Categories
101

Belajar dari Kegagalan Penanganan Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda

“History repeats itself, the first as tragedy, then as farce.”

Karl Marx, The Eighteenth Brumaire of Louis Napoleon

Jika kita mempelajari literatur-literatur sejarah kesehatan terutama terkait dengan sejarah wabah penyakit, maka kita akan menemui berbagai historiografi terkait Pandemi Influenza, atau yang lebih sering disebut Pandemi Spanyol. Wabah penyakit mematikan yang dinamakan Influenza tersebut menjalar dari dataran Benua Eropa, Amerika, Asia, Afrika, hingga Australia pada tahun 1918. Hasilnya, hampir seluruh populasi dunia saat itu, yang diperkirakan terdapat sekitar 3 miliar penduduk, terdampak dari wabah tersebut.

Berdasarkan berbagai laporan arsip dan catatan pemerintah kolonial, ternyata Pandemi Influenza pernah muncul juga di Hindia Belanda. Kemunculan Influenza di Hindia Belanda telah terjadi dalam berbagai periode. Dari berbagai periode yang ada, Pandemi Influenza 1918 menjadi wabah dengan dampak paling besar di Hindia Belanda. Pandemi tersebut tercatat sebagai wabah penyakit terganas dalam sejarah umat manusia karena merenggut jutaan korban. Diperkirakan terdapat 20 sampai 50 juta orang meninggal dunia karena wabah penyakit mematikan tersebut.[1]

Namun demikian, literatur-literatur yang kita baca selama ini hanya terbatas pada gambaran Pandemi Influenza di berbagai negara Eropa. Padahal, berbagai jenis wabah penyakit pernah terjadi di Hindia Belanda, termasuk Wabah Influenza. Dari banyaknya jenis wabah penyakit yang terjadi dalam sejarah umat manusia, kita akan menemui sebuah perulangan (repetition) yang terus berlangsung hingga kini. Pola-pola pengulangan sejarah yang kemudian dapat menjadi penjelasan historis yang diperlukan untuk mengetahui gambaran masyarakat Hindia Belanda dalam menghadapi Pandemi Influenza. Singkat kata, dari hal ini kita dapat mempelajari pola-pola yang berulang untuk menentukan langkah-langkah konkret dalam menghadapi Pandemi yang sedang terjadi saat ini.[2]

Kemunculan Influenza di Hindia Belanda

Sebelum tahun 1918, berbagai jenis penyakit flu pernah merebak di berbagai wilayah di Hindia Belanda. Penyebaran wabah penyakit yang dimaksud masih bersifat lokal dan tidak menyebar secara luas. Selain itu, jumlah korban yang terkena penyakit ini tidak banyak jika dibandingkan jumlah penduduk setempat.

Awal mula masuknya penyebaran wabah penyakit Influenza 1918 di Hindia Belanda diyakini berasal dari pelabuhan Hongkong. Saat itu, Cina dianggap sebagai negara pertama yang terkena wabah ini di wilayah Asia. Di sepanjang pantai baratnya, Cina memiliki hubungan transportasi dan terdapat jalur perkapalan dengan negara-negara lain. Pelabuhan yang menjadi jalur utama perkapalan Cina adalah pelabuhan Hongkong. Dengan posisinya sebagai pusat interaksi ekonomi, pelabuhan Hongkong menjadi lebih rentan sebagai pusat penyebaran penyakit.

Pada April 1918, Konsul Belanda di Singapura mengeluarkan peringatan kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia untuk mencegah kapal-kapal yang berasal dari Hongkong mendarat di wilayah Batavia. Keluarnya peringatan tersebut disebabkan oleh kenyataan bahwa Hongkong telah dinyatakan terjangkit oleh Influenza dan Pemerintahan Kolonial Inggris di Singapura juga telah mengeluarkan larangan menurunkan penumpang bagi kapal-kapal dari Hongkong. Meski demikian, dalam menanggapi peringatan dari Konsulnya di Singapura, Pemerintah Belanda hanya melakukan tindakan pencegahan dengan memperketat pengawasan di Hindia Belanda terhadap kapal-kapal yang berasal dari Hongkong.

Tiga bulan setelah datangnya peringatan Konsul Belanda di Singapura, Influenza diidentifikasikan pertama kalinya di Pelabuhan Pangkatan, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Diperkirakan Influenza dibawa oleh kuli kontrak dari Singapura yang bekerja di perkebunan. Dari bulan Agustus hingga September 1918, tercatat jumlah penduduk Hindia Belanda yang terjangkit Influenza terus meningkat. Di awal November, Residen Borneo Timur dan Selatan melaporkan melalui telegram darurat bahwa terdapat sekitar 1424 orang yang terjangkit Influenza di daerah Banjarmasin. Dalam waktu singkat, wabah penyakit ini mulai menyebar ke Jawa Timur. Penyebaran Influenza ke berbagai daerah di sekitarnya terjadi melalui Surabaya, yang merupakan kota pelabuhan utama. Sampai kemudian Influenza mulai melanda ke wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat pada akhir November 1918. Wabah ini pun akhirnya menyebar dengan cepat dan memakan banyak korban di berbagai daerah.

