Baudrillard sering dikaitkan dengan gerakan intelektual postmodernisme, meski ia sendiri menganggap dirinya sebagai antitesis dari postmodern. Baudrillard dengan tegas mengatakan, “Posisi saya sangat bertolak belakang dengan postmodernisme. Fatal sebagai tujuan maksimum, sebagai segala potensi, sebagai percepatan prose kelenyapan, semua yang dalam postmoderenisme dianggap sia-sia.” (Piliang & Adlin, 2003) Sebenarnya apa itu postmodern? Dan bagaimana implikasinya terhadap realitas di abad 21? Postmodern merupakan gagasan yang mengedepankan kesadaran dan mempertanyakan kembali asumsi-asumsi modernisme. Postmodernisme lahir sebagai perlawanan reflektif terhadap paradigma modernisme yang dianggap gagal mewujudkan mimpi manusia akhir abad 19 hingga 20.
Modernisme sebelumnya dianggap menimbulkan hambatan-hambatan dalam kehidupan manusia modern. Modernisme awalnya cenderung mengagungkan prinsip rasio, subjek identitas, ego totalitas, ide-ide absolut, juga semangat emansipasi dan oposisi biner (Lecthe dalam Hidayat, 2012). Perkembangan teknologi dibarengi dengan penemuan teori-teori fisika kontemporer menandai era modern. Selain itu turut melanggengkan kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, budaya massa dan budaya populer, maraknya industri informasi, televisi, iklan, internet, berkembangnya gagasan nation-state, demokratisasi, dan pluralisme.
Kondisi tersebut awalnya dianggap mampu menyelesaikan masalah-masalah masyarakat abad pertengahan. Namun, perkembangan modernisme justru membelenggu manusia dengan penindasan baru dan model perbudakan yang lebih berbahaya. Sementara itu, postmodern hadir untuk menegakkan wacana kritis atas kegagalan modernisme tersebut. Gerakan kebudayaan postmodern ditandai dengan kejayaan kapitalisme, penyebaran informasi dan teknologi secara masif, meledaknya konsumerisme, lahirnya realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi, serta tumbangnya nilai guna dan nilai tukar oleh tanda-tanda dan nilai simbol (Hidayat, 2012). Salah satu pemikir yang gencar mengkritisi fenomena dan lahir di era postmodern ini adalah Jean Baudrillard.
Konsepsi Simulakra Jean Baudrillard
Kemunculan kelas menengah setelah kejayaan kapitalisme adalah salah satu gejala era postmodern. Dulu Marx mengemukakan bahwa bentuk masyarakat dilihat dari produksinya, kemudian muncul konsepsi nilai-guna dan nilai-tukar, dan kini yang ada semata-mata hanyalah keberlakuan nilai-tanda dan nilai-simbol. Orang membeli atau memproduksi sesuatu tidak lagi dilihat dari kegunaan dan nilai semata seperti uang, melainkan mendapat kepuasan melalui pemujaan tanda dan simbol.

Pemujaan komoditas tanda dan simbol ditopang dengan meledaknya citra dan makna oleh media massa serta perkembangan teknologi. Orang mengkonsumsi tanda dan simbol untuk mendapatkan prestise secara simbolik. Kebanyakan mengkonsumsi sesuatu (komoditas) yang tidak memiiki kegunaan secara langsung, seperti mobil mewah dan pakaian bermerek mahal. Pemujaan terhadap komoditas tertentu dianggap mampu menaikkan statusnya menjadi kelas masyarakat tertentu.
Marx menjelaskan, dalam masyarakat kapitalis, nilai-tukar mendominasi nilai-guna. Uang sebagai komoditi. Dalam realitas masyarakat kapitalis tersebut, uang berfungsi sebagai nilai-tukar untuk memperoleh keuntungan. Baudrillard melampaui apa yang disebut oleh Marx. Baginya nilai-tanda dan nilai-simbol adalah kerangka yang relevan saat ini untuk membaca realitas masyarakat saat ini, dalam wacana konsumsi dan reproduksi.
Bagi Baudrillard, kebudayaan sekarang adalah sebuah representasi dari dunia simulasi, dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi relasional yang jelas. Hubungan tersebut melibatkan tanda real (fakta yang diciptakan melalui produksi, serta tanda semu (citra) yang diciptakan melalui proses reproduksi (Letche dalam Hidayat, 2012).
Akibatnya, kedua tanda saling bertumpuk dan saling berkelindan membentuk kesatuan. Kita sulit membedakan mana yang asli dan mana yang palsu. Segalanya menjadi bagian realitas yang dijalani oleh masyarakat saat ini. Ruang yang dipenuhi dengan realitas semu itulah yang disebut oleh Baudrillard sebagai simulacra (plural) atau simulacrum (singular). Sebuah dunia yang terbangun dari silang sengkarut nilai, fakta, tanda, citra, dan kode (Letche dalam Hidayat, 2012).
Realitas tak lagi memiliki rujukan, selain simulakra itu sendiri. Inilah yang membedakan era modern dengan postmodern, ketika simulasi menjadi realitas yang direproduksi (melalui teknologi informasi, komunikasi dan industri pengetahuan). Di mana tanda dan citra mendominasi seluruh proses komunikasi di masyarakat. Ketika segalanya ditentukan oleh relasi tanda, citra, dan kode, maka terbentuklah masyarakat simulasi. Di dalamnya identitas tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam diri. Identitas lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra, dan kode yang mendorong individu memahami diri mereka serta hubungan sosialnya.
Melalui mekanisme simulasi pula, manusia diciptakan dalam satu ruang yang dianggap nyata, yang sesungguhnya semu. Kita bisa mengandaikan melalui analogi peta. Jika dalam realitas nyata peta adalah representasi dari sebuah wilayah real, maka dalam simulasi peta justru mendahului yang real. Melalui teknologi, peta dan maket rumah misalnya, keduanya mendahului apa yang dianggap sebagai realitas nyata, padahal ia adalah simulasi dari bentuk wilayah atau rumah yang asli. Artinya ketika seseorang hendak membeli sebuah rumah, akan ditampilkan bentuk maketnya dahulu. Alih-alih menganggap maket itu sebuah representasi, justru maket dianggap sesuatu yang nyata mendahului bentuk rumah aslinya.
Infodemik, Pemengaruh, dan Teori Konspirasi
Istilah infodemik didefinisikan sebagai “keberlimpahan informasi”, yang sebagian merupakan fakta dan yang lain adalah palsu atau semu. Dengan melimpahnya informasi yang didorong oleh perkembangan media sosial sebagai medium teknologi, membuat masyarakat sulit menemukan sumber informasi kredibel dan dapat diandalkan di tengan pandemi COVID-19. Beberapa informasi justru dipenuhi oleh rumor, stigma, dan konspirasi (Islam, Sarkar, Khan, Mostofa, Hasan, Kabir, & Chungtai, 2020).
Di tengah isu kesehatan masyarakat yang semakin kritis, Facebook, Twitter dan media massa menjadi platform “terbaik” untuk diseminasi informasi. Sehingga masyarakat sulit menyadari mana informasi yang benar dan diperlukan untuk berjaga-jaga di masa kritis. Banjir informasi palsu ini semakin berbahaya karena meleburnya fakta dengan kebohongan yang dipercaya. Keduanya menembus batas kesadaran hingga sisi emosianal manusia.

Beberapa informasi palsu ini semakin masif menyebar, dengan turut andilnya public figure atau kita kenal sebagai influencer dunia maya. Para influencer ini kebanyakan dikenal sebagai selebritas tanah air yang kini merambah dunia maya sebagai bentuk bisnis barunya. Mereka membuat konten melalui kanal-kanal populer seperti Youtube, Instagram, dan Twitter. Mereka tidak hanya memproduksi konten yang relevan dengan latar belakang dunia hiburan, namun juga turut berpartisipasi menyebarkan pandangannya terhadap sains dan ilmu pengetahuan.
Mengandalkan jumlah pengikut yang banyak, penyebaran informasi ini bisa menjadi baik jika berkontribusi pada hal-hal positif seperti meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya COVID-19. Sayangnya beberapa konten yang diproduksi adalah konten yang memproduksi informasi bias dan ngawur. Selain levelnya common sense, klaim tidak berdasar, juga turut mengamini kebutaan terhadap realitas dan fakta sebenarnya. Lebih berbahaya lagi, mereka mencoba melegitimasi keyakinan pribadi dengan menghadirkan narasumber yang tak jelas juntrungannya. Seperti dalam kasus Anji (musisi) yang mewawancarai Hadi Pranoto (yang mengklaim dirinya ilmuwan) terkait klaim temuan obat COVID-19.
Citra, halusinasi, dan simulasi dianggap lebih nyata dari realitas itu sendiri (Piliang & Adlin, 2003) sehingga perbedaan antara keduanya dianggap kabur, atau hilang sama sekali. Influencer memanfaatkan status simboliknya sebagai orang yang berpengaruh (paling tidak bagi pengikutnya) untuk menyebar “keyakinan pribadi”nya–kalau tidak ingin disebut informasi. Citra juga melekat pada diri mereka sebagai orang yang memiliki modal sosial dan kapital menurut pandangan Bourdieu.
