Ateisme seringkali dipertentangkan dengan teologi, khususnya dalam teologi Kristen. Para teolog pun terkadang bersikap begitu ofensif terhadap gagasan-gagasan “ateisme”, hingga narasi ateisme sebagai “musuh agama” mendominasi wacana teologi arus utama. Namun, apakah gagasan “ateisme” selalu destruktif dalam hubungannya dengan iman? Apakah ada ruang pertemuan antara ateisme dan keberagamaan? Atau, dua hal itu selalu dalam posisi saling bertentangan?
Slavoj Zizek dalam beberapa forum mengeklaim dirinya sebagai ateis-Kristen. Ia sering sekali membahas bagaimana cara memaknai hal-hal teologis dalam wacana ateisme Kristen. Untuk pandangannya itu, Zizek jelas berseberangan dengan pemikir ateisme populer seperti Bertrand Russel, Richard Dawkins, dan Sam Harris, yang oleh Zizek disebut sebagai “ateis liberal-sentris”. Bagi Zizek, ateisme bukan sekadar produk saintisme dan logika positivistik.1 Bahkan, menurutnya, mustahil seseorang bisa menjadi “ateis” tanpa melalui kekristenan. Itulah mengapa Zizek mengeklaim dirinya sebagai seorang ateis-Kristen, sebuah klaim yang seakan-akan kontradiktif karena menyatukan kekristenan dan ateisme.
Klaim ateis-Kristen ala Zizek sebenarnya bukanlah gagasan yang baru,mengingat polemik ateisme religius pertama kali hadir pada tahun 1960-an, khususnya dalam teologi “Death of God” (selanjutnya disingkat DOG). Teologi “kematian Tuhan” mendasari struktur berteologinya dalam “kematian Tuhan”. Beberapa penulis mengaitkan asal-usul istilah DOG dengan adagium “Tuhan telah mati”-nya Nietzsche. Bahkan, lebih jauh lagi, ada upaya mengadopsi konsep Nietzsche tentang Tuhan dalam teologi DOG.
Dalam pemikiran Nietzsche, kita bisa melihat runtutan negasi pada doktrin Kristen yang optimistik, eskatologis, dan metafisikal. Peter Levine menyebut Nietzsche sebagai “anti-Kristen” dalam artian yang sebenarnya, bukan hanya anti terhadap konsep “Yesus” versi kekristenan Hellenistik (Levine, 2012: 204–207). Negasi Nietzsche yang paling esensial menunjukkan moralitas manusia yang hanya bergantung pada “sebuah pegangan” untuk disembah sebagai “ilah”, sehingga manusia memiliki moralitas dan mentalitas budak akibat ketergantungannya itu. Maka, segala bentuk “ke-ilah-an” dan sosok yang dipuja itu harus mati demi mendapatkan nilai manusia yang utuh versi Nietzsche (Übermensch).
Setyo Wibowo bahkan melihat Nietzsche sebagai sosok yang lebih radikal, karena Nietzsche juga mengkritik ateisme sebagai bentuk “ketergantungan pada sebuah pegangan” (Wibowo, 2009: 27–28). Dalam ateisme, “ketiadaan Tuhan” pun dijadikan sebagai “pegangan” untuk terus disembah, sehingga mentalitas budak tetaplah ada, dalam diri seorang ateis tulen sekalipun.
Secara sekilas, pemikiran Nietzsche tentang nihilisme dan anti-Kristen adalah bentuk ketidakbertuhanan dalam tingkatan “amat parah”. Namun, pemikiran Nietzsche bukanlah gagasan nihilistik akut yang sangat non-teologis, justru pemikiran itu sangat “teologis” sehingga menjadi fondasi penting dalam teologi DOG.
Thomas Altizer adalah pemikir penting dalam teologi DOG. Bagi Altizer, negasi yang mendalam adalah bentuk afirmasi yang mendalam. Altizer mengadopsi pemikiran negasional Nietzsche sebagai basis utamanya dalam berteologi. Baginya, Nietzsche justru adalah seorang teolog (Altizer, 2012: 9–10). Negasi-negasi Nietzsche adalah gagasan yang sangat teologis bagi Altizer, karena “kematian Tuhan” sebagai “kisah akhir” adalah sebuah keberawalan teologis. Dalam “kematian Tuhan”, ada peleburan segala hal yang transenden. Telah terjadi transformasi Tuhan yang transenden menuju Tuhan yang sepenuhnya imanen, Tuhan yang berada di alam ilahi menuju dunia fisik.
Dalam teologi Altizer, inkarnasi Tuhan adalah esensi yang penting. Jika berangkat dari konsep inkarnasi Kristus dalam teologi Kristen, “Allah sudah menjadi manusia” dan Ia telah mati dalam tubuh seorang manusia bernama Yesus. Hal ini membuat transendensi-Nya telah hilang dan Tuhan telah sepenuhnya menjadi sesuatu yang imanen. Kematian Yesus di kayu salib adalah kematian Tuhan yang selama ini berada dalam dunia ilahi, sehingga implikasi yang dibawa oleh teologi DOG adalah realitas imanen. Tidaklah penting lagi realitas metafisik dan transenden dalam DOG. Beberapa sarjana menyebut DOG sebagai teologi materialis karena semua pembacaan terhadap etika, doktrin ketuhanan, tradisi, hingga sejarah adalah pembacaan material.
Teologi DOG bisa dilihat sebagai upaya untuk keluar dari kekangan bineritas dalam membicarakan hal-hal teologis dan spiritual. Untuk itu, teologi DOG banyak dikaitkan dengan teologi pascamodern. Vanhoozer mengklasifikasikan teologi DOG ala Altizer sebagai satu dari empat tipologi teologi pascamodern (Vanhoozer, 2003: 19–20), sehingga kita bisa melihat relevansi linear antara teologi DOG dan pascamodernisme.
Pascamodernisme sendiri menurut Bambang Sugiharto adalah kritik filosofis atas gambaran dunia (worldview) beserta epistemologi dan ide ide era modern. Dalam konsep Lyotard, proyek filosofis pascamodernisme adalah merespon “narasi besar” (grand-narrative). Realitas pun dipahami secara tunggal melalui “narasi-narasi besar” itu.
Maka, teologi DOG adalah upaya merespon “narasi besar” dalam diskursus teologi. Argumennya adalah bahwa kebenaran tidak bisa dilihat secara hitam-putih dan mutlak berwacana tunggal. Dalam konteks ini, ateisme Kristen berupaya melihat “Tuhan” dalam “ketidakbertuhanan”, sehingga perbincangan tentang Tuhan adalah percakapan dialogis dan dinamis. Teologi dalam konteks ini selalu membuka diri terhadap interupsi, refleksi kritis, tantangan, dan dialog-dialog yang interaktif.
Selanjutnya, teologi DOG memiliki tugas yang lebih kompleks lagi, mengingat ide-ide teologi modern pun banyak yang diwariskan dari teologi pramodern, mulai era skolastik, patristik, sampai klasik. Wacana dekonstruktif ala teologi DOG akhirnya menjadi lebih besar dan lebih luas lagi, terutama menyangkut upaya pembacaan ulang wacana teologi secara sistematik dari zaman ke zaman.
Secara sederhana, “bertuhan” melalui teologi nihilis ala Nietzsche adalah mungkin. Namun, gagasan-gagasan ini kemudian memiliki dampak epistemik dalam “pencarian Tuhan” dalam kondisi “ketidakbertuhanan”. Hal ini terlihat dari pembacaan terhadap doktrin agama, teks-teks suci, hingga ritus umat beragama. Zizek, misalnya, melakukan pembacaan menarik pada doktrin roh kudus dalam teologi Kristen. Secara klasik, roh Kudus dipahami sebagai sesuatu yang spiritual dan metafisik. Ia adalah sosok yang diutus untuk membimbing orang beriman dan komunitasnya, seperti tercatat dalam Yohanes 14:26:
“Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.”
Zizek melihat bahwa roh Kudus bukanlah “roh” dalam pengertian spiritual, tapi roh Kudus adalah sosok nyata “universalisme egalitarian” (Zizek, 2000: 123–127) . Roh Kudus lahir sebagai konsekuensi dari ikatan solidaritas berdasarkan kasih. Kehadiran roh Kudus dalam “ruang dan waktu” bukanlah perkara metafisik, melainkan perkara sosial. Tafsir roh Kudus dalam konteks material ini adalah konsekuensi dari gagasan ateisme Kristen. Secara menyeluruh, upaya materialisasi doktrin dilakukan sebagai agenda utama teologi pascamodern.
Materialisasi semacam itu terlihat juga ketika kita membaca sejarah panjang kekristenan. Hal ini dibahas banyak oleh Altizer. Sejarah dogma bagi Altizer tidak bisa dipisahkan dari dominasi dan dan hegemoni otoritas politik. Dalam sejarahnya, kekristenan berawal sebagai sebuah gerakan minoritas. Yesus dan para pengikutnya adalah rakyat tanah jajahan, karena bangsa Yahudi pada masa itu dijajah oleh kekaisaran Romawi. Bahkan, Yesus sendiri mati dalam peradilan hukum kekaisaran Romawi.
Pada abad satu sampai empat Masehi, sejarah kekristenan adalah sejarah orang-orang yang ditindas kekaisaran Romawi. Pembantaian, penyiksaan, hingga pembunuhan sadistik mengisi catatan sejarah kekristenan. Akibatnya, orang orang Kristen “terpaksa” keluar dari area kekaisaran Romawi, menyebabkan ketersebaran dan diaspora. Hal ini membuat doktrin kekristenan menjadi sangat beragam. Belum lagi, ditambah pertemuan doktrinal dengan kepercayaan lokal di masing-masing tempat diaspora berada. Kekristenan era ini menyebar hingga ke Eropa Barat, wilayah Mediterania, hingga India Selatan.
Semua itu berubah pada abad empat, ketika Konstantin Agung memeluk agama Kristen. Perubahan besar terjadi karena agama Kristen menjadi agama resmi kekaisaran Romawi, bersatu dengan otoritas politik dan memegang kekuasaan. Konsekuensinya, dogma agama Kristen yang sangat beragam akibat diaspora itu perlu diseragamkan sesuai kebutuhan otoritas politik. Menurut Altizer, dalam sejarah dogma Kristen, ortodoksi dogma kekristenan adalah instrumen fundamental dalam meneguhkan tatanan sosial-politik imperium Romawi (Altizer, 2002: 79–80). Sesat tidaknya sebuah ajaran ditentukan oleh sebuah otoritas tunggal yang pro-Kekaisaran. Untuk memahami klaim kebenaran tentang doktrin yang “benar” dan “sesat”, diperlukan analisis materialisme historis.
Proyek kesejarahan ini dilakukan para ateis-Kristen, khususnya untuk melakukan materialisasi doktrin sesuai dengan konteks sosio-historis. Dengan ini, ateisme-Kristen berupaya membebaskan diri dari “gambaran-gambaran Tuhan” sebagai dogma otoritatif hasil kepentingan penguasa politik dari zaman ke zaman. Dalam bahasa Altizer, ateisme-Kristen menolak “christendom” yang dihasilkan kekristenan-Konstantin (Altizer. 2002: 27–28). Hal ini memperlihatkan proyek pemikiran ateis Kristen bukan hanya bersikap kritis terhadap filsafat ketuhanan tapi juga terhadap sejarah, dogma, tafsir, sampai ritus.
Lewat ateisme-Kristen, kita bisa melihat sebuah alternatif cara bertuhan. Ateisme tidak selalu bersifat destruktif terhadap upaya “bertuhan”, malah ateisme bisa menjadi rekan dialog dalam berteologi. Ateisme religius semacam ini bisa menjadi titik temu kewacanaan untuk mengembangkan sebuah spiritualitas dari pembacaan terhadap ateisme.
Gagasan-gagasan ini merupakan bentuk kritik pada teologi arus utama yang lebih dulu memusuhi ateisme tanpa berdialektika. Gagasan Altizer dan Zizek bisa menjadi alternatif untuk tetap “bertuhan” dalam “ketidakbertuhanan”.
Catatan Kaki
[1] Saintisme dalam konteks ini adalah cara pandang yang melihat semua realitas bisa dijelaskan melalui metode ilmiah. Sehingga, sains adalah sumber penjelasan tentang realitas yang paling penting, serius, berguna, dan otoritatif bagi manusia. Lihat Tom Sorell (1991) “Scientism: Philosophy and the Infatuation with science”.
Daftar Pustaka
Altizer, T. J. J. 2002. The New Gospel of Christian Atheism. Aurora: The Davies Group Publishers.
Altizer, T. J. J. 2012. The Call to Radical Theology. New York: State University of New York Press.
Levine, Peter. 2012. Nietzsche: Potret Besar Sang Filsuf. Yogyakarta: IRCiSoD.
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Vanhoozer, K. J. (eds). 2003. The Cambridge Companion to Postmodern Theology. New York: Cambridge University Press.
Wibowo, Setyo, dkk. 2009. Para Pembunuh Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.
Zizek, Slavoj. 2000. The Fragile Absolute: Or, Why Is the Christian Legacy Worth Fighting For?. London: Verso Books.