I.
Pandemi menyerang kita. Pandemi ialah bagian dari alam yang tidak kita kuasai. Kita merasa sanggup menanggulangi alam, merasa bahwa manusia berkuasa di atas alam. Namun faktanya, pandemi ini menunjukan betapa kita tidak sepenuhnya menguasai alam.
Pengetahuan sering disamakan dengan kuasa. Dengan pengetahuan, seseorang menguasai sesuatu. Masalahnya berbeda dengan alam. Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita memiliki segala pengetahuan tentang alam. Alam terlalu luas, kompleks, ruwet, dan muluk-muluk. Hanya kebutaan manusia yang membuat manusia berpikir bahwa manusia memiliki pengetahuan yang utuh tentang alam, dan karenanya itulah merasa berhak menguasainya.
Hanya kurang dari lima persen virus di bumi yang manusia ketahui. Sisanya menjadi satu dalam ekosistem alamiah yang belum dijamah manusia. Covid-19 merupakan salah satunya. Sejujurnya, virus-virus lain di masa lampau juga berubah menjadi pandemi maupun endemi juga merupakan virus-virus yang tidak teridentifikasi sebelumnya. Sistem kehidupan manusia yang rakus dan tidak ramah lingkungan akhirnya membuat manusia-manusia di pinggiran kota, yang secara ekonomi terpinggirkan, merambah-rambah ke hutan, goa, dan daerah-daerah yang tidak terjamah untuk mencari hewan-hewan liar yang sebelumnya belum pernah dikonsumsi manusia. Untuk apa? Untuk dijual sebagai “makanan eksotis” yang disebut bush meat. Dari pasar hewan eksotis itu jugalah virus Covid-19 melompat dari kelelawar ke manusia.
Pengetahuan manusia tidak lengkap, kita tidak tahu sebelumnya mengenai virus ini. Bukan hanya “kita” yang belum mengetahuinya, tetapi fungsi biologis sistem imun kita juga tidak mengetahuinya.
Celakanya, orang-orang kurang beruntung yang juga bermata pencaharian sebagai pencari daging-daging atau hewan-hewan liar itu tidak tahu bahwa ada virus yang tidak memiliki efek bagi hewan-hewan itu, atau bagian dari metabolismenya, tetapi untuk manusia dapat menimbulkan penyakit dan bahkan menyebabkan kematian.
II.
Angka infeksi di Indonesia meningkat lagi, bahkan melejit. Sebabnya tidak sulit ditemukan dan sangat kentara. Ya, amat kentara seperti matahari di siang bolong. Ketidakdisiplinan banyak orang Indonesia dalam menjalankan protokol kesehatan, seperti berkumpul dan menggunakan masker, serta mengabaikan imbauan dan larangan pemerintah seperti larangan mudik, yang tidak dihiraukan banyak orang Indonesia. Akibatnya, penularan virus tidak terkendali, angka meningkat, dan rumah sakit-rumah sakit mulai terbebani.
Argumen-argumen banyak orang Indonesia yang tidak taat prokes maupun imbauan pemerintah juga mudah dipetakan. Ada yang berpendapat secara religius, bahwa mati dan hidup ada di tangan Tuhan sehingga semuanya dipasrahkan saja. Pakai masker, taat prokes, kalau Tuhan berkehendak terjangkit virus, maka terjangkitlah. Logika Tuhan yang sama berlaku sebaliknya, kalau tidak pakai masker, tidak taat prokes, dan Tuhan menyertai kita, maka apabila kita selalu membentengi diri dari virus, sulit bagi kita untuk tertular.
Ada yang berpendapat secara hukum. Mereka menyoroti hak. Ini kan hak kita untuk bernafas bebas, untuk mencari nafkah, untuk pergi ke pasar di pagi hari, untuk bertemu teman-teman, untuk bertemu keluarga dengan pertukaran raut wajah yang natural, dan sebagainya. Pemerintahan atau negara tidak sepatutnya mengganggu hak-hak dasar warga ini.
Atau ada pula yang tidak peduli sama sekali, atau dengan argumen kira-kira semau gue. Ya kan hidup-hidupku, kalian tidak perlu mengurusi hidupku. Mau pakai masker, ya, pakai, kalau enggak, ya tidak usah pakai.
III.
Mari kita renungkan amatan pertama tentang sebab pandemi dan amatan kedua tentang sebab melonjaknya angka infeksi di Indonesia dengan konstelasi dua istilah inti: hak dan kewajiban. Masihkah para pembaca ingat mengenai dua istilah ini? Barangkali samar-samar karena memang kedua hal ini kita dapat dan bahas secara hafalan sewaktu kita SMP pada pelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Kita dulu diminta untuk menjawab pertanyaan pilihan ganda, dengan memilih, mana hak dan mana kewajiban, atau juga soal esai dengan penjelasan dua kalimat untuk masing-masing istilah. Sekarang, kita mungkin lupa apa definisi keduanya. Menurut saya juga tidak masalah, karena definisi tidak pernah penting. Lebih akurat dan tepat sasaran bila kita menyimpulkan langsung saja, atau mengaplikasikan kedua istilah itu pada contoh nyata sehingga hakikat dari kedua istilah itu menjadi nyata.
Richard David Precht, filsuf terpopuler di Jerman–negara kelahiran banyak sekali filsuf–baru saja menulis buku soal ini. Namun, judulnya, Über das Pflicht, “Tentang Kewajiban”. Lho, mengapa hanya kewajiban, haknya mana?
Para pembaca, kalau kita sadari, sebenarnya dua narasi di atas semuanya bertolak dan berputar pada hak saja. Hampir tidak ada yang bersangkut-paut dengan kewajiban.
Mari kita lihat narasi yang pertama. Secara teologis dan teleologis, kalau kita membaca kisah penciptaan agama abrahamik, manusia sudah pada dasarnya diberi hak untuk menguasai alam oleh Allah. Dalam tatanan masyarakat kita, setiap manusia (dalam hal ini warga negara) diberi hak untuk mencari nafkah serta hidup bebas.
Pada narasi kedua, setiap orang punya hak untuk beragama dan menjalankan apa yang menjadi keyakinannya, termasuk kepasrahan pada kehendak metafisik Allah. Setiap warga punya hak untuk hidup bebas, menghirup udara segar, dan lainya seperti yang saya utarakan di atas. Setiap warga negara juga punya hak untuk bebas dan cuek.
Namun, apakah kehidupan sosial hanya terdiri dari hak sehingga semua orang, setiap kelompok masyarakat, setiap individu, setiap keluarga, dapat menuntut hak mereka masing-masing untuk dipenuhi? Menurut Precht, filsuf Jerman yang telah disebut di atas, tidak. Jangan lupa, hak datang bersamaan dengan kewajiban. Keduanya harus diperhitungkan sebagai keseluruhan dialektika hak-kewajiban. Sebuah masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok dan individu-individu yang hanya mengedepankan hak masing-masing bisa dikata amatlah primitif, mundur.
Presiden Amerika John F. Kennedy pernah mengucapkan kalimat legendaris, “Ask not what your country can do for you; ask what you can do for your country!”. Kalimat yang hari ini menjadi amat relevan, terutama untuk masyarakat Indonesia. Jangan selalu menuntut hak kita melulu tanpa memikirkan soal kewajiban yang juga kita miliki. Paling tidak, kita harus tahu tentang kewajiban dasar setiap manusia yang sudah tergabung ke dalam masyarakat madani dan bernegara: kewajiban untuk tidak menyentuh atau menghormati hak-hak asasi manusia. Apa hak yang paling dasar dari setiap manusia, tanpa terkecuali apapun? Hak untuk hidup dan keamanan. Mengapa ada hak itu? Karena kita percaya adanya martabat manusia; bahwa setiap nyawa dan tubuh manusia berharga. Keamanan di sini dapat kita kontekstualisasikan dengan mengatakannya sebagai jaminan untuk aman dari terjangkit virus Covid-19. Terpenuhinya kedua hak ini memungkinkan kita untuk menuntut terpenuhinya hak akan kebebasan kita dan hak untuk hidup sebagaimana yang kita inginkan.
Ini menjawab sekaligus membantah segala argumentasi yang terpaparkan pada narasi bagian dua. Banyak orang Indonesia lupa bahwa mereka punya kewajiban. Kewajiban untuk mewujudkan hak orang lain agar dapat hidup dan menjamin keamanan kehidupan mereka. Prokes serta himbauan atau larangan pemerintah yang diwajibkan pada kita, di Indonesia maupun seluruh negara lain, merupakan langkah mutlak untuk memenuhi hak dasar itu.
Cara pandang yang sama juga berlaku untuk narasi yang pertama. Meskipun setiap manusia punya hak untuk mencari nafkah, semua orang wajib mengerjakan pekerjaan yang tidak membahayakan keamanan kehidupan manusia. Hal ini masih bisa kita polemikan lagi, sejujurnya, dengan membawa argumen yang pro-ekologi: bagaimana dengan kewajiban manusia untuk menghargai hak-hak alam? Alam, yang tidak dapat menyuarakan haknya sendiri? Ya, seluruh diskurs etika lingkungan sedang menggarap persoalan pelik ini.
Bagaimanapun juga, pesan tulisan ini hanya satu: ingat kewajiban dan hak asasi dasar manusia. Ingat hak hidup dan keamanan orang lain. Ingat kewajiban untuk menaati prokes. Ingat kewajiban untuk menaati himbauan dan larangan pemerintah maupun negara. Sebab, toh, seluruh negara modern juga diwajibkan untuk menjaga keamanan biologis atau kesehatan warganya.
Selesai ditulis 23.6.2021.