Dengan modal tersebut, mereka berhasil meyakinkan warganet bahwa apa yang mereka sebut COVID-19 hanyalah rekayasa, tidak lebih dari sekadar konspirasi. Mengapa orang percaya pada konspirasi? Menurut Douglas, Sutton, dan Circhocka (2012) terdapat tiga alasan mengapa orang percaya teori konspirasi secara psikologis. Pertama, alasan epistemik. Mengacu pada keinginan untuk memperoleh kepastian dan pemahaman, di tengah kekacauan dan kondisi yang membingungkan, berbahaya penuh ketidakpastian. Ini membuat orang untuk terdorong untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi, khususnya soal pandemi.
Keyakinan atas teori konspirasi membuat seseorang dianggap mampu membangun pemahaman yang konsisten, stabil, dan jelas terhadap sebuah masalah. Penyebabnya akibat banyaknya informasi yang berceceran dan berbeda. Orang lalu ingin mendapatkan penjelasan utuh dan instan dari informasi yang melimpah tersebut. Teori konspirasi kemudian menjadi tawaran alternatif informasi yang menarik bagi mereka. Douglas, Sutton, dan Circhocka (2012) melanjutkan, orang yang percaya teori konspirasi memiliki kemampuan analitis yang rendah. Mereka cenderung mencari penjelasan praktis terhadap masalah yang berat, tak terjangkau rasionalitas. Golongan ini juga lebih menyukai ruang gema, terjebak pada informasi-informasi yang mereka yakini dan melegitimasi kepercayaan mereka. Informasi yang berlawanan akan dianggap palsu.
Kedua, alasan eksistensial. Menurut studinya (Newheiser, Farias, & Tausch, 2011), orang percaya teori konspirasi agar lebih aman dan terkendali. Ketika merasa terancam, seseorang berusaha mendeteksi bahaya untuk meredakan kecemasan. Percaya pada teori konspirasi dapat membantu seseorang merasakan kontrol terhadap sesuatu. Banyak orang bergantung pada teori konspirasi, sebagai cara memahami dunia dan perasaan mengendalikan diri mereka sendiri. Padahal, kepercayaan dan perasaan mereka hanya perasaan semu dan justru membuat mereka lebih tidak berdaya sebelum mempercayai teori konspirasi.
Ketiga, alasan sosial. Studi yang menguatkan argumentasi ini adalah Cichocka, Marchlewska dan Golec (2016). Menurutnya, teori konspirasi erat kaitannya dengan perasaan narsisistik serta meningkatkan harga diri meski tidak aman. Dengan memercayai teori konspirasi, mereka merasa lebih baik. Orang yang percaya teori konspirasi merasa dirinya bak pahlawan dari seluruh rangkaian cerita. Perbedaan (distinction) terjadi karena mereka merasa berbeda dan berjarak dari orang-orang yang tidak percaya teori konspirasi. Jarak itu kemudian dimaknai sebagai pembenaran dan cara mempertahankan diri dari kekalahan-kekalahan rasional yang didapat. Ketiga alasan di atas dapat kita lihat dari karakteristik influencer sebagai agen yang melanggengkan pemahaman dangkal melalui teori konspirasi yang dipercayainya.
Post-Truth dalam Simulakra Infodemik
Sejak tahun 1992 kita mengenal istilah post-truth (pascakebenaran, pascafakta) mengenai skandal politik di Amerika. Post-truth marak dikenal bagi politisi yang mengabaikan kebenaran. Istilah tersebut kemudian menjadi populer lagi di tahun 2016, menjadi word of the year dan dibakukan oleh Kamus Oxford berkaitan dengan peristiwa Brexit dan pemilu presiden AS yang diberitakan di media massa (Rose, 2017). Post-truth merupakan iklim politik yang mengaburkan objektivitas dan rasionalitas.
Post-truth lebih mengedepankan keyakinan emosional dan mengabaikan fakta. Lawannya adalah fact check in, atau pengecekan kembali fakta yang ada. Landasan dari pascakebenaran adalah keyakinan individu yang meminggirkan fakta. Emosi kemudian menjadi modal utama agar orang mudah dicekoki oleh post-truth.
Pengulangan (repetisi) informasi bohong bertujuan untuk membuat orang percaya pada kebohongan tersebut dan dianggap sebagai kebenaran. Dalam kebohongan, fakta menjadi terpinggirkan, karena dominasi storytelling lebih menonjol. Dramatisasi pesan menggugah emosional sehingga melampaui signifikansi pesan itu sendiri. Pada akhirnya berita bohong menjadi kabur dan bergeser menjadi “fakta alternatif” yang diyakini individu. Karakteristik post-truth adalah masyarakat informis. Kebenaran menjadi sebuah norma. Banjirnya informasi menjadikan masyarakat terjebak dalam kebenaran semu. Dengan demikian banyaknya informasi membuat masyarakat menjadi bingung mana yang fakta dan mana yang palsu sebagai informasi.