Keterlambatan dalam Menanggapi Peringatan Dini

Sebelum tahun 1918, di wilayah Hindia Belanda memang telah muncul wabah penyakit ini beberapa kali. Wabah-wabah penyakit yang muncul bahkan telah banyak merenggut nyawa, termasuk dari kalangan aparat pemerintah kolonial dan militer. Berbagai laporan yang ada mengenai penyebaran wabah penyakit ini pun ditegaskan oleh hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kolonial pun memberikan perhatian khusus terhadap penyebaran wabah penyakit tersebut dengan menurunkan dana tahunan khusus dan membentuk tim penelitian.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa Konsul Belanda di Singapura telah mengeluarkan peringatan kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Batavia terkait wabah Influenza. Peringatan dikeluarkan agar Pemerintah Kolonial melarang kapal-kapal yang berasal dari Hongkong masuk ke wilayah Batavia. Meski demikian, dalam menanggapi peringatan dari Konsulnya di Singapura, Pemerintah Belanda hanya melakukan tindakan pencegahan dengan memperketat pengawasan di Hindia Belanda terhadap kapal-kapal yang berasal dari Hongkong.

Keterlambatan dan keteledoran Pemerintah Kolonial itu pun berbuah hasil berupa laporan-laporan dari berbagai daerah di Jawa terkait munculnya wabah penyakit. Hanya berselang tiga bulan setelah datangnya peringatan dari Konsul Belanda di Singapura, Influenza diidentifikasikan muncul pertama kali di sebuah pelabuhan di Sumatera Utara. Hingga kemudian jumlah penduduk Hindia Belanda yang terjangkit Influenza terus meningkat dan dalam waktu singkat, wabah penyakit ini mulai menyebar ke Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Influenza Ordonnantie dan Konflik Kepentingan

Dalam penanggulangan Wabah Influenza di Hindia Belanda, Pemerintah Kolonial membentuk sebuah peraturan khusus penanganan dan penanggulangan Influenza. Dengan usulan dari tim khusus Influenza yang dipimpin oleh de Vogel, diserahkanlah sebuah rancangan kepada Gubernur Jenderal van Limburg Stirrum dan akan disahkan sebagai sebuah undang-undang (Ordonnantie). Peraturan khusus ini mengatur sejumlah hal, diantaranya terkait pelarangan penurunan orang dari kapal dan pelarangan berkumpul di suatu tempat jika diketahui di antara mereka ada yang terjangkit Influenza.

Sebelum disahkan secara resmi, rancangan aturan tersebut dibagikan ke sejumlah instansi dan memunculkan berbagai reaksi dari beberapa instansi, seperti dari Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM). Direksi KPM mengajukan keberatannya dengan alasan bahwa adanya Ordonnantie tersebut akan merugikan perusahaan pelayaran besarnya itu. Padahal dari kesimpulan yang didapatkan tim yang dipimpin de Vogel adalah bahwa salah satu penyebab utama penyebaran wabah adalah aktivitas pelayaran atau perkapalan. Selain itu, Direktur Kehakiman juga menganggap aturan tersebut berlebihan apabila hanya karena alasan penyakit Influenza, hak berkumpul dan berserikat menjadi dibatasi.

Reaksi-reaksi yang muncul terhadap rancangan aturan menunjukkan ketidaksiapan pemerintah untuk memberikan perhatian serius terhadap persoalan wabah Influenza. Bahkan, rancangan aturan khusus itu baru disahkan sebagai Influenza Ordonnantie pada Oktober 1920, berjarak hampir setahun dari sejak diusulkan. Hal itu memberikan gambaran timbulnya kebingungan di kalangan pembuat kebijakan sewaktu itu.

Mobil Propaganda Dinas Kesehatan

Selain hal-hal yang terjadi di atas, perlu juga diungkapkan bahwa intansi-instansi pemerintah yang ada cenderung berlomba-lomba menunjukkan perannya masing-masing. Ketika itu, Dinas Kesehatan menganggap instansinya harus mendapatkan kewenangan mengatur semua instansi lain karena merasa memiliki kepentingan yang lebih kuat dalam penanganan wabah dibanding instansi lainnya. Konflik kepentingan, dan juga kurangnya koordinasi antarinstansi, ini kemudian berakibat pada lambatnya pemerintah untuk mengambil langkah penanganan. Hal itu berdampak juga terhadap bidang-bidang lainnya yang justru berada di luar konteks program penanggulangan Influenza yang sudah disusun.

Pengobatan Tradisional

Kurang koordinasi dan ketidaksiapan pemerintah kolonial sewaktu itu juga berdampak pada penanganan yang berbeda-beda antardaerah. Pada pertengahan hingga akhir 1918, sudah banyak pejabat-pejabat di daerah yang melaporkan situasi darurat dengan banyaknya kasus pasien Influenza. Namun, Pemerintah Kolonial tidak segera melakukan langkah penanganan dengan memberikan bantuan. Bahkan, Pemerintah Kolonial seringkali lamban menanggapi surat-surat yang masuk ke Sekretariat Negara (Algemeen Secretarie) dengan menjawabnya beberapa bulan kemudian. Kelambanan dalam mengambil sikap seperti ini kemudian berakibat pada keputusan para pejabat daerah. Pejabat daerah setempat cenderung membiarkan penduduk mengambil inisiatif sendiri dalam menghadapi penyakit yang sedang mewabah saat itu. Alhasil, penduduk lebih berpaling pada model pengobatan tradisional.

Penjual Jamu Keliling yang beraktivitas tahun 1920-an

Kondisi tersebut membuat penduduk berusaha mencari sendiri cara-cara mencegah dan menyembuhkan penyakit yang sedang mewabah saat itu. Langkah-langkah yang diambil lebih menggunakan pendekatan metafisik dibanding pendekatan medis yang rasional. Penduduk mengaitkan Wabah Influenza dengan mitos-mitos daerah setempat. Orang-orang yang melanggar aturan adat atau pantangan di suatu tempat dianggap sebagai penyebab datangnya wabah dan harus melakukan ritual-ritual adat di makam-makam suci. Selain itu, sebagian lagi ada yang mengaitkan wabah ini dengan gengguan roh-roh jahat. Maka, untuk mengatasi gangguan tersebut mereka harus menyembelih hewan-hewan tertentu dengan harapan darah dari hewan itu dapat menghentikan gangguan roh jahat.

Ketiadaan obat-obatan medis juga membuat penduduk meramu sendiri obat-obatan yang dibuat dari bahan-bahan alami. Hasil dari ramuan tersebut digunakan sebagai obat penyembuh pasien yang terjangkit Influenza. Sebagai contohnya di kalangan masyarakat di Rembang dan Blora beredar ramuan obat-obatan tradisional yang terbuat dari berbagai unsur tanaman. Disebutkan dalam beberapa laporan bahwa di daerah tersebut Jamu Cabe Lempuyang dan Temulawak menjadi obat bagi pasien Influenza. Ramuan-ramuan tradisional dimanfaatkan untuk menghangatkan tubuh dan memulihkan fisik pasien.

Penanganan Pandemi Influenza oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tidak boleh tidak dijadikan pelajaran oleh Indonesia dalam menangani pandemi yang sedang berlangsung ini. Ungkapan yang sering kita dengar bahwa “belajar sejarah untuk masa depan” bukan hanya gurauan semata atau sekadar romantisme sejarah. Lebih dari pada itu, sebagaimana kedudukannya yang sejajar dengan Ilmu Sosial, Ilmu Sejarah memiliki peran sentral dalam penentuan arah kebijakan publik, dalam hal ini terkait penanganan pandemi. Penulis tidak bermaksud menjelaskan lebih konkret terkait kegunaan Ilmu Sejarah dalam penanganan pandemi. Namun, gejala-gejala sejarah yang telah muncul di masa lalu perlu dipelajari mengingat wabah penyakit memang selalu berulang sejak dahulu. Akhir kata, penulis harus menegaskan bahwa penangangan pandemi harus melibatkan semua sektor dan semua pihak. Dalam perumusan ataupun implementasi kebijakan penanggulangan pandemi, semua instansi dan pihak harus mengesampingkan kepentingan individu dan kelompok. Maka dengan memperhatikan hal-hal tersebut kita akan lebih mampu merespon pandemi demi menyelamatkan nyawa manusia sebanyak mungkin.

Referensi

Dewi, N. R., & Alrianingrum, S. (2013, Mei). Wabah Influenza di Jawa Tahun 1918-1920. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah, 1(2), 132-142.

Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Long, D. R. (2008). The Spanish Lady “Forgotten”: American Historical Memory and the Influenza Pandemi of 1918-1919. Departemen of History: Middlebury College.

Wibowo, Priyanto, dkk. (2009). Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda. Depok: Kerjasama antara Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Unicef Jakarta dan Komnas FBPI.


[1] Derek R. Long, The Spanish Lady “Forgotten”: American Historical Memory and the Influenza Pandemi of 1918-1919, hlm. 5. Perkiraan angka tersebut bisa jadi lebih sedikit dari angka yang sebenarnya karena dua alasan. Pertama, dalam kondisi perang, pendataan sensus tidak berjalan baik. Kedua, data pasien dan penyakit tidak akurat karena pelayanan kesehatan saat itu belum memadai.

[2] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, hlm. 147. Sejarah sebagai ilmu dapat berguna dalam tahap perencanaan dan penilaian. Terdapat tiga cara yang dapat dipakai untuk keperluan tersebut, yakni comparative history, historical parallelism, dan historical evolution.

By Ahmad Shalahudin

History Student at University of Indonesia

One reply on “Belajar dari Kegagalan Penanganan Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda”

Selama ini, kita lebih banyak diajari sejarah pergerakan nasional di ruang kelas dibandingkan tema-tema seperti ini. Jadinya, sejarah cuma dianggap pelajaran masa lalu tak berguna, kita menjadi lebih antikuarianisme.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *