
Film terbaru besutan Ron Howard, Hillbilly Elegy, akhirnya dirilis pada 11 November 2020. Film ini merupakan adaptasi dari sebuah novel autobiografi J. D. Vance yang terbit 2016 silam dan naskahnya ditulis oleh Vanessa Taylor. Dari segi sinematografi, saya tak mau berkomentar apapun, sebab penilaian tersebut berada di luar kapasitas saya. Saya akan berkonsentrasi pada segi isi yang dapat saya analisis secara filosofis (dengan banyak merujuk ke filosofi psikoanalisis) ataupun sosiologis. Sebab, film tersebut mengangkat banyak sekali tema, terutama kemasyarakatan dan kemanusiaan dalam konteks psikologis yang dapat dikupas secara mendalam.
Yang Lain dalam Tiap Masyarakat
Setiap masyarakat pasti memiliki memiliki sisi lain. Di Amerika Serikat yang terkenal maju, ada kelompok besar masyarakat “terbelakang” yang disebut rednecks. Keluarga Vance merupakan bagian dari kelompok masyarakat tersebut. Keluarga Vance tinggal di Middletown, Ohio, tetapi berasal dari Kentucky, dari daerah bekas kawasan industri yang lesu secara ekonomi. Mereka “pulang” ke Kentucky setiap musim panas, mengisi jeda di antara kesibukan pekerjaan mereka di kota Middletown.
Film ini diawali dengan liburan mereka di Kentucky tersebut, dan perjalanan mereka pulang kembali ke Middletown; sebuah perjalanan yang diakhiri dengan pernyataan ibu Vance demikian: “Oh, thank God. Back to civilization” . Ya, memang, dari lanskap yang hijau, penuh pepohonan dan berdanau, mereka beranjak ke kota dengan signifikan-signifikan ala kota: jalan dengan trotoar yang apik, pabrik-pabrik, rel kereta api, juga under-pass: ke “peradaban”. Namun, kota yang ditunjukkan pada adegan ini bukan kota yang megah, penuh hingar-bingar dan kemewahan macam New York, melainkan kota yang lesu, layu, dengan gedung-gedung pabriknya yang compang-camping, dan jalanan yang tak hidup. Di sinilah tempat para rednecks—mereka yang terbelakang, yang tak mendapat pendidikan tinggi di universitas, dan mereka yang tergolong kelas pekerja—tinggal.
Kata rednecks sendiri pertama kali terucap dari mulut seorang bos perusahaan yang makan bersama dengan Vance dalam sebuah pertemuan penting. Pada adegan ini, Vance sudah lulus sebagai sarjana hukum dari Yale University dan sedang mencari pekerjaan. Di meja makan tersebut, duduk bos-bos dan para mahasiswa yang dianggap berprestasi dan mampu bekerja untuk mereka. Mereka makan dengan tata cara makan (table manner) yang Vance tak pernah ketahui.
Dalam pembicaraan itu, mengalir pujian dan hinaan untuk Vance. Pujian, sebab Vance menjadi wujud representasi American Dream, yakni mereka yang berangkat dari nol, masuk ke salah satu universitas terbaik di Amerika dengan segala jerih payah, dan berhasil menaiki tangga sosial. Hinaan, sebab keluarga Vance disebut sebagai rednecks, yang barangkali di Indonesia sepadan dengan gabungan antara “orang kampung” dan “orang terbelakang”.
Dari kedua adegan tersebut, terlihat sekali bagaimana penulis naskah di sini bermain dengan dikotomi dan tegangan di antara kedua sisi tersebut: peradaban/terbelakang, kota pelajar/kawasan industri, kawasan industri/kampung, kelas atas/kelas pekerja, dan seterusnya. Kita dapat melihat bagaimana struktur dikotomis, yang sejatinya berbasis pada model dominan/terdominasi, mereproduksi dirinya.