Hiperrealitas Baudrillard membuktikan yang rill dengan imajiner. Tanda disamakan dengan objek dan referen, padahal ada garis proses yang dilalui agar tanda menjadi sama dengan objek atau referen tersebut. Bagi hiperrealitas dan post-truth, keduanya mempertanyakan dominasi kebenaran. Namun, jika post-truth menggunakan bahasa sebagai instrumennya, maka hiperrealitas menggunakan instrumen kekuasaan berupa tanda dan simbol. Oleh sebab itu, kita harus jeli melihat teks sebagai medium informasi. Apakah terdapat diskriminasi sekaligus manipulasi? Kedua cara pembacaan kritis tersebut adalah keniscayaan dalam keterjebakan kita di dunia penuh simulasi saat ini.
Media Sosial Sebagai Ruang Simulakra
Kemunculan media sosial memperluas jangkauan post-truth. Selain itu ia menjadi ruang-ruang yang dipenuhi oleh simulasi, sehingga mewujud menjadi dunia hiperrealitas bagi penggunannya. Hoaks semakin mudah disebarkan dan diyakini masyarakat sebagai kebenaran. Masyarakat sulit membedakan mana yang nyata dan mana informasi yang palsu, karena keduanya telah melebur dalam hiperrealitas informasi, pun infodemik.
Pemengaruh (influencer) media sosial menjadikan status sosialnya sebagai agen yang menyebarkan kebenaran semu pada masyarakat, mulanya melalui para pengikut media sosial. Dengan kekuasaan kapital juga, seorang pemengaruh mampu menyebarkan informasi bohong secara masif pada berbagai kalangan, dengan asumsi mereka menguasai jaringan dan akses ke berbagai platform media sosial yang dimilikinya. Sayangnya, kebenaran yang diyakini telah ditelan mentah oleh pengikutnya–meski tidak sedikit juga yang menentang–sebagai kebenaran semu dan solusi dari pelarian masa krisis.
Menariknya, jika meminjam istilah masyarakat tontonan (The Society of The Spectacle) Guy Debord (Trier, 2007), hal tersebut berkaitan dengan perasaan kesenangan dari pengalaman untuk mempertontonkan keyakinan mereka yang semu. Melalui citra dan pembentukan identitas, pemengaruh dan para pengikutnya seolah bak pahlawan mempertontonkan keyakinan dan citra pahlawan mereka di media sosial, apalagi jika hal itu diikuti semakin banyak orang. Media sosial seperti Twitter dan Youtube digunakan sebagai saluran tontonan citra para pemengaruh ini kepada masyarakat luas, sehingga opini dan fakta ngawurnya bisa dikonsumsi luas dan mendapat dukungan atau legitimasi bagi kebenaran semu mereka. Celakanya jika itu dilakukan tanpa sadar, atau dalam bahasa (Ollman, 2019), kesadaran palsu. Para pemengaruh menganggap COVID-19 adalah sebuah konspirasi yang sengaja dibuat dan dilebih-lebihkan, alih-alih keyakinan merekalah yang sesungguhnya mengalami silang sengkarut makna.
Referensi
Cichocka, A., Marchlewska, M., & Golec de Zavala, A. (2016). Does self-love or self-hate predict conspiracy beliefs? Narcissism, self-esteem, and the endorsement of conspiracy theories. Social Psychological & Personality Science, 7, 157–166.
Hidayat, M. A. (2012). Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard.
Islam, M. S., Sarkar, T., Khan, S. H., Mostofa Kamal, A. H., Hasan, S. M. M., Kabir, A., & Chughtai, A. A. (2020). COVID-19–Related Infodemic and Its Impact on Public Health: A Global Social Media Analysis. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, tpmd200812.
Douglas, K. M., Sutton, R. M., & Cichocka, A. (2017). The psychology of conspiracy theories. Current directions in psychological science, 26(6), 538-542.
Newheiser, A., Farias, M. & Tausch, N. (2011). The functional nature of conspiracy beliefs: Examining the underpinnings of belief in the Da Vinci Code conspiracy. Personality and Individual Differences, 51, 1007-1011.
Ollman, B. (2019). 17 Toward a Marxist revision of Marx’s revision of Marxism in Capital. Marx’s Capital after 150 Years: Critique and Alternative to Capitalism, 277.
Piliang, Y. A., & Adlin, A. (2003). Hipersemiotika: Tafsir cultural studies atas matinya makna. Jalasutra.
Rose, J. (2017). Brexit, trump, and post-truth politics, 555-558.
Trier, J. (2007). Guy Debord’s the Society of the Spectacle. Journal of Adolescent & Adult Literacy, 51(1), 68-73.
Uscinski, J. E., & Atkinson, M. (2013). Why do people believe in conspiracy theories? The role of informational cues and predispositions. The Role of Informational Cues and Predispositions (May 22, 2013).