Categories
101

Henri Lefebvre : Dialektika dan Produksi Ruang

Nama Henri Lefebvre seolah masih kurang populer dibanding para filsuf dan intelektual sezamannya seperti Althusser, Adorno, Sartre, Habermas, Benjamin hingga Foucault. Padahal ia juga salah satu filsuf yang mengalami langsung pergulatan peradaban barat sejak era modernisme hingga pascamodernisme. Lefebvre yang kelahiran Prancis 1901 ini juga ambil bagian dalam gerakan Paris Riot pada Mei 1968 sebagai bentuk upaya perlawanan terhadap rezim Charles de Gaulle. Gagalnya gerakan 1968 menjadi perhatian khusus bagi analisis yang dilakukannya. Menurut Lefebvre, akses massa terhadap ruang-ruang kota menjadi kunci dari kegagalan gerakan revolusioner tersebut. Gagalnya akses terhadap ruang kota diakibatkan karena banyak tidak memahami hakikat dari ruang itu sendiri. Oleh karena itu ia melahirkan konsep pemikiran akan ruang yang dituangkan dalam “The Production of Space”.    

Dalam konsepnya tersebut, Lefebvre mengungkapkan bahwa ruang adalah sebuah produksi sosial. Ia menentang pemahaman sebelumnya yang menganggap ruang dalam realitas material yang bersifat swadiri (in itself). Ruang tidak pernah ada dengan sendirinya, karena ruang diproduksi secara sosial. Pemahaman ruang yang bersifat in itself atau sebagaimana adanya tidak akan pernah menemukan titik mula pemahaman epistemologis yang memadai. 

Selain itu, sebagai seorang sosiolog beraliran Marxis, konsep Lefebvre akan ruang ini secara tidak langsung mengkritik teori-teori Marxis klasik. Pemikirannya ini menghasilkan kontribusi yang tak terbayangkan oleh para kaum Marxis dan Strukturalis sebelumnya, yaitu mengenai peran ruang atau aspek spasial dalam kehidupan manusia serta perebutan wacana yang terjadi di dalamnya. Kaum Marxis sebelumnya hanya fokus berbicara mengenai relasi produksi dan akumulasi kapital namun semua itu tidak dapat berlangsung tanpa hadirnya ruang. 

Produksi Ruang

Ruang telah menjadi sebuah bahan kajian yang menarik sejak awal peradaban manusia. Dalam tinjauan filosofis, ruang menurut perspektif Cartesian (Rene Descartes) cenderung dipahami sebatas bentukan materialnya yang bersifat konkret. Menurut Lefebvre, konsep ruang masih banyak dipahami berdasarkan tradisi Cartesian tersebut yang memisahkan antara res cogitans dan res extensa yang hanya menafsir ruang berdasar ukuran luas, keliling, koordinat dan sebagainya. Kajian yang berbeda akan ruang dijabarkan dari perspektif Kantian (Immanuel Kant), yaitu bahwa ruang dan waktu tidaklah objektif dan hanya ada pada tataran subjektif. Jika alat inderawi kita mencoba memberikan input mengenai keberadaan ruang, namun apabila dalam pikiran kita tidak ada konsep ruangan, maka sesungguhnya ruangan tersebut tidaklah eksis.  

Menurut Lefebvre, ruang dalam konsep Cartesian disebut sebagai ruang konkret, sedangkan ruang versi konsep Kantian disebut dengan ruang abstrak. Dalam konteks ruang urban perkotaan, Lefebvre menyoroti bahwa situasi yang berkembang sangat dipengaruhi oleh ke dua aliran filsafat tersebut. Para intelektual dan pemikir tata kota lebih banyak bermain di ranah ruang abstrak ketika mengkonseptualisasi kota, sedangkan yang dihadapi oleh masyarakat adalah realitas di ruang konkret. Hal ini membuat Lefebvre menghadirkan konsep baru yaitu ruang sosial.  

Relasi antara ruang fisik dengan gejala-gejala di kehidupan sosial masyarakat menghasilkan sebuah produksi ruang sosial. Ruang selalu terkait dengan gejala sosial masyarakat, jadi tidak bisa tidak, untuk memahami sebuah ruang harus dipahami juga keadaan sosial masyarakatnya. Hal tersebut sekaligus mengatakan bahwa untuk memikirkan ruang, kita harus keluar dari pemahaman mengenai ruang sebagai sebuah realitas independen yang ada “dalam dirinya sendiri” (in itself). Jadi ruang hanya dapat ada karena diproduksi dan direproduksi oleh keadaan sosial. 

Sebagai pemikir Neo-Marxis, konsep yang dikembangkan Lefebvre sangat erat kaitannya dengan pemikiran Marx mengenai mode produksi. Marx mengatakan bahwa dalam sistem kapitalis, buruh sebagai entitas yang konkret telah mengalami alineasi (terasing) menjadi entitas yang abstrak. Buruh tidak dilihat lagi sebagai manusia namun dihitung keberadaannya berdasar satuan waktu kerja yang nantinya masuk dalam perhitungan komoditas yang dihasilkan. Demikian juga halnya dengan ruang yang dalam dunia kapitalis telah mengalami alienasi dan menyublim menjadi suatu bentuk yang abstrak.

Ruang dalam entitas yang abstrak terus diproduksi dalam sistem kapitalisme yang dengan kekuatan modalnya menentukan rancangan dan peruntukan ruang-ruang baru sesuai keinginannya. Ruang tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang konkret dan menghadirkan realita aktivitas sosial manusia di dalamnya, akan tetapi hanya dilihat sebatas rancangan atau gagasan ideal dengan membawa kepentingan modal dibelakangnya. Ruang dikonstruksi sedemikian rupa oleh semua pihak yang berkepentingan dengan dalih gagasan ideal guna mendominasi pemakaian dan pemanfaatannya.  

Sebetulnya dalam sejarah umat manusia, relasi sosial yang menghasilkan ilmu pengetahuan dan gagasan telah memproduksi konstruksi wacana terhadap sebuah ruang. Wacana inilah yang dijadikan alat oleh umat manusia untuk memilah, memisahkan, menyekat ruang-ruang fisik (konkret) yang ada di dalam kehidupannya. Hal tersebut membuat umat manusia memperlakukan dan mengoperasionalkan ruang-ruang di kehidupannya secara dikotomis. Sebagai contoh, pembedaan antara ruang sakral (tempat ibadah keagamaan) dengan ruang profan (pasar dan jalanan), ruang privat (istana, rumah, kamar) dengan ruang publik (alun-alun, pasar, dan taman kota), hingga konsep surga dengan neraka. Konsep dikotomis ini yang juga selalu diproduksi dalam konteks urban kapitalis, seperti contoh munculnya konsep area pemukiman real estate yang diberi narasi mewah dan nyaman sebagai lawan dari pemukiman padat, kumuh dan dianggap tak nyaman. 

Agar dapat memahami bagaimana ruang dapat diproduksi secara lebih komprehensif, Lefebvre menganjurkan kita untuk melepaskan dikotomi ruang yang telah melembaga dalam paradigma episteme Barat. Untuk membongkar struktur dikotomis tersebut, ia membuat konsep yang bersifat trikotomis yang dikenal dengan “triad konseptual”. Konsep triadic tersebut terdiri dari,

Praktik Spasial

Konsep ini merujuk pada dimensi berbagai macam praktik, aktivitas hingga relasi sosial di dalam ruang. Lefebvre menyamakan istilah praktik sosial menjadi praktik spasial karena dalam perspektifnya, tindakan dan aktivitas sosial hanya dapat terjadi di dalam ruang. Tindakan dan aktivitas sosial fisik yang konkret akan melahirkan konsepsi pengetahuan guna memaknai dan memperlakukan ruang secara spesifik. Sebagai contoh, ketika sebidang ruang dimaknai secara kolektif sebagai pasar dengan setting fisik berupa sekat-sekat kios dengan berbagai barang yang sengaja ditampilkan di bagian muka dari kios, maka aktivitas sosial yang ditunjukkan di dalamnya spesifik kepada aktivitas jual beli. 

Representasi Ruang    

Representasi ruang ini ketika gambaran, konseptualisasi, dan wacana yang diperlukan untuk memproduksi serta mendefinisikan ruang. Konsep ini muncul pada tingkat wacana, dia muncul dalam bentuk-bentuk yang diucapkan seperti deskripsi, definisi, dan terutama teori ruang. Wacana akan representasi ruang ini berfungsi sebagai penata dari berbagai relasi yang menghubungkan ruang-ruang tertentu dengan berbagai wacana di luar ruang itu sendiri. Representasi inilah yang memberikan jalan bagi manusia untuk membingkai ruang pada konteksnya, dan kemudian memaknainya melalui sistem tanda, kode dan bahasa. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan semisal Geografi, Planologi dsb. manusia  dapat mengatur ruang dan memproyeksikan dirinya dengan orang lain dalam sebuah ruang.

Representasi Ruang membuka peluang bagi ruang yang tadinya tidak hadir dalam kesadaran menjadi “ditemukan” oleh peradaban. Contohnya yang terdapat pada Ruang Kota atau Ruang Urban. Terminologi Ruang Urban merupakan produksi dari praktik intelektual melalui sistem tanda yang bahasa yang terartikulasikan dari konsep ilmu pengetahuan. Konsep tersebut digunakan untuk menggambarkan atau merepresentasikan ruang hidup manusia kontemporer lengkap dengan praktik spasialitas sehari-harinya di ruang bernama kota. Perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia telah memungkinkan manusia mengubah “ruang alamiah” menjadi “kota.”

Ruang Representasi

Kebalikan dari representasi ruang, “ruang representasi” berisi dimensi simbolik dari ruang namun bukan merujuk pada ruang itu sendiri melainkan kepada sesuatu yang lain di luar ruang; kekuatan adikodrati, bahasa, negara, prinsip-prinsip maskulinitas dan feminimitas dsb. Dimensi produksi ruang ini mengacu pada proses pemaknaan yang menghubungkan dirinya dengan simbol.

Ketika ruang dipahami semata secara simbolik, maka sesungguhnya praktik spasial dalam keseharian manusia menjadikan simbolisme itu sebagai penanda relasi antar-ruang yang paling konkret. Contoh yang paling sederhana adalah ikon laki-laki dan perempuan yang dipasang di setiap penanda dan pintu toilet umum. Misalnya di sebuah Mall atau Bioskop menuntut adanya cara bagaimana memisahkan ruang privat laki-laki dan perempuan. Ikon simbolik tersebut sebenarnya adalah upaya kontrol atas seksualitas yang terjadi di ruang publik.

Selain ketiga konsep pemroduksian ruang tersebut, ruang juga senantiasa terdiri dari pengalaman hidup aktif manusia yang mengisinya. Lefebvre juga merumuskan tiga karakter dari ruang berdasarkan kompleksitas pengalaman di dalamnya. Tiga karakter ruang sebagai produk sosial tersebut yaitu, 

Perceived space, yaitu ketika aspek-aspek spasialitas sebuah ruang mampu dipersepsi atau dirasakan oleh segenap alat inderawi kita. Aspek ini berkaitan dengan elemen-elemen material yang pada akhirnya menyusun sebuah ruang. 

Conceived space, yaitu ketika ruang itu dipahami. Setelah ruang tersebut dipersepsi, ilmu pengetahuan yang manusia miliki membantu dalam proses mengkonversi ruang dalam tataran representasi tertentu yang pada akhirnya membantu ruang untuk dipahami. 

Lived space, dimensi ke tiga dari ruang sebagai produk sosial ini berkaitan dengan pengalaman hidup sehari-hari manusia di dalam ruang. Secara sederhananya adalah ketika ruang tersebut dihidupi oleh bermacam aktivitas dan pengalaman hidup manusia di dalamnya. Menurut Lefebvre, realitas hidup yang berisi pengalaman praktis tidak akan selesai jika hanya dianalisis secara teoretis.

Levebfre menegaskan bahwa perceived dan conceived space dengan segala macam analisis teorinya, selalu meninggalkan residu permasalahan ketika bersinggungan dengan pengalaman lived space. Seperti contoh kerap dijumpainya gerobak dan kios pedagang kecil yang secara sporadis menyebar di sekeliling Mall. Hal tersebut seperti sebuah kontra wacana dari bentukan ideal konsep “mewah dan nyaman” yang direpresentasikan oleh Mall. Itu dapat terjadi karena pada tataran realitas, tidak semua masyarakat yang mengisi praktik spasial di Mall akan memanfaatkan segala fasilitas di dalamnya. Para satpam dan pramuniaga justru kerap memenuhi kebutuhan mereka dari pedagang kecil di luar Mall. 

Kenyataan itu menunjukkan bahwa ruang tidak akan pernah berhenti berproduksi, dia akan terus mereproduksi dirinya sendiri. Tangan tangan modal yang merasa bisa mengendalikan ruang pada akhirnya harus menyerah dengan kenyataan lived space. Bahwa produksi ruang abstrak akan selalu meninggalkan residu sebagai bahan mereproduksi ruang baru, ruang sosial.   

Sumber :

Lefebvre, Henry. 1991. The Production of Space, diterjemahkan oleh Donald Nicholson-Smith. Basil Blackwel. Oxford.

Robet, Robertus. 2014. Ruang Sebagai Produksi Sosial Dalam Henri Lefebvre.

Setiawan, Andi. 2017. Produksi Ruang Sosial Sebagai Konsep Pengembangan Ruang Perkotaan (Kajian Atas Teori Ruang Henri Lefebvre). Haluan Sastra Budaya. DOI: 10.20961/hsb.v33i1.4244 

By Danang Lukmana

Seorang pembelajar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *