Categories
101

Mengenal Teori Paradox of Tolerance

Apakah toleransi mungkin?

Dalam menyambut bulan kemerdekaan, ada satu topik yang menarik sekali untuk diperbincangkan, yaitu toleransi. Isu ini dari dulu selalu memiliki dinamikanya sendiri. Ada yang memperjuangkannya, namun ada juga yang sepertinya anti toleransi. Kita mungkin bertanya, “Emang nggak bisa ya semua orang jadi toleran dan hidup dengan damai aja?”

Kalau kita punya pertanyaan yang semacam itu, maka Karl Raimund Popper (biasa dipanggil Karl Popper) mungkin bisa menjelaskannya. Karl Popper adalah filsuf abad 20 asal Austria yang terkenal dengan falsification-nya yang memisahkan antara yang sains dan yang non-sains. Di luar itu, sebenarnya Karl Popper juga punya concern tersendiri pada fenomena sosial. Salah satu karyanya terkait hal ini adalah The Open Society and Its Enemy. 

Di situ, Popper menjelaskan pendapatnya mengenai toleransi. Kurang lebih ia bilang seperti ini “Unlimited tolerance must lead to the disappearance of tolerance. If we extend unlimited tolerance even to those who are intolerant, if we are not prepared to defend a tolerant society against the onslaught of the intolerant, then the tolerant will be destroyed, and tolerance with them.” 

Unlimited tolerance must lead to the disappearance of tolerance. Toleransi yang nggak terbatas akan berujung pada hilangnya toleransi itu sendiri. Jadi jika kita bertoleransi tanpa batas, maka itu berarti kita menoleransi semua orang dengan gagasan-gagasannya. Artinya, siapapun mendapatkan toleransi untuk mewujudkan gagasan mereka. 

Nah, di sinilah masalahnya timbul. Ketika orang-orang yang kita toleransi adalah orang-orang yang intoleran, justru di situ kita membiarkan intoleransi terjadi. Dengan kata lain, kita turut melanggengkan intoleransi. Paradoksnya, kalau kita mencabut toleransi atas orang-orang yang intoleran itu, di situ kita menjadi tidak toleran. 

Jadi bayangkan saja, misalnya saat Hitler menyebarkan ideologi Nazi, semua orang di dunia menoleransi. Kemudian Hitler berhasil menyebarkan idenya, sedangkan kita tahu bahwa idealisme bangsa Arya-nya Nazi menganggap bangsa-bangsa lain lebih rendah dan layak dimusnahkan. Pada kasus itu, jika toleransi diberikan tanpa batas, kita justru membiarkan intoleransi terjadi. 

Lantas, apakah kita harus mencegah timbulnya gagasan-gagasan lain? Atau kita sebaiknya cuek aja? Tentu tidak.

Popper sendiri menjelaskan lebih lanjut, “In this formulation, I do not imply, for instance, that we should always suppress the utterance of intolerant philosophies; as long as we can counter them by rational argument and keep them in check by public opinion, suppression would certainly be most unwise.”

Jadi, kita tidak perlu menindas atau meniadakan toleransi kepada orang-orang dengan gagasan yang sepertinya kurang toleran. Yang perlu kita lakukan hanyalah melawannya argumen yang masuk akal dan memastikan orang-orang dapat menilainya. Ketika dua hal itu bisa dilakukan, maka menindas orang lain yang berbeda paham dengan kita justru adalah pilihan yang buruk.

Sumber:

  1. Paradox of Tolerance (Wikipedia)
  2. Karl Popper (Stanford Encyclopedia of Philosophy)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *