Seringkali kita mendengar ungkapan bahwa perempuan seharusnya hanya bekerja di ranah domestik, atau sering disebut “dapur, sumur, dan kasur”. Peran perempuan pada ranah domestik itu umumnya didasarkan pada anggapan bahwa perempuan memang ditakdirkan untuk bekerja di bidang domestik. Menurut anggapan tersebut, perempuan memiliki sifat-sifat bawaan seperti lemah lembut, penyayang, penuh empati, dan sebagainya yang mana sifat-sifat tadi akan lebih cocok untuk mendukung peran perempuan di bidang domestik seperti merawat anak atau melayani suami. Sebaliknya, laki-laki sering dipandang bahwa secara alamiah ditakdirkan untuk berada pada domain publik, juga karena ia dianggap memiliki sifat-sifat bawaan yang lebih mendukung peran tersebut.
Sebagai konsekuensi dari pandangan itu, maka tatanan sosial masyarakat yang dinilai wajar secara alamiah (default) adalah tatanan di mana perempuan sebagai pengurus domestik dan laki-laki sebagai pengurus publik. Secara sekilas mungkin penilaian itu benar. Bukankah jika kita melihat ke belakang keberadaan perempuan di ranah publik adalah sebagai hasil dari perjuangan dalam melawan sistem yang patriarkis? Namun jika kita lihat lebih jauh, ternyata di dunia ini ada masyarakat yang sejak awal (tanpa melalui perlawanan atas patriarki) telah menganut konsep egalitarianisme.
Peran perempuan di ranah publik adalah hal yang umum pada beberapa masyarakat tradisional di dunia. Misalnya, masyarakat Agta. Masyarakat Agta merupakan penduduk asli yang menempati wilayah timur laut pulau Luzon, Filipina. Mereka hidup dengan cara berburu dan meramu, meskipun ada juga sebagian yang menjalani gaya hidup dengan bertani, hortikultura, berdagang, atau kerja upah (wage labor). Mereka umumnya berburu babi hutan dan rusa dengan menggunakan panah dan parang, dan mengumpulkan tanaman-tanaman hutan yang dapat dimakan.
Telah ada pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan tetapi sifatnya masih sangat sederhana (modest). Baik perempuan maupun laki-laki sama-sama terlibat dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Perempuan aktif berburu, terkadang dengan laki-laki atau perempuan lain, tapi tak jarang juga mereka pergi berburu sendirian. Dalam hal peralatan berburu, umumnya hanya laki-laki yang mengerjakan bagian penempaan (blacksmithing) seperti pembuatan ujung tombak. Ini merupakan salah satu contoh dari pembagian kerja sederhana tadi. Biasanya perempuan memulai aktivitas perburuan sesaat setelah masa pubertas. Sedangkan dalam mengurus anak-anak, mereka berbagi tugas dengan orang tua (kakek/nenek dari si anak), suami, atau dengan anaknya yang lebih tua. Masyarakat Agta juga tidak mengenal institusi pemerintahan resmi. Keputusan-keputusan yang menyangkut hajat hidup seluruh kelompok didasarkan atas konsensus atau kesepakatan bersama, yang mana perempuan juga termasuk di dalamnya.
Contoh lainnya adalah masyarakat Iroