya berada di antara kesengsaraan dan sinar matahari. Kesengsaraan menghentikan saya akan kepercayaan akan bahwa semua baik adanya di bawah matahari, dan akan sejarah; matahari mengajari saya bahwa sejarah bukanlah segalanya. ”
Saya mencoba menulis blog tentang Albert Camus, semoga anda juga suka: http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/08/wawancara-dengan-albert.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *