Categories
Refleksi

Misaeng: Drama Korea yang Mengangkat Isu Ketidaksetaraan Gender di Tempat Kerja

Misaeng: Incomplete Life adalah program serial televisi Korea Selatan besutan channel TVN pada tahun 2014, yang menceritakan kehidupan Jang Geu Rae, pemain baduk yang menjadi karyawan magang di kantor perusahaan yang tidak berpendidikan tinggi dan berhasil masuk berkat “orang dalam”. Namun drama ini juga mengangkat isu ketidaksetaraan gender di tempat kerja yang dialami pekerja perempuan di Korea Selatan.

Misaeng: Incomplete Life adalah program serial televisi Korea Selatan besutan channel TVN pada tahun 2014. Misaeng berkisah tentang Jang Geu Rae (Im Si Wan), seorang pemain baduk yang terpaksa keluar dari tempatnya belajar karena gagal dalam banyak perlombaan terkait kondisi ekonomi keluarga. Nasib membawanya menjadi seorang karyawan magang di sebuah perusahaan perdagangan ternama melalui relasi ibunya, meskipun itu bukan kemauan dirinya sendiri. Drama ini fokus menceritakan kehidupan Jang Geu Rae di kantor perusahaan sebagai karyawan magang yang tidak berpendidikan tinggi dan berhasil masuk berkat “orang dalam”. Ada banyak adegan dalam drama ini yang dengan sangat realistis menceritakan seputar kehidupan karyawan perkantoran di Korea Selatan. Salah satunya adalah mengenai diskriminasi gender.

Strength training helps you live longer buy proscalpin finasteride propecia with uk shipping all chocolate muffin recipe – high protein – strong academy female musculation.

Ialah Ahn Young Yi (Kang So Ra), karyawan magang satu-satunya yang berjenis kelamin perempuan. Tokoh Ahn Young Yi digambarkan sebagai seorang alpha female yang kompeten, cerdas, dan ambisius. Dengan kemampuannya, ia menjadi salah satu karyawan magang yang diangkat menjadi karyawan tetap dan mendapat banyak pujian dari para atasan. Namun, dari sanalah Ahn Young Yi diperlakukan tidak adil sebagai karyawan baru di Tim Sumber Daya oleh senior dan atasannya, hanya karena ia seorang perempuan. Perempuan yang berdaya seperti Ahn Young Yi dianggap sebagai perempuan yang berbahaya dan menakutkan oleh para seniornya yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Mereka merasa takut karena dalam pemikiran mereka, perempuan seharusnya tidak berambisi dan hanya boleh manut-manut saja.

Selama bekerja, Ahn Young Yi kerap dipandang sinis dan mendapat teguran hanya karena ia terampil sebagai pekerja. Ketika Young Yi melaksanakan semua tugas dan mendapat pujian dari atasan, seniornya merasa dirinyalah yang harusnya diperlakukan seperti itu. Ahn Young Yi sendiri tak dapat berbicara banyak karena tak ingin terlibat masalah. Ia memutuskan untuk menahannya dan melampiaskan emosinya dengan menangis di kamar mandi. 

Suatu hari, seorang karyawan perempuan dari tim lain pingsan ketika sedang bekerja. Karyawan lain menjadi panik dan segera menolongnya. Setelah diusut, ternyata perempuan tersebut sedang hamil dan kerap bekerja lembur karena tuntutan pekerjaan. Mendengar hal tersebut, senior-senior dari Tim Sumber Daya mengeluh bahwa pekerja perempuan hanya menyusahkan mereka sebagai sesama pekerja. Salah satunya Ha Sung Joon (Jun Suk Ho) yang berkata, “Perempuan yang selalu jadi masalahnya. Setelah mereka belajar, mereka menikah, punya suami, dan hamil. Mereka punya banyak alasan atau mereka mencoba mengatasi kesalahannya dengan menangis.” Sembari menatap ke arah Ahn Young Yi dengan pandangan mengejek. Tidak berhenti di situ, masih banyak hal lain yang menggambarkan diskriminasi gender dalam drama ini, seperti victim blaming kepada perempuan yang dilecehkan secara seksual dan pembatasan kesempatan berpartisipasi untuk perempuan. Drama Misaeng memberikan insight bahwa tidak mudah bagi pekerja perempuan Korea Selatan melalui hari-harinya sebagai seorang perempuan. Perbuatan yang didasari oleh seksisme, misogini dan diskriminasi sudah terlalu sering mereka rasakan tiap harinya.