Bev, ibu Vance yang bekerja sebagai perawat pada sebuah rumah sakit daerah dan merupakan bagian dari kelas pekerja, menyebut Middletown, Ohio, sebagai “peradaban”. Orang yang makan bersama Vance, salah seorang bos yang merupakan anggota kelas atas, menyebut keluarga Vance yang tinggal di kota kecil, sebagai rednecks. Ya, sebuah identitas memang harus dikonstruksikan bersamaan dengan identitas lain yang ditempatkan di luar identitas tersebut, alias yang liyan. Hanya beberapa manusia, seperti Vance, yang memahami “ruang”, “identitas”, dan kondisi sosial dari kedua sisi yang bersitegang tersebut, karena pengalaman menghidupi dua jenis kehidupan yang berbeda tersebut. Karenanya, mereka juga lah yang paling mampu mengubah konstelasi itu, paling tidak untuk tidak menciptakan relasi yang dicirikan oleh dominasi (kelas atas) dan terdominasi (kelas bawah, atau yang liyan).
Yang Lain dalam Tiap Individu
Ibu Vance, Bev, jelas memiliki masalah kejiwaan. Untuk menyebutkan sedikit: ia agresif, suka menyakiti orang lain dan diri sendiri, kerap mencari pelarian, melampiaskan emosi pada orang-orang tertentu, sulit berempati, dan lain sebagainya.
Masalah-masalah tersebut jelas mempengaruhi keadaan psikis Vance juga, menjadikannya sedikit “tertular” perilaku patologis[1] ibunya. Ia mulai menggunakan kata-kata kotor (yang sudah ia dapat juga dari Mamaw, neneknya), bermuka dua, dan bahkan menyumpahi Mamaw supaya lekas meninggal setelah Mamaw divonis menderita pneumonia. Padahal, Vance sebetulnya sedih, sebab ia tahu bahwa tinggal bersama Mamaw merupakan satu-satunya jalan agar ia terlindungi dari tingkah patologis ibunya.
Vance akhirnya berakhir dengan teman-teman losers-nya. Mereka sehari-hari hanya mengonsumsi ganja, bercanda dengan satu sama lain, dan merusak toko. Tindakan-tindakan tersebut merupakan pelampiasan emosi yang cukup destruktif, yang terus membayanginya sampai dewasa. Puncaknya, Vance sampai ingin membunuh pacar terakhir ibunya, yang mengusir ibunya dari rumah dengan melempar-lempar seluruh barangnya lewat balkon.
Lagi-lagi, pasti mekanisme psikologis yang ada di baliknya memunculkan pengulangan sifat-sifat patologis dari generasi ke generasi. Namun, tanpa harus memahami mekanisme psikologis dari film ini, kita dapat menarik satu hal: bahwa diri kita, psikis kita, individualitas kita, selalu berada di bawah bayang-bayang peristiwa yang terjadi di masa lampau yang sudah mau tidak mau menjadi bagian integral di dalam diri kita. “Aku” tak hanya berdiri sendiri, melainkan selalu menerima pengaruh dari sesuatu yang lain, yang juga ikut mendiami “aku” itu dan terkadang mengambil alih “aku”. Menjadi-subjek bukan proses yang dapat secara naif direduksi pada kesadaran rasional, tekad positif, dan lain sebagainya. Ada esensi dari dimensi “pengalaman” di masa lampau yang mendahului eksistensi “aku”. Secara sederhana: faktor-faktor di luar kesadaran kita, baik dari pengalaman pribadi maupun perlakuan orang lain amatlah membentuk kita.
Penjelasan terklasik untuk ini dapat kita ambil dari para psikoanalis dan pengguna teorinya Freud, Laplanche, Lacan, Zizek, dan lainnya. Teori tersebut, seperti yang disintesiskan oleh Dominik Finkelde (2018), pada intinya mencoba menjelaskan mengenai ketidakmampuan “aku”, sebagai subjek sadar, dalam mencerna pengalaman-pengalaman yang terlalu intensif, bombastis, luar biasa, yang saking dahsyatnya tidak dapat dicerna oleh “aku” dalam kesadarannya, atau dengan rasionalitasnya. Sebab, “aku” pada dasarnya hanya dapat memahami, mencerna, setiap perihal melalui medium simbolik, atau tatanan simbolik.
Apa yang dimaksud dengan tatanan simbolik? Bahasa. Ya, kita hanya dapat memahami sesuatu yang dapat kita bahasakan. Untuk itu, sampai sekarang tidak pernah ada teori yang dapat menjelaskan tentang keindahan, misalkan, sebab keindahan sendiri merupakan sesuatu yang sulit untuk dielaborasi dengan bahasa, dengan kata. Keindahan hanya menyambar kita begitu saja, dengan membuat kita terpana(h) oleh pancaran auranya. Dari keindahan, dari terang atau sisi positif, kita dapat beranjak ke sisi negatif, ke sisi pengalaman-pengalaman buruk, seperti pengalaman-pengalaman Vance di masa lalu dengan ibunya yang patologis.
Vance, apalagi pada waktu ia masih kecil–dan “masih kecil” tak bisa dianggap remeh berkaitan dengan kondisi kemampuan kognitif untuk melakukan tindakan pemahaman atau pencernaan fenomena sekitar melalui tatanan simbolik (Costa 2021: 3-6)–tak mampu untuk memahami segala pengalaman buruk itu. Dengan kata lain: psikis Vance tak mampu untuk mencerna dan menerjemahkan pengalaman-pengalaman dengan ibunya pada tataran simbolik.
Apa yang terjadi selanjutnya? Lubang. Ada lubang pada psikis kita yang menampung pengalaman-pengalaman yang tak teridentifikasi, tak terdefinisi, tak terjemahkan, atau tak terpahami secara simbolik. Dan persis permasalahan non-identitas pengalaman-pengalaman masa lalu seseorang ini lah yang membuat trauma, mimpi-mimpi buruk, dan perilaku-perilaku patologis seseorang, terutama ketika ia mencoba untuk menghadapi “lubang” itu–sesuatu yang asing yang permanen dan laten pada psikis tersebut. Dalam film ini ada banyak sekali adegan flashback saat Vance mengingat banyak sekali pengalaman buruk–yang menciptakan lubang dalam kondisi psikis tersebut–yang sewaktu kecil tak mampu ia pahami akibat kedahsyatan pengalaman-pengalaman itu. Yang tentu paling sering muncul, sekaligus malah paling netral, ialah uluran tangan Bev, ibunya, yang selalu menciptakan raut wajah bingung dari Vance kecil.
Di akhir film, kalimat terakhir Vance sebelum memulai wawancara magangnya merangkum semua yang saya coba utarakan. “My family is not perfect, but they made me who I am and gave me the chances they never had. My future, whatever it is, is our shared legacy.”
Vance mengakuinya, prakondisi untuk menjadi-subjek setiap orang, yakni segala hal yang sudah ada pada diri kita dan memengaruhi kita di luar kesadaran kita yang pertama-tama ditanamkan di dalam keluarga. Maka dari itu keluarga amatlah penting, bahkan hampir menjadi segalanya, untuk perkembangan setiap manusia. Sebab, setiap keluarga, apalagi keluarga-keluarga yang disebut “broken home” itu, pasti pada psikis akan meninggalkan bekas, jejak, luka, atau menggunakan istilah sebelumnya: lubang. Dan mau tidak mau, lubang-lubang pada psikis tersebut harus akan ditangani oleh psikis kita, sadar maupun tak sadar.
Pada kasus Vance (dan juga kakak perempuannya yang juga mengalami segala perlakuan patologis ibunya), mereka sudah memulainya dengan sadar. Namun, bukan dengan mencoba memahami ibunya, melainkan memaafkannya. Pada sebuah adegan di tengah-tengah film, kakak perempuannya berkata tentang Bev pada Vance yang kesal padanya: “I can’t defend her, but I’m trying to forgive her. If you don’t, you’re never gonna get out of what you’re trying to get out of.”
Memaafkan berarti menerima. Dengan begitu, paling tidak lubang-lubang pada psikis tersebut sudah muncul ke permukaan, ke terang, ke kesadaran, dan tak lagi tinggal, membusuk, pada ceruk-ceruk “bayangan” gelap psikis kita (tentang “bayangan”, “shadow”, “Schatten”, lihat Jung 1975: 30-31 dan Jung, dalam Storr [1986]: 88-90).
Yang Lain sebagai Penyelamat
Setiap kita selalu bergantung pada orang lain. Kita tidak mungkin akan ada tanpa orang lain, sebab paling tidak pengaruh orang lain sudah tertanam kepada kita dalam ketidaksadaran kita. Namun, manusia tentu tak hanya digerakkan oleh proses yang tidak sadar, melainkan juga proses yang sadar, yakni dengan pemikiran dan penimbangan.
