Pernahkah kalian dicap kapitalis ketika kalian menjual barang dengan harga yang mahal ke teman kalian? Atau pernahkah kalian menemui seseorang yang menyatakan dirinya antikapitalisme tetapi mendapat cibiran, “Antikapitalisme kok nongkrongnya di Starbucks?”
Setidaknya kalimat-kalimat seperti itu pernah muncul sekali di percakapan sehari-hari.

Mungkin kalian juga pernah menemukan kalimat-kalimat serupa di media sosial seperti gambar di atas. Namun, pada kenyataannya, kapitalisme tidak ada hubungannya lho dengan hal-hal yang disebutkan di atas.
Kapitalisme memang sering dipahami secara keliru oleh banyak orang dengan menganggapnya berasal dari modal yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari selisih harga perdagangan. Akumulasi modal terjadi karena kita membeli suatu barang dagangan di suatu tempat dengan murah kemudian menjualnya dengan mahal di tempat lain dan dengan cara berhemat. Dengan demikian, kita akan selalu menganggap kapitalisme identik dengan perdagangan atau bahkan barang dagangan mahal. Padahal, jauh sebelum kapitalisme ada, perdagangan telah lama berlangsung.
Kapitalisme juga sering dipahami sebatas pembagian kerja dan kepemilikan pribadi semata yang diakibatkan oleh ketimpangan kekayaan. Pembagian kerja sosial dianggap muncul karena adanya timbunan kekayaan di masa lalu yang kemudian menciptakan perbedaan di antara pemilik sarana produksi dan tenaga kerja. Pemahaman seperti ini jelas keliru dan biasa muncul kalau kita memahami kapitalisme dengan bertolak dari teori akumulasi primitif Adam Smith, yang disebut Karl Marx sebagai the so-called primitive accumulation.[1]

Dalam teori akumulasi primitif Adam Smith, dijelaskan bahwa keberlangsungan produksi kekayaan modern yang berlangsung sekarang ini didahului oleh adanya timbunan kekayaan di masa lalu. Adam Smith percaya bahwa kita sebagai manusia terbagi secara alamiah menjadi dua jenis. Terdapat sekelompok orang di masa lalu ‘yang rajin bekerja dan menabung’ dan sekelompok orang ‘yang malas bekerja dan boros’. Sekelompok orang di masa lalu ‘yang rajin bekerja dan menabung’ berhasil mengumpulkan kekayaan. Sebaliknya, sekelompok orang di masa lalu ‘yang malas bekerja dan boros’ tidak mampu mengumpulkan kekayaan. Perbedaan itulah yang dianggap sebagai dasar munculnya timbunan kekayaan yang berimplikasi pada pembagian kerja sosial, yang dalam istilah Marxisme disebut keterpilahan masyarakat dalam kelas-kelas sosial.
Karl Marx mengkritik teori akumulasi primitif Adam Smith yang ahistoris. Melalui teori akumulasi primitif Marx, kita akan memahami bahwa timbunan kekayaan sekelompok orang ‘yang rajin bekerja dan menabung’ didapatkan dari perampasan kekayaan yang dihasilkan kelas sosial lainnya. Marx membangun teori akumulasi primitifnya melalui penelusuran historis dalam perjalanan panjang sejarah manusia. Perampasan kekayaan sosial seperti perampasan tanah, kerja paksa, pengkaplingan tanah, pengusiran petani, dan lain sebagainya telah mendahului revolusi kapitalis yang memunculkan sistem sosial ini. Perampokan para penjajah bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa di Afrika, Amerika, dan Asia juga sejalan dengan akumulasi primitif.[2] Bukti-bukti historis tersebut menjadi landasan teori akumulasi primitif Marx bahwa perampasan hasil kerja sosial sebagian golongan telah mendahului pembagian kerja sosial atau keterpilahan masyarakat dalam kelas-kelas sosial. Dengan demikian, menjadi mudah kiranya untuk dipahami bahwa kapitalisme bukanlah sebuah sistem sosial yang muncul secara alamiah dan bukan pula sebuah keniscayaan sejarah.
Sebagian besar orang juga keliru ketika memahami bahwa kemunculan kapitalisme ditandai dengan perkembangan teknologi di masa Revolusi Industri. Teknologi dianggap sebagai sebab penyerapan nilai lebih buruh oleh kegiatan industrialisasi. Kapitalisme dianggap tidak dapat lepas dari perkembangan teknologi dan selama teknologi masih berkembang maka kehidupan sosial manusia akan terus bergerak dengan gerak kapitalisme. Akibat pemahaman seperti ini, orang-orang yang dianggap antikapitalisme akan dicemooh jika masih ‘nongkrong di Starbucks’ atau masih ‘menonton film di bioskop’.
Untuk memahami kapitalisme dengan lebih baik, kita perlu merujuk kepada penjelasan dari salah seorang sejarawan politik, Ellen Meiksins Wood. Dalam The Origin of Capitalism, Wood menjelaskan kapitalisme sebagai sebuah sistem politik-ekonomi yang memiliki perbedaan secara kualitatif dari sistem-sistem yang telah ada sebelumnya. Kekayaan yang ditimbun tidak lantas langsung disebut sebagai ‘kapital’. Kapitalisme tidak terbentuk oleh kumpulan modal. Prasyarat khusus pembentuk kapitalisme adalah perubahan hubungan sosial yang menimbulkan ‘hukum gerak’ kapitalisme: persaingan yang memaksa, maksimalisasi profit, keharusan untuk menginvestasikan kembali laba, peningkatan produktivitas tenaga kerja secara sistemik dan tanpa henti, dan pengembangan produksi.[3] Perubahan hubungan sosial seperti ini terjadi karena pemisahan produsen langsung dari sarana produksinya.

Berdasarkan uraian sebelumnya, bukti-bukti historis memberikan kita gambaran mengenai perubahan sosial yang menjadi titik awal kapitalisme. Wood menemukan titik awal tersebut di Inggris. Pada abad 16, Inggris adalah negara yang sangat tersentralisasi. Kekuasaan sangat terpusat pada kerajaan setelah terjadinya Penaklukan Norman atas Inggris pada awal abad 11.[4] Kewenangan-kewenangan ekstra ekonomi kaum tuan tanah terhadap kaum petani dihilangkan akibat penggunaan senjata yang dimonopoli oleh kerajaan.[5] Akibatnya, para tuan tanah hanya dapat mengandalkan mekanisme ekonomi dengan cara menerapkan harga pasar untuk sewa tanah demi mendapatkan keuntungan.
Para petani dan tuan tanah biasanya melakukan kesepakatan harga sewa tanah sehingga harga sewa tanah cenderung stabil nilainya. Namun, akibat perubahan yang terjadi di Inggris, harga sewa tanah cenderung berubah-ubah. Bahkan, tuan tanah biasa menyewa surveyor untuk memperkirakan harga sewa yang mampu didapatkan melalui mekanisme pasar. Akibatnya, para petani penggarap di Inggris saling bersaing menawarkan harga sewa tanah yang tinggi demi mendapatkan tanah sewaan. Hal inilah yang kemudian mengharuskan para petani meningkatkan produktivitas kerja dan menghemat biaya produksi agar dapat menyewa tanah dengan harga yang paling tinggi. Selain itu, para petani pun harus meninggalkan akses non-pasar terhadap sarana produksi agar bisa bertahan hidup. Padahal, sebelumnya para petani bebas untuk menentukan pilihannya untuk menjual hasil produksinya atau tidak. Perubahan-perubahan yang terjadi ini membuat para petani tidak bisa lepas dari kontrol mekanisme pasar. Para petani mau tidak mau harus ikut dalam kompetisi pasar.
Di titik inilah kita dapat memahami pengertian kapitalisme dengan benar. Pasar tidak dihadirkan sekadar sebagai pilihan semata, tetapi sebagai mekanisme yang memaksa. Pasar tidak juga dihadirkan hanya sebagai mekanisme perdagangan biasa, tetapi sebagai penentu keberlangsungan hidup manusia. Para tuan tanah yang menjadikan pasarnya sebagai kekuatan pemaksa telah menjadi golongan kapitalis. Para tuan tanah telah menjadi kapitalis bukan karena mereka menyewakan tanahnya dengan harga yang tinggi, tetapi karena mereka tidak bisa bertahan hidup tanpa melepaskan diri dari mekanisme pasar dan menyerap nilai-lebih dari para petani. Perubahan sosial-ekonomi ini juga membuat para petani yang kalah dalam persaingan pasar harus kehilangan akses terhadap tanah produksinya. Para petani akhirnya harus pergi ke London untuk menjual tenaga kerja mereka dengan menjadi buruh bebas. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa dalam rentang abad 16 sampai 18, jumlah penduduk Inggris di London meningkat sangat pesat, dari 60.000 menjadi 575.000 orang. Nah, kondisi-kondisi objektif seperti ini yang kemudian dapat kita anggap menjadi prasyarat bagi revolusi industri. Pemisahan petani penggarap dari sarana produksinya seperti yang terjadi pada para petani di Inggris memunculkan kelas sosial baru yang disebut Proletariat.[6]
Perdagangan dan pengumpulan modal tidak serta-merta merupakan kapitalisme, sejauh akses non-pasar terhadap sarana produksi tetap dipertahankan. Adapun seseorang yang memiliki hak milik pribadi tidak lantas menjadi kapitalis. Kepemilikan pribadi tidak menyebabkan seseorang menjadi kapitalis sejauh hal itu tidak digunakan untuk memaksa produksi demi menyerap nilai-lebih semaksimal mungkin dari tenaga kerja.
Prinsip pokok kapitalisme bukanlah sistem perdagangan ataupun pengumpulan modal, tetapi kehadiran pasar sebagai penentu utama segala aspek kehidupan. Pasar hadir sebagai kekuatan yang memaksa semua pelaku untuk bersaing di dalamnya. Hal itulah yang menjadi perbedaan kualitatif dari sistem sebelumnya, yakni feodalisme. Jadi, kita tidak boleh lagi berpikir bahwa kapitalisme sama dengan pasar. Pasar telah muncul jauh sebelum kapitalisme muncul. Hakikat pasar kemudian berubah pada abad 16 saat memiliki kekuatan yang memaksa para petani yang tidak bisa bersaing dalam produksi kompetitif untuk meninggalkan sarana produksinya. Kekuatan pasar seperti ini yang kemudian mendorong maksimalisasi profit, investasi kembali laba, peningkatan produktivitas tenaga kerja secara sistemik, dan pengembangan produksi. Hal tersebut terjadi oleh karena adanya mekanisme survival bagi semua pemilik alat produksi. Dengan demikian, kita tidak boleh lagi memahami kapitalisme bukan sebagaimana mestinya.
References
Asrianti, S., dkk. (2016, Oktober). WILLIAM THE CONQUEROR: Peranan Duke of Normandy di Kerajaan Inggris Tahun 1066-1087. Factum, 5(2), 263-281. Retrieved from http://jurnal.upi.edu/file/SHENI_ASRIANTI,_NS_AI.pdf
Marx, K. (1954). Capital: a Critique of Political Economy. Moscow: Progress Publishers. Retrieved from https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Capital-Volume-I.pdf
Wood, E. M. (2002). The Origin of Capitalism: a Longer View. London: Verso.
[1] Lebih lanjut baca Capital: A Critique of Political Economy, Volume 1, Part 8, hlm. 508.
[2] Lebih lanjut baca Capital: A Critique of Political Economy, Volume 1, Part 8, Bab 26-33.
[3] Lebih lanjut baca The Origin of Capitalism, hlm. 36-37.
[4] Terkait dampak penaklukan Norman atas Inggris, baca penjelasan singkat dalam Asrianti, Sheni, dkk. (2016)
[5] Sebelum era itu, para tuan tanah biasa menggunakan kekuasaan politik, hukum, dan norma sosial untuk menarik upeti dari para petani. Perampasan hasil kerja lebih berlangsung dengan cara kekerasan ekstra-ekonomi (extra-economic coercion).
[6] Pemisahan produsen dengan sarana produksi adalah dalam artian antropologis bukan spasial atau jarak.