Contoh diskriminasi gender yang lain adalah eksploitasi pekerja perempuan, yang ditunjukkan oleh pekerja perempuan yang dibayar lebih rendah dari laki-laki. Jika kita lihat lebih jauh, terdapat perbedaan yang signifikan antara pekerja perempuan dan laki-laki pada gaji, jam kerja, durasi pekerjaan dan pemisahan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin pada era modernisasi Korea Selatan yang berlangsung pada akhir 1980 hingga awal 1990. Pada tahun 1991, Federasi Serikat Buruh Korea menyatakan bahwa gaji pekerja perempuan hanya 53% dari gaji pekerja laki-laki. Sedangkan pada tahun 2018, Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga Korea Selatan menyatakan bahwa rata-rata gaji perbulan dari pekerja perempuan hanya sebesar 68,8% dari rata-rata gaji pekerja laki-laki perbulan. Hal ini menyebabkan perempuan harus bekerja lebih lama untuk meningkatkan gaji mereka. Selain itu, perempuan yang mengalami putus kerja dikarenakan kehamilan, melahirkan, mengasuh anak dan anggota keluarga lainnya mencapai angka 1.847.000 kasus pada tahun 2018. Begitu pun dengan kesempatan kerja. Dalam beberapa kasus, perempuan yang melamar pekerjaan dieliminasi meskipun mereka lolos kualifikasi untuk jadi pekerja. Hal tersebut terjadi karena nilai wawancara yang dimanipulasi karena pandangan bias gender, yakni perempuan dianggap tak sanggup bekerja.

Alasan terkuat mengenai terjadinya diskriminasi terhadap perempuan di Korea Selatan adalah adanya pandangan tradisional mengenai perempuan dari masyarakat konfusianisme patriarkal yang berprinsip untuk menentukan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin dan memperlakukan perempuan yang bekerja di luar rumah secara tidak adil. Alasan lainnya adalah peningkatan chaebol (konglomerat, pewaris perusahaan milik keluarga) yang mendapatkan hak istimewa dari pemerintah sebagai bentuk barter untuk penyediaan finansial dan dukungan politik. Monopoli yang diperankan oleh chaebol membuat mereka berkuasa pada perekrutan pekerja. Para chaebol mendapatkan keuntungan dari biaya tenaga kerja yang rendah dengan memisahkan pekerja perempuan dari pekerja laki-laki dan memberi mereka gaji rendah.

Hingga saat ini, diskriminasi gender di tempat kerja di Korea Selatan masih terus berlangsung. Tetapi untungnya, kesadaran tentang kesetaraan gender telah meningkat sejak tahun 2015. Hingga kini, semakin banyak perempuan yang bersuara untuk melawan penindasan. Selain itu, isu-isu sensitif yang mengkritik budaya patriarki juga sudah banyak digaungkan oleh para penulis, aktivis, dan pekerja di industri perfilman seperti serial drama Misaeng yang sedang kita bicarakan. Meskipun sering menimbulkan kontroversi, mereka memutuskan untuk bersuara demi tercapainya kesetaraan gender di Korea Selatan.

Sumber:

https://www.business-humanrights.org/en/south-korea-report-shows-that-women-are-still-paid-less-than-men-despite-increasing-economic-and-academic-participation

http://m.koreaherald.com/view.php?ud=20190702000664

https://asia.nikkei.com/Opinion/South-Korea-shows-workplace-gender-discrimination-is-alive-and-kicking

Louie, Miriam Ching Yoon. 1995. Minjung Feminism: Korean Women’s Movement for Gender and Class Liberation. Pergamon.

Kong, Gina. 2009. Are Women Only Trade Unions Necessary in South Korea: A Study of Women Workers’ Struggles in Korea’s Labor Market Comment. Northwestern Journal of International Law & Business.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *