
“Marx dan Satoshi sama-sama sepakat bahwa sulit mempercayai satu otoritas regulasi seperti bank. Marx percaya – meski tidak secara khusus mengklaim – ketika kapitalisme menjadi terlalu terpusat, itu mengarah pada produksi berlebih, dan produksi berlebih pada akhirnya menyebabkan kekacauan.“
Bitcoin didasari oleh sistem pembukuan besar yang dikenal sebagai blockchain, dan konon katanya secara radikal akan mampu mengubah masyarakat dari kontrol terpusat atas pemerintahan dan keuangan. Tulisan ini meninjau bagaimana blockchain memunculkan gagasan cryptosocialism di tengah gelegar Bitcoin sebagai libertarian. Kemudian mengeksplorasi mimpi-mimpi Marx dalam sistem desentralisasi kepemilikan publik yang membebaskan manusia dari bentuk kekuasaan dan kendali terpusat.
Sekilas Cara Kerja Blockchain dan Bitcoin
Sebelumnya kita harus memahami cara kerja Bitcoin. Blockchain memungkinkan penambangan dan setiap orang menyetujui keseimbangan juga koordinasi satu sama lain (miners) untuk memecahkan kode matematis. Dengan blockchain, kita akan dapat menguraikan sistem yang memungkinkan sekelompok orang mencapai konsensus dan menyetujui riwayat transaksi yang valid. Imbalan atas proses validasi transaksi itulah yang disebut Bitcoin.
Kebanyakan miners di ruang blockchain umumnya sadar bahwa aktivitas menambang akan menghabiskan daya komputasi, dan Bitcoin sebagai ganti jerih payah itu. Artinya, Bitcoin dianggap “ada” ketika sekelompok orang berhasil mengolah kode matematika yang mewakili kerja-kerja komputasi. Meski begitu, perlu ditekankan bahwa Bitcoin hanyalah angka dalam ledger book yang terdesentralisasi. Satu imbalan Bitcoin bukan berarti satu teka-teki terpecahkan.
Secara singkat, apa yang dimaksud dengan tujuan penambangan dalam sistem blockchain bukan untuk menghasilkan Bitcoin. Sebaliknya, tujuan penambangan adalah memproses transaksi semua orang dan memperbarui database terdesentralisasi. Bitcoin hanyalah upah bagi tugas penting tersebut. Para penambang bertanggung jawab untuk mencermati semua transaksi yang terjadi di jaringan dan melaporkannya. Miners tidak merekam transaksi dalam database satu per satu, melainkan dengan menambahkan ratusan sekaligus dalam batch yang disebut “blok”. Oleh sebab itu, istilah blockchain juga berarti database rantai blok yang berkembang.
Sosialisme dan Blockchain
Dalam artikel yang ditulis oleh Huckle & White (2016), dikatakan model sosialis dan kepemilikan publik melihat sifat kooperatif unik dari blockchain yang membuat teknologi tersebut ideal bagi masyarakat sosialis. Argumen itu untuk menentang tesis bahwa bitcoin dianggap sebagai alat Libertarian yang mendukung kemampuan Bitcoin untuk melewati otoritas pusat dan persoalan anonimitas penggunaannya. Huckle & White beranggapan, seharusnya fokus kajian juga menyoroti kapasitas teknologi blockchain terhadap transparansi dan kemampuan audit yang terdesentralisasi untuk mendukung sosialis.
Whitepaper BTC dirilis tahun 2008 oleh anonim yang dikenal dengan sebutan Satoshi Nakamoto, bertepatan dengan krisis keuangan global yang dipicu ketidakseimbangan sektor keuangan dengan sektor produksi yang disebabkan adanya monopoli sumber daya ekonomi oleh korporasi besar (Wahyu, 2010). Nakamoto juga menjelaskan masalah lembaga keuangan pihak ketiga yang memproses keuangan elektronik menyebabkan sengketa mahal, yang membuat pembayaran kecil berbasis internet untuk barang dan jasa tidak praktis karena biaya melebihi keuntungan yang diperoleh dari transaksi tersebut. Selain itu penipuan menjadi endemik, yang mengandaikan kepercayaan antara pedagang dan pelanggan; tanpanya, sistem akan gagal.
Bitcoin mengatasi masalah ini melalui penggunaan bukti kriptografi yang memungkinkan pihak untuk bertransaksi secara langsung, sehingga menghilangkan peran pihak ketiga untuk memverifikasi pembayaran. Di sisi lain, BTC mengaburkan banyak kebutuhan kepercayaan yang melekat di dalam fiat, yakni uang yang ditetapkan sebagai pembayaran yang sah melalui peraturan pemerintah.
Huckle & White (2016) menjelaskan nilai-nilai politik Libertarian adalah: hak milik pribadi, kebebasan berbicara, beribadah, persamaan hukum, dan otonomi moral. Pandangan klasik Libertarianisme memang mendukung kebebasan individu dalam preferensi untuk penilaian kolektif. Maka, hasilnya adalah skeptisisme yang mendalam terhadap kekuasaan negara dan pemerintah, serta keyakinan bahwa masyarakat harus dibebaskan dari sistem perbankan yang didukung oleh Negara.
Meski begitu, pendukung semangat Libertarian mulai menyadari bahwa di balik semua aturan, regulasi terdapat jurang kosong. Sektor keuangan yang dibangun dalam sistem rantai pasokan keuangan yang rumit mulai menimbulkan kesusahan yang berakhir krisis di 2008. Karenanya, dukungan ideologis mereka terhadap Bitcoin cenderung didorong oleh keinginan untuk menghindari skala resiko seperti krisis ekonomi 2008. Resiko yang terjadi akibat krisis keuangan adalah mimpi buruk bagi Libertarian.
Cryptosocialism dan Mimpi-Mimpi Marx
Sosialisme adalah istilah yang mencakup banyak filosofi politik yang berbeda. Cabang utamanya adalah Marxisme, Sosialisme Utopis, dan Anarkisme. Meskipun berbeda, kesemuanya berbagi nilai egaliter, struktur masyarakat non-hierarkis, dan berbagai bentuk kepemilikan sosial, di mana alat produksi dan distribusinya dimiliki oleh suatu masyarakat (Huckle & White, 2016). Marx memang menginginkan Sosialisme terjadi sebagai dampak alami dari kapitalisme yang tumbuh berdasarkan konflik dan terdapat pertentangan di antara mereka yang bekerja, tidak memiliki apa-apa, dan kelas kapitalis yang memiliki alat-alat produksi (Commons, 2009). Scott (dalam Huckle & White, 2016) menggambarkan blockchain sebagai:
“Sesuatu yang menarik karena memiliki fitur yang berpotensi memungkinkan organisasi mandiri non-hirarki dan kolaborasi peer-to-peer dalam struktur jaringan komunitarian”
Desain BTC Nakamoto yang didasarkan pada komunitas validator yang memberikan konsensus kooperatif memiliki kualitas yang sesuai dengan ideologi sosialis. Meski begitu, Garrod (2016) dalam artikelnya juga mewanti-wanti teknologi blockchain adalah bagian dari gambaran yang lebih besar, yakni masyarakat otonom terdesentralisasi. Dominasi perkembangan teknologi desentralisasi mendisrupsi bentuk-bentuk sentralistik dan hierarki dari sistem negara dan bangsa. Melalui model masyarakat otonom yang terdesentralisasi tersebut, diklaim dapat meningkatkan otonomi manusia dengan otomatisasi tata kelola organisasi. Sebab, model tersebut dapat berjalan tanpa keterlibatan manusia di bawah kendali seperangkat aturan bisnis yang tidak mungkin rusak (kecuali oleh komputasi kuantum).
Elit politik dan bank sentral yang memiliki kekuasaan adalah penghambat kebebasan. Kebebasan dan demokrasi seringkali tak sejalan. Setiap cryptosocialist mendambakan suatu ruang yang membebaskan mereka dari belenggu kekuasaan dan politik. Bitcoin beserta blockchain dianggap mampu mencegah pemerintah mencetak uang serampangan untuk membeli senjata api, tank dengan tujuan menghancurkan kehidupan manusia seperti di negara dunia ketiga. Namun, Garrod juga tak luput mengingatkan tentang impian utopis yang didorong oleh kemunculan Bitcoin masih dinodai oleh fantasi anti-pemerintah Libertarian.
Kombinasi blockchain dari cryptocurrency, smart contract, dan database terdistribusi akan mengantarkan organisasi terdesentralisasi menggunakan kode untuk mendefinisikan tata kelola yang aman dan dapat diaudit. Selain itu, aset digital murni dari blockchain dapat digunakan masyarakat sosialis. Bagaimanapun, penggunaan mata uang digital dinilai lebih tepat ketimbang menggunakan fiat. Buterin (dalam Huckle & White, 2016) menulis bahwa;
“Teknologi blockchain dapat mengikuti model publik. Bitcoin adalah blockchain publik, penambang bitcoin memiliki identitas yang tidak diketahui dan akses tak terbatas pada jaringan. Siapapun dapat mencatat transaksi valid di buku besar blockchain, dan siapapun dapat mengambil bagian dalam proses verifikasi transaksi.”
“Itu menunjukan kualitas “pemerintahan” yang ideal, transparansi dan kemampuan audit dalam teknologi blockchain memungkinkan penyimpanan catatan universal, permanen, berkelanjutan, didorong oleh konsensus, dan diaudit secara publik” (Buterin dalam Huckle & White, 2016).
Tidak seperti mata uang kertas (fiat) yang bergantung pada agen terpusat untuk mengatur transaksi, Bitcoin unik karena dibuat di jaringan peer-to-peer. Jaringan blockchain berfungsi tanpa otoritas terpusat karena orang tidak perlu menaruh kepercayaan pada bank atau agensi terpusat untuk setiap tindakan transaksi. Meskipun Bitcoin baru berusia kurang dari dua dekade, dengan memahaminya dalam selingkar teori sejarah, politik, dan ekonomi seperti sosialisme, kita bisa menemukan signifikansinya dengan semangat sosialisme Marx.
Memahami Signifikansi Bitcoin dan Marx
Memahami esensi argumen Abad ke-19, Marx dalam karyanya sering menggambarkan batasan dan masalah yang bersumber dari kapitalisme. Secara khusus, dalam Manifesto Komunis, Marx menekankan bahwa eksploitasi kaum proletar oleh kelas menengah dan borjuasi memungkinkan pasar terekstrapolasi, karena kebutuhan pasar terus tumbuh (Marx & Engels, 1848). Corderman melanjutkan, konsekuensi yang dihasilkan dari sistem ekonomi tersebut adalah sentralisasi. Sementara properti dan kekuasaan terkonsentrasi di tangan borjuis, sistem pemerintahaan disatukan di bawah satu negara dan satu kode hukum.
Marx ingin proletariat memberontak dan membongkar semua bentuk hierarki sosial. Dengan sosialisme, kelas pekerja akan menciptakan negara dan negara akan mengatur semua alat produksi. Aspek desentralisasi Bitcoin dalam blockchain sejalan dengan semangat sosialisme. Jika komputer di blockchain membagikan informasi baru dan komputer lain tidak melacak atau merekam perubahan, informasi tersebut diabaikan (Popper dalam Corderman, 2019).
Sama seperti Marx menganjurkan agar para pekerja menjadi negara, Satoshi menganjurkan pelanggan untuk menjadi bank. Dengan memotong perantara, setiap orang tidak perlu menaruh “trust” pada entitas terpusat (Marx & Engels, 1848). Menariknya, alasan untuk mendesentralisasi memiliki kedekatan antara Bitcoin dan sosialisme. Marx dan Satoshi sama-sama sepakat bahwa sulit mempercayai satu otoritas regulasi seperti bank. Marx percaya – meski tidak secara khusus mengklaim – ketika kapitalisme menjadi terlalu terpusat, itu mengarah pada produksi berlebih, dan produksi berlebih pada akhirnya menyebabkan kekacauan.
Jika kita memeriksa krisis keuangan 2008, ketika orang terlalu fokus pada menghasilkan keuntungan melalui sekuritas beragun hipotek, Marx kemungkinan akan menganggap peristiwa ini sebagai produksi berlebihan sebagai akibat dari kapitalisme. Cypherpunks, pencipta dan peneliti cryptocurrency mengutip bahwa tujuan mereka adalah memberikan alternatif dari keluhan penanganan keuangan modern (Popper dalam Corderman, 2019). Lebih lanjut, negara tidak akan pernah dapat mengontrol suplai uang dengan cara yang dapat dipercaya. Sebagai gantinya, uang harus dikendalikan oleh “hukum alam” pasar. Artinya ini mengacu pada kemampuan Bitcoin untuk berfungsi dengan baik tanpa otoritas terpusat.
Pada Akhirnya…
Pengenalan dan adopsi Bitcoin ke dalam transaksi transglobal dapat mendefinisikan kembali bagaimana ekonomi masa depan memandang Karl Marx dan pendekatannya. Kritik dan stigma negatif yang melekat pada tokoh sejarah bisa saja mendorong orang semakin ingin mencari tahu. Bitcoin dapat memicu wacana penting mengenai masalah-masalah seperti ketidaksetaraan kelas yang lazim muncul di dunia kontemporer. Sama halnya dengan Marx dan kaitannya dengan Bitcoin dan blockchain, memiliki potensi konsekuensi sosial dan politik, cryptocurrency yang terus berkembang pesat tentu juga mengalami berbagai tantangan sebelum menemukan akhir di era komputer kuantum.
Mengutip Garrod (2016), untuk memastikan teknologi blockchain dan Bitcoin memberikan dasar bagi perkembangan manusia yang progresif, kita harus memastikan bahwa itu digunakan untuk mengamankan hak-hak sosial kita, sebagai lawan dari cara negara dengan melarikan diri ke ruang pribadi yang dimediasi secara digital.
Referensi:
Commons, J. R. (2009). Marx to-day: capitalism and socialism (1925). Journal of Institutional Economics, 5(1), 117.
Corderman, H. (2019). Would Karl Marx Support the Existence of Bitcoin?.
Garrod, J. Z. (2016). The real world of the decentralized autonomous society. tripleC: Communication, Capitalism & Critique. Open Access Journal for a Global Sustainable Information Society, 14(1), 62-77.
Global Future Council on Cryptocurrencies. (2020). Crypto, What Is It Good For? An Overview of Cryptocurrency Use Cases. World Economic Forum.
Huckle, S., & White, M. (2016). Socialism and the Blockchain. Future Internet, 8(4), 49.
Kosten, D. (2015). Bitcoin mission statement. Or what does it mean sharing economy and distributed trust?. Or What Does It Mean Sharing Economy and Distributed Trust.
Marx, K., & Engels, F. (1848). The Communist Manifesto. Selected Works bu Karl Marx and Frederick Engels. Neu York: International Publishers, 1363.
Swartz, L. (2017). Blockchain dreams: Imagining techno-economic alternatives after Bitcoin. Another economy is possible: culture and economy in a time of crisis, 82-105.
Wahyu Susilo. (2010). Akar Krisis Ekonomi 2008 Disebabkan oleh Monopoli Keuangan dan Produksi (3-Selesai). Indoprogress. Diakses, 5 Maret 2021.
2 replies on “Blockchain, Cryptosocialism, dan Impian Marx”
Pemahaman ini seeprtinya harus melalui proses yang amat panjang, karena semangat sosialisme itu masih belum bisa dipahami oleh kebanyakan orang, apalagi mengenai criptososial yang saya rasa orang orang yang mendengar hal itu akan terlintas “keuntungan” digarda depan pemikiran mereka, hal ini akan sama seperti kapitalisme yang ujungnya untuk kemerdekaan finansial secara pribadi, dan pengerukan keuntungan sebesar besarnya.
Saya sendiri masih belum sepenuhnya mengerti karena di Indonesia sendiri masih terbilang sedikit yang memahami bitcoin, blokchain dst. Ditambah lagi perangkat yang dibutuhkan cukup mahal dan butuh daya listrik yang besar pula. Oleh karena itu saya masih gagal paham apakah criptososial tersebut memang untuk semua lapisan sosial yang tentunya akan sejalan dengan semangat sosialisme Marx yang utopis dari segmen pemahaman individu untuk kegiatan sosial-ekonomi?
Saya mengakui memang, kebanyakan argumen dan literatur soal sosialisme dalam konteks bitcoin tidak begitu signifikan sebagai semangat ideologi manusianya. Sosialisme yang dimaksud pada konteks Bitcoin cenderung hanya merujuk pada dasar sistem desentralisasi, harapannya memang “perlawanan” terhadap kepemilikan sistem fiat dunia bisa tergantikan dengan model blockchain di balik cryptocurrency. Meski begitu, masa sekarang perlu kita akui, Bitcoin masihlah melekat dan lebih dekat kepada semangat libertarian. Ada kebebasan individu yang lebih menonjol di sana, persoalan komoditi investasi menguntungkan bagi para investor crypto. Saya tidak yakin, kebanyakan mereka memikirkan secara mendalam prospek kriptososialisme saat ini.