Pada tahun 2012 lalu, serangkaian eksperimen menarik pernah dilakukan oleh Jeremy Yip dan Stephane Cote. Yip adalah seorang asisten profesor dari Universitas Yale, sedangkan Cote adalah seorang profesor di bidang perilaku organisasi dari Universitas Toronto.
Satu kelompok mahasiswa dibuat cemas dengan diberitahu bahwa mereka akan membuat pidato secara impromptu alias dadakan, dalam waktu satu menit. Tema pidato tersebut: mengapa saya adalah kandidat karyawan yang baik. Mereka juga diberitahu bahwa pidato tersebut akan direkam dan mendapat evaluasi.
Kelompok lain, diminta untuk mengerjakan tugas yang “netral”, yakni menuju ke serambi kampus untuk mencari daftar belanja. Setelah kedua kelompok ini mengerjakan tugas mereka, sebuah kuesioner kecemasan diberikan. Setelahnya, penelitian selesai. Mereka tak pernah benar-benar berpidato ataupun belanja ke supermarket.
Kelompok pidato memang selanjutnya menunjukkan tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibanding kelompok satunya. Namun, eksperimen tersebut belum usai.
Di eksperimen kedua, hal yang sama dilakukan, tetapi dengan sedikit modifikasi. Pertama, sebagian orang di kelompok pidato tadi diberitahu bahwa mereka “mungkin akan cemas sebab kebanyakan orang akan cemas ketika harus berpidato”. Kemudian, sebagian orang di kelompok satunya diberitahu bahwa mereka “mungkin tidak merasakan emosi apa-apa sebab kebanyakan orang tidak merasakan emosi apapun saat membuat daftar belanja”.
Yip dan Cote juga menambahkan beberapa variabel lain untuk diukur pada partisipan penelitian, seperti pengambilan resiko, kemampuan kognitif, serta demografi.
Eksperimen ini kemudian memberitahu kita bahwa jika seseorang mengetahui bahwa emosi mereka tidak relevan dengan situasi yang dialami, maka resiko dari kecemasan yang datang akan lebih kecil. Pemahaman akan emosi membuat seseorang mampu membuat keputusan dan mengambil resiko dengan lebih baik.
Seorang investor yang memiliki pemahaman emosi yang rendah bisa saja membuat keputusan yang salah setelah melihat kecelakaan tragis di jalan. Seorang guru juga bisa menjadi galak secara tiba-tiba kepada muridnya karena sebelum berangkat mengajar, tanaman kesayangannya diacak-acak kucing.
Dari contoh di atas, kita dapat mengetahui bahwa kecerdasan emosional adalah hal yang penting. Oleh karena itu, diskursus “kecerdasan emosional vs kecerdasan intelektual” menjadi sebuah topik menarik.
Kemampuan mengolah dan mengidentifikasi emosi tidak kalah penting dibanding kecerdasan intelektual, yang umumnya menjadi acuan penilaian dalam berbagai macam bidang. Paul Ekman, seorang psikolog yang terkenal dengan teorinya mengenai emosi, menjelaskan bahwa emosi bisa mendahului peran dari drive atau dorongan insting manusia.
Pernahkah Anda tidak jadi makan setelah kekasih Anda berkata-kata kurang baik kepada Anda? Pernahkah Anda ingin memarahi anak kecil, tapi ketika ia menangis hati Anda luluh? Atau sebuah film bagus menahan kelopak mata Anda, sehingga Anda begadang padahal esok harus bangun pagi? Atau Anda jadi malas nongkrong karena tiba-tiba orang tua Anda memberitahu bahwa mereka sedang kesulitan finansial?
Di zaman yang begitu terbuka, menurut saya kecerdasan emosional bisa jadi lebih dibutuhkan. Sebab, kini semua orang bisa menjadi cerdas,. Kasarnya, mau pintar tinggal buka Google. Mau gelar, universitas semakin banyak. Mau ikut kuliah luar negeri, di internet banyak sekali yang gratis.
Dalam menghadapi arus informasi yang kencang, tahu mana yang benar dan bohong memang penting, tapi penting juga untuk tidak terpancing oleh narasi-narasi yang kacau. Kita mungkin tahu bahwa sebuah pernyataan salah, tetapi menahan emosi untuk tidak menyerang sana-sini juga adalah sebuah kebijaksanaan. Sama halnya ketika kita tahu bahwa sesuatu benar, menahan diri untuk tidak menyerang mereka yang berbeda juga keputusan yang bijak.
Banyak pula kita temui informasi sensitif dan personal yang diunggah ke media sosial semata karena kekesalan. Banyak pula kita jumpai konten-konten “kurang ajar” yang sengaja dibuat demi kesenangan dan popularitas. Hal tersebut bukan hanya terkait undang-undang atau polisi siber, melainkan juga etika dan adab kita sebagai manusia sosial—yang bisa emosional juga.
Kemampuan identifikasi dan manajemen emosi tidaklah bisa diajarkan dengan pendekatan yang sama seperti pengetahuan kognitif. Kita tak bisa mengajar seorang manusia untuk mendengarkan manusia lain hanya dengan membeberkan “bagaimana menjadi pendengar yang baik”.
Satu-satunya cara untuk mempelajari kemampuan tersebut adalah dengan melakukannya berulang-ulang. Kita perlu—bahkan harus—menjadikannya sebuah kebiasaan. Membiasakan diri mengolah emosi, membiasakan diri memahami emosi, baik ke diri sendiri maupun ke orang lain.
Referensi:
Cherry, K. (2020, June 3). What is emotional intelligence? Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/what-is-emotional-intelligence-2795423
PsyBlog. (2016, October 16). High emotional intelligence dramatically improves decision-making. https://www.spring.org.uk/2013/12/high-emotional-intelligence-dramatically-improves-decision-making.php
Psychology Today. (n.d.). Emotional intelligence. https://www.psychologytoday.com/us/basics/emotional-intelligence
Yip, J. A., & Côté, S. (2013). The emotionally intelligent decision maker: Emotion-understanding ability reduces the effect of incidental anxiety on risk taking. Psychological Science, 24(1), 48-55.