Categories
101

Ekofeminisme dalam Tradisi Budaya Sasi Sebagai Penyeimbang Ekosistem Laut

Kehidupan makhluk hidup sangat identik dengan alam, keduanya saling menyatu dalam suatu siklus kehidupan di bumi. Manusia menjadi lakon utama dalam menjalani kehidupan dan melakukan berbagai hal. Hal ini dikarenakan manusia merupakan makhluk yang mempunyai otak dan kemampuan bertahan hidup serta mengelola alam. Namun, sebagai makhluk yang ‘sempurna’ tidak serta merta membuat manusia menjadi makhluk yang bijaksana dalam mengelola alam serta mempergunakan akal pikirannya. Manusia kerap kali terjerumus dalam keserakahan, yang mana hal ini membuat rusak keseimbangan alam.

Saat ini kita menjadi generasi yang banyak menemui berbagai kerusakan alam. Maka dari itu kita harus menjadi generasi berwawasan ekologis, generasi yang memiliki ekoliterasi, generasi yang paham serta menyadari betapa pentingnya lingkungan hidup, pentingnya menjaga dan merawat bumi, ekosistem, alam sebagai tempat tinggal dan berkembangnya kehidupan (Keraf, 2011:127).

Pada ulasan ini akan membahas lebih lajut mengenai ekologi dan feminisme atau keduanya sering disebut ekofeminisme. Ekofeminisme muncul dan diperkenalkan oleh Francoide d’Eaubonne melalui buku yang berjudul Le Feminisme ou la Mort (Feminisme atau Kematian) yang terbit pertama kali 1974 (Tong, 2006:366). Di tahun-tahun selanjutnya ekofeminisme banyak dipelajari dan disebarluaskan. Ekofeminisme menggabungkan pemikiran dan gerakan sosial dalam kaitannya dengan masalah ekologi, dan pemikiran terkait feminisme. Menurut ekofeminisme, perempuan secara kultural terkait dengan alam, dan ada hubungan konseptual, simbolik, dan linguistik antara feminisme dengan isu-isu ekologis (Tong, 2006:350). Sebagai contoh, bumi kerap kali dikaitkan dengan ibu (perempuan) maka konsep Ibu Bumi adalah konsep yang paling umum kita ketahui. Cinta kasih bumi diibaratkan layaknya seorang ibu, yang tiada akhir. Tentu dalam hal ini perempuan menjadi makhluk yang penting dalam keselarasan alam. 

Seperti aliran feminisme lainnya, ekofeminisme juga memuat berbagai tipe aliran pemikiran, yakni ekofeminisme alam, ekofeminisme spiritualis, dan ekofeminisme sosialis (Tong, 2006). Dalam ekofeminisme, keselarasan eksistensi bumi dan feminis merupakan kunci utama pemikiran ini. Kuasa patriarki dalam mendominasi dan mengeksplorasi alam dapat merusak alam, sama halnya dengan kuasa patriarki dalam menindas perempuan.

Sebagai salah satu negara kepulauan, yang memiliki wilayah laut lebih luas dari pada wilayah daratannya, maka adanya konservasi sumber daya hayati laut merupakan salah satu upaya pengelolaan ekosistem laut guna melindungi dan tetap memperkaya sumber daya laut itu sendiri. Seperti adanya tradisi budaya Sasi yang cukup dikenal oleh masyarakat pesisir di daerah Maluku ataupun Papua. Istilah modern Sasi dikenal sebagai konservasi tradisional, dengan model pengelolaan berbasis masyarakat telah berlangsung secara turun-temurun. (Elva Lestari, 2015)

Tradisi budaya Sasi salah satunya dilakukan di Raja Ampat, Distrik Misol Barat, khususnya di Desa Kapatcol. Di desa ini terdapat ibu-ibu yang memberikan kejelasan realita akan eksistensi perempuan yang turut serta menjaga ekosistem alam dalam hal ini ekosistem laut. Ibu-ibu di kampung Kapatcol melihat hasil dari Sasi kampung sangatlah baik dan hasilnya memuaskan, sehingga semenjak itu mereka berinisiatif untuk melakukan tradisi Sasi sendiri guna ikut memberdayakan dan menjaga ekosistem laut. Selain itu, hal ini mejadi salah satu kegiatan ibu-ibu kampung Kapatcol untuk mengisi waktu dan menghasilkan uang.