Faktor-faktor ketidaksadaran tentunya ada, namun, seperti pada film, Vance dibangunkan dari pengaruh-pengaruh laten ketidaksadaran itu untuk berefleksi dan menjadi pribadi yang lebih baik, dan tersosialisasi ke dalam struktur masyarakat.
Tak bisa dipungkiri, Mamaw (nenek Vance, ibu Bev) lah orang itu, bagian dari keluarga, yang membangunkan Vance dari “kegelapan” dan memberi pelajaran kepadanya tentang pentingnya hidup dalam masyarakat. Kisah ini ditampilkan sewaktu Mamaw terbaring, tergeletak di rumah sakit dan tak berdaya akibat penyakit pneumonianya. Ia berpikir dan berpikir, bermimpi, mengenai hidupnya, mengenai pengalamannya mendidik anaknya, dan mengenai Vance yang ia duga mulai menyusuri jalan yang sama yang diambil Bev. Vance baru saja hampir tertangkap polisi selepas mencuri mobil Mamaw, yang sedang tak berdaya itu, dan menggunakannya bersama teman-teman “pecundang”nya yang ia temui dari keluarga Ken (suami baru Bev pada waktu itu) untuk mendatangi sebuah gudang penyimpanan barang dan merusak barang-barang yang ada.
Mamaw merasa ada yang ganjal. Ia menyadari bahwa Vance tidak memiliki tokoh panutan, yang menuntunnya, memberi perhatian padanya, yang dapat membentenginya dari pengaruh-pengaruh buruk dari lingkungan sosial yang patologis, yang menyulitkan seseorang untuk “menjadi orang”. Ia tak punya ayah, dan ibunya juga tak dapat mengambil peran itu. Dan Mamaw berpikir, ia sendiri juga memilih untuk mengambil jarak dari Vance, dan merasa itu bukan urusannya, sebab itu ialah urusan anaknya, Bev. Ia sebelumnya berpikir ia sudah tua, dan saatnya menikmati hidup baginya. Namun, lagi-lagi, Bev tak dapat diandalkan. Ya, akhirnya ia menyadari akar dari segala kekacauan dalam keluarganya yang berkaitan dengan hilangnya peran panutan, penuntun, pelindung, pemberi arah, dst. yang biasanya direpresentasikan oleh orangtua setiap anak tersebut dan bertekad untuk mengambil tanggung jawab itu. Scene ditutup dengan Mamaw yang mencabuti sendiri selang infusnya, beranjak dari tempat tidur, keluar dari kamar pasien melalui koridor sambil membawa kopernya sendiri, dan pergi menyetir mobilnya sendiri ke rumah Ken, tempat Bev dan Vance sudah tinggal untuk beberapa waktu, untuk mengambil alih pengasuhan Vance.
Kita dapat membaca tindakan dan perubahan pikiran drastis Mamaw menggunakan kacamata eksistensialisme Albert Camus. Mamaw yang menyadari dan memutuskan untuk mengambil alih kewajiban anaknya untuk mengasuh Vance ialah Mamaw yang “memberontak” terhadap konsepsi hidup di masa senjanya sendiri dan terhadap konsepsi peran yang ada dalam masyarakat, bahwa seorang ibu dari seorang anaklah yang harus bertanggung jawab terhadapnya. Camus menulis:
“An act of rebellion is not, essentially, an egoistic act. Of course, it can have egoistic motives… The rebel … demands respect for himself, of course, but only in so far as he identifies himself with a natural community“, dan “when he rebels, a man identifies himself with other men and so surpasses himself, and from this point of view human solidarity is metaphysical” (Camus 2013b).
Maksudnya ialah, bahwa setiap aksi solidaritas selalu mensyaratkan perlawanan terhadap absurditas kehidupan, sebab hidup tiap orang sebetulnya tak memiliki makna, tak memiliki tujuan. Buat apa hidup kalau pada akhirnya mati (Camus 2013a: 43)?
Menonton TV, bermain kartu, setelah melepas segala tanggung jawab sosial karena memasuki masa “pensiun”, merupakan hal-hal yang menurut Camus ialah cara menghabiskan waktu hidup dengan hal-hal–katakanlah–asik yang dapat dinikmati untuk mengatasi absurditas kehidupan (Ibid.: 45; lihat juga, Sartre 2020: 65). Tak ada yang dikejar di situ, selain menghabiskan waktu untuk mendapat kepuasan secara kuantitatif; tak ada lagi yang dapat dibangun, dikembangkan oleh dan dalam hidupnya.
Kita juga dapat melihat sendiri, betapa masyarakat modern hari ini memang seakan-akan sengaja untuk memasukkan para pekerja yang sudah pensiun ke masa “kamp absurditas” dengan tak memberi mereka peran sosial apapun.[2] Maka, Mamaw hidup dalam konsepsinya tentang peran sosial, bahwa ia ialah seorang nenek, yang sudah pensiun, dan itu berarti ia berhak untuk bersantai-santai saja.[3]
Namun, seperti kita tahu, Mamaw berubah. Ia seperti kerasukan sesuatu setelah menyadari bahwa kematian benar-benar mendekat. Kita harus memasukan konsep cinta sedikit di sini, yang dapat menjelaskan kepeduliannya terhadap cucunya, Vance. Kita juga harus mempertimbangkan aspek psikologis darinya, dengan mengingat apa yang terjadi pada anaknya sendiri, yang ia tak mau hal itu terulang. Semua itu membuat ia tergerak untuk melakukan sesuatu.
Sontak hidupnya ada makna, ada tujuan. Ia mencabut selang infus dan keluar dari rumah sakit untuk memasuki dunia nyata. Ia lepas dari hidup manusia absurd, beranjak, dan “mengidentifikasi dirinya dengan orang lain” atau “komunitas”. Ia memberontak terhadap absurditas hidup yang disebabkan oleh faktor institusional kemasyarakatan berkaitan dengan bentuk hidup manusia pensiunan, dan memutuskan untuk mengambil alih peran anaknya, Bev, untuk mengasuh cucunya.
Yang Lain sebagai Pengalaman dalam Cerita
Jean-Paul Sartre pernah mengatakan: “seseorang harus memilih: hidup [dalam artian mengalami] atau menceritakan [apa yang dialami]” (Sartre 2020: 66). Apa maksudnya? Dalam setiap kita, paling tidak ada dua kompleks, atau dua orang, yang dua-duanya adalah diri kita.
Tak mungkin tidak, sebab kalau tidak ada pembelahan ini–suatu konsep yang amat tua dalam filosofi–, kita tak dapat memikirkan tentang kita sendiri; karena kita punya ingatan, memori, yang kita sudah jalani di masa lampau, dan ketika kita kilas balik, kita melihat “kita” sebagai orang lain: “kita” sendiri adalah yang lain untuk kita sendiri.
Dari situ saya hanya ingin mengatakan: apa yang kita lihat dari film ini bukanlah Vance yang sekarang sedang hidup dan menjalani kesibukannya, melainkan “Vance” sebagai seorang tokoh. Meskipun Vance menulis tentang dirinya sendiri dalam buku autobiografinya, “Vance” yang ada dalam buku itu bukanlah Vance yang sekarang hidup.
Nah, mengapa pusing-pusing memikirkan seperti ini? Jawabannya mudah: supaya kita tak ragu untuk belajar dari “Vance”, dan juga belajar dari “kita” sendiri, yang hidup di masa lampau, yang pengalaman-pengalamannya dapat kita refleksikan. Tak perlu ada rasa malu, atau rasa tak pantas, untuk menganalisis diri “kita” sendiri sebagai “objek”, atau lebih bagusnya, sebagai tokoh. Sebab, selain baik untuk kepribadian kita, untuk kita sebagai subjek, manusia, yang memiliki faktor-faktor psikologis, kita juga mampu mendapatkan kepercayaan diri dan rasa “asik” dalam menjalani hidup: sebagai sebuah petualangan (Ibid.: 67). Ya, hidup adalah petualangan, dan petualangan Vance sebagaimana ia ceritakan, yang diwarnai oleh “ketidaksempurnaan” di dalam dinamika keluarganya, berakhir baik, dan menginspirasi tiap-tiap kita.
Rasanya saya cukup mengutip C. G. Jung untuk mengupas perihal itu, sekaligus untuk menutup tulisan ini: “Recognition of the shadow […] leads to the modesty we need in order to acknowledge the imperfection. And it is just this conscious recognition and consideration that are needed whenever a human relationship is to be established. A human relationship is not based on differentiation and perfection, […] rather, on imperfection, on what is weak, helpless and in need of support” (Jung, dalam Storr [1986]: 399-400).
Catatan Kaki
[1] Kata “patologis” juga dipakai secara hermeneutik dalam ilmu sosial dan filosofi yang di ambil dari cabang ilmu kedokteran maupun psikologi. Maksudnya adalah sesuatu yang menimbulkan penyakit maupun dampak negatif.
[2] Tentu peran sosial tidak juga selalu membuat hidup tidak absurd. Sebab seseorang yang sudah bekerja, atau hidup, atau melakukan praktik kemasyarakatan dengan peran sosial tertentu juga bisa merasakan absurditas (silakan lihat Sartre 2020: 200-213, maupun Camus pada novelnya L’étranger). Namun, paling tidak, aktivitas-aktivitas dalam peran sosial memberikan tiap subjek sebuah konstruksi tujuan, arah, ke mana seseorang pergi. Seperti kata sosiolog Andreas Reckwitz, yang banyak berkecimpung soal makna hidup dalam modernitas dari segi sosiologis, bahwa pendapatan makna hidup merupakan sesuatu yang “prakseologis” (Reckwitz 2019: 80), bukan murni konseptual maupun berdasarkan interpretasi atau refleksi pribadi yang bersifat filosofis dari tiap-tiap subjek. Dan aktivitas-aktivitas yang memiliki “kualitas naratif-hermeneutik” (bisa jadi semacam bayangan akan tujuan, manfaat dari aktivitas yang sedang dijalani, altruisme, semua yang juga sifatnya melampaui individu) dan “kualitas estetika” (dalam arti prakseologis itu, bahwa dalam menjalani ada kesenangan, ada kenikmatan, ada kepuasan) yang seseorang lakukan dalam mengambil peran sosial tentu berpotensi tinggi untuk menyuplai makna hidup, ketimbang bentuk kehidupan tipikal pensiunan, seperti yang Maw alami (Ibid.: 88). Namun, tentu, ketika seseorang memiliki intelegensia tinggi, dan tendensi introversi dalam cara berpikir dan memandang dunia, dan mulai mempertanyakan tentang makna hidup, seperti yang Camus, Sartre, dll. lakukan, akibat membaca konsep-konsep filosofis tertentu, tentu peran sosial apapun bisa jadi tak punya makna; namun, tak semua orang adalah filosof, dan mengambil peran sosial sudah jadi sesuatu yang amat bermakna bagi mayoritas manusia (Jung 1975: 120).
[3] Sesuatu yang Camus garap pada novel utuh terakhirnya pada tokoh Clamence, yang menjalankan peran sosialnya tanpa memikirkan makna dari peran tersebut, sebab ia hanya menikmati hidupnya saja untuk kepentinganya sendiri dengan peran itu (Lihat: Camus 2020: 34, 40, 54, 57, 64, dst.). Sisifus merupakan representasi yang dipilih Camus untuk mewakili manusia yang hidup tanpa makna, atau absurd tersebut, yang hari ini jelas memang menjadi fenomena masal kemasyarakatan.
Pustaka
Camus, Albert (2013a) [1945]. The Myth of Sisyphus. Diterjemahkan oleh Justin O’Brien. Inggris: Penguin.
Camus, Albert (2013b) [1951]. The Rebel. An Essay on Man in Revolt. Diterjemahkan oleh Anthony Bower. Inggris: Penguin. Dibaca di versi epub.
Camus, Albert (2020) [1956]. The Fall. Diterjemahkan oleh Robin Buss. Inggris: Penguin.
Finkelde, Dominik (2018). Kulturphilosophie nach Jacques Lacan. Dari 12 Kuliah. Hochschule für Philosophie München, Semester Musim Dingin 2018/19. (Dapat diakses di youtube.)
Jung, Carl (1975) [1935]. Über die Grundlagen der analytischen Psychologie. Die Tavistock Lectures 1935. Diterjemahkan oleh Hilde Binswanger. Frankfurt am Mein: Fischer.
Reckwitz, Andreas (2019). Die Gesellschaft der Singularitäten. Zum Strukturwandel der Moderne. Berlin: Suhrkamp.
Sartre, Jean-Paul (2020) [1938]. Der Ekel. Hamburg: Rowohlt.
Storr, Anthony [1983]. The Essential Jung. Selected Writings. London: Fontana Press.
Selesai ditulis 13.5.2021.