Asingkah kata ‘cinta’ dan ‘benci’ di telinga kita? Sepertinya tidak ya, karena perasaan ini hampir selalu singgah dalam kehidupan kita. Tapi apakah lumrah di telinga kita ketika mendengar nama Empedokles? Saya rasa masih sedikit asing. Di tulisan kali ini, mari kita berkenalan dengan sang filsuf Empedokles, beserta pemikirannya.

Empedokles ialah seorang filsuf Yunani Pra-Socrates, yang dianggap sebagai anggota di sekolah pluralis yang kurang terdefinisi dengan baik, karena dia merasa eklektik (memilih dari yang terbaik) dalam setiap pemikirannya. Ia pandai dalam bidang kedokteran, penyair retorika, politik, dan pemikir. Ia menulis karyanya dalam bentuk puisi, layaknya Parmenides.
Empedokles lahir sekitar tahun 490SM di Acragas, sebuah koloni Yunani di Sisilia. Ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat dan aristokrat (orang dari golongan bangsawan). Ayahnya, Meto tampaknya telah berperan dalam menggulingkan Thrasydaeus, tiran Agrigentum pada tahun 470SM.
Dia dikenal sebagai pencetus Teori Kosmogenik dari empat elemen klasik dunia, yaitu Bumi, Udara, Api, dan Air.
Empedokles mengatakan bahwa “sesungguhnya di dunia ini tidak ada sesuatu yang baru“. Alam semesta dibentuk oleh empat unsur (rizomata) yaitu api, udara, tanah, dan air. Keempat anasir ini dapat dijumpai di seluruh alam semesta dan memiiki sifat-sifat yang saling berlawanan.
- Api dikaitkan dengan yang panas
- Udara dengan yang dingin
- Tanah dikaitkan dengan yang kering
- Air dikaitkan dengan yang basah
Empedokles berpendapat bahwa semua anasir memiliki kuantitas yang persis sama. Anasir sendiri tidak berubah, misalnya tanah tidak dapat menjadi air, begitu juga sebaliknya.
Semua proses alam disebabkan oleh menyatu atau terpisahnya keempat unsur ini. Sebab, semua benda merupakan campuran dari tanah, udara, api, dan air. Tetapi dalam proporsi yang beragam.
Jika sekuntum bunga atau seekor binatang mati, kempat unsur itu terpisah lagi. Kita dapat mengamati perubahan-perubahan ini dengan mata telanjang. Namun tanah, udara, api, dan air tetap abadi, bahkan tak tersentuh, oleh semua campuran yang ada di dalamnya.
Kita pun dapat membuat perbandingan dengan sebuah lukisan. Jika seorang pelukis mempunai satu warna saja–yaitu merah–dia tidak dapat melukis pepohonan yang hijau. Namun, jika dia mempunyai warna kuning, merah, biru, dan hitam dia dapat melukis ratusan warna yang berbeda, dengan cara dia mencampur warna-warna itu dengan takaran yang berbeda.
Contoh lain dari dapur dapat menggambarkan hal yang sama. Seandainya seseorang hanya mempunyai tepung, ia harus menjadi tukang sulap untuk dapat membuat kue. Namun, jika orang itu mempunyai telur, tepung, susu, gula, backing powder, dan lain sebagainya, ia dapat membuat bermacam-macam kue.
Salah satu kemajuan yang dicapai melalui pemikiran Empedokles adalah ketika ia menemukan bahwa udara adalah anasir tersendiri. Para filsuf sebelumnya, misalnya Anaximenes, masih mencampuradukkan udara dengan kabut.
Empedokles percaya bahwa mata terdiri dari tanah, udara, api, dan air, sebagaimana segala sesuatu di alam. Maka “tanah” melihat apa yang berunsur tanah di sekeliling kita, “udara” melihat apa yang berunsur udara, “api” melihat apa yang berunsur api, dan “air” melihat apa yang berunsur air di sekeliling kita. Dan, jika mata kita tidak mengandung salah satu dari keempat zat itu, kita tidak dapat melihat seluruh alam semesta.
Sangat sedikit yang diketahui tentang kehidupan Empedokles, dia dikatakan sangat kaya dan beruntung karena dukungannya terhadap orang-orang miskin , namun parah dalam menganiaya perilaku sombong para bangsawan.
Beberapa sumber menyebutkan perjalanannya ke Italia Selatan, Peloponnese dan Athena. Dia membudidayakan persona publik yang agung dengan cara yang serius dan flamboyan.
Kendati demikian, menurut Empedokles ada dua prinsip yang mengatur perubahan-perubahan di dalam alam semesta, dan kedua prinsip itu berlawanan satu sama lain.
Kedua prinsip tersebut adalah cinta (philotes) dan benci (neikos). Cinta berfungsi menggabungkan anasir-anasir sedangkan benci berfungsi menceraikannya.
Keduanya dilukiskan sebagai cairan halus yang meresapi semua benda lain. Atas dasar kedua prinsip tersebut, Empedokles menggolongkan kejadian-kejadian alam semesta di dalam empat zaman.
Zaman-zaman ini terus-menerus berputar; zaman pertama berlalu hingga zaman keempat lalu kembali lagi ke zaman pertama, dan seterusnya.
Zaman-zaman tersebut adalah:
- Zaman pertama. Di sini cinta dominan dan menguasai segala-galanya, alam semesta dibayangkan sebagai sebuah bola, di mana semua anasir tercampur dengan sempurna, dan benci dikesampingkan ke ujung.
- Zaman kedua. Benci mulai masuk untuk menceraikan anasir-anasir, sehingga alam semesta sebagian dikuasai oleh cinta dan sebagian lagi dikuasai oleh benci. Benda-benda memiliki kemantapan tetapi dapat lenyap, misalnya makhluk-makhluk hidup dapat mati. Menurut Empedokles, manusia hidup pada zaman ini.
- Zaman ketiga. Apabila perceraian anasir-anasir selesai, mulai berlaku zaman ketiga, di mana benci menjadi dominan dan menguasai segala-galanya. Keempat anasir yang sama sekali terlepas satu sama lain merupakan empat lapisan kosentris: tanah di dalam pusat dan api pada permukaan. Cinta kini berada di ujung.
- Zaman keempat. Sekarang cinta masuk kembali hingga timbul situasi yang sejajar dengan zaman kedua. Apabila cinta menjadi dominan, artinya zaman pertama dimulai kembali.
Empedokles berpendapat, bahwa perubahan termasuk apa yang kita sebut ke dalam keberadaan dan kematian, hanyalah campuran dan pemisahan dari keempat elemen yang tidak dapat berubah (tanah, udara, api, air).
Menurut Aristoteles, Empedokles meninggal pada usia 60 tahun pada 430 SM atau 432 SM. Meskipun menurut penulis lain dia hidup sampai usia 109.
Cara kematiannya pun tidak diketahui secara pasti, yang juga mencerminkan status mitosnya. Menurut legenda, Empedokles meninggal dengan cara terjun ke kawah vulkano di Gunung Etna ( gunung berapi aktif di pesisir timur Sisilia).
Pemikiran Empedokles tentang empat anasir tadi kemudian akan diambil alih oleh Plato, Aristoteles, dan filsuf-filsuf Yunani lainnya. Karena kosmologi Aristoteles diterima umum sepanjang seluruh Abad Pertengahan, maka teori tentang empat anasir merupakan pandangan dunia sampai awal zaman modern.
Cinta mengikat segala sesuatu, namun perselisihan memisahkannya.
-Empedokles
Referensi:
- Achmadi, Asmoro. 2016. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Pers
- Barnes, Jonathan. 2001. Early Greek Philosophy. London: Penguin.
- Gaarder, Jostein. 2018. Dunia Sophie. Bandung: PT Mizan Pustaka.
- K. Bertens. 1990. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.
- Mengenal Sosok Filosof Empedocles, banuabiznet.com
- Simon Petrus L. Tjahjadi. 2004. Petualangan Intelektual. Yogyakarta: Kanisius.
4 replies on “Empedokles: Cinta & Benci”
Artikelnya sangat menarik!
Terima kasih😊❤
Keren bang
keren bung