Masyarakat Misool Barat (termasuk Kapatcol) hanya mengenal dua musim dalam kegiatan menangkap ikan, yaitu musim angin selatan dan musim angin barat. Musim angin selatan biasanya terjadi pada bulan Juni-Oktober. Di bulan Juni-Oktober, terdapat Sasi musiman, dan pada saat angin musim selatan dilakukan tutup Sasi. Di bulan November-April, nelayan kembali mencari ikan di laut, kemudian menggunakan kesempatan untuk buka Sasi (Elva Lestari, 2015:69). Adanya jeda dalam mengambil sumber daya laut inilah yang menjadi tradisi unik untuk tetap dilaksanakan. Selain dapat menunggu proses berkembang-biaknya sumber daya laut, hal ini juga dapat menekan angka pengambilan sumber daya laut yang berlebihan. Adanya kontrol tradisi yang menjadi konsensus bersama menjadi lebih efektif, karena masyarakat paham akan berbagai konsekuensi jika melanggar hukum tradisi adat. Hal ini menjadikan manusia lebih bijaksana dalam berhubungan dengan alam.

Unsur-unsur pengelolaan berbasis masyarakat berupa Sasi “ibu-ibu”, tidak berbeda jauh dengan unsur-unsur PSBM (Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat) “Sasi” secara umum di Distrik Misool Barat (Shiffa Febyarandika , 2016: 73-74). Pelaksanaan “Sasi” memberikan manfaat bagi terjaminnya kualitas sumber daya maupun ekosistem agar tetap lestari dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kelangsungan hidup manusia yang didalamnya terkandung fungsi pemanfaatan, pengelolaan, pengawasan, pemeliharaan, dan pengendalian sumber daya alam (Sahureka, 2011).

Eksistensi ekofeminisme di Indonesia haruslah dikembangkan lebih lanjut dan disebarluaskan, karena wilayah alam Indonesia terus mengalami kerusakan seiring berjalannya waktu. Kuasa patriarki yang menjadi tokoh utama dalam kerusakan alam di bumi harus diimbangi dengan eksistensi ekofeminism, sebagai salah satu antitesis kerusakan alam di bumi.

Sumber:

Tong, Rosemary Putnam. 2006. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Aquaini Priyatna Prabasmara. Bandung: Jalasutra.

Keraf, A. Sonny. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup, Alam sebagai Sistem Kehidupan. Yogyakarta: Kanisius.

Wiyatmi, Maman Suryaman, Esti Swatikasari. 2017. Ekofeminisme: Kritik Sastra Berwawasan Ekologis dan Feminis Yogyakarta: Cantrik Pustaka. ISBN 978-602-6645-29-6.

Candraningrum, Dewi. 2013. Ekofeminisme dalam tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi, dan Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Lestari, Elva, Arif Satria. 2015. Peranan Sistem Sasi Dalam Menunjang Pengelolaan Berkelanjutan Pada Kawasan Konservasi Perairan Daerah Raja Ampat. Buletin Ilmiah “MARINA” Sosek Kelautan dan Perikanan Vol. 1 No. 2 Tahun 2015: 67-76

Febyarandika, Shiffa,  Muhammad Abdul Chafid. 2016.  Tradisi Sasi di Raja Ampat Papua Sabda, Volume 11, Tahun 2016

Sahureka, Agusno. 2011. “Pelaksanaan Sasi”, www.ahaoge.blogspot.com (diakses 18 Desember 2014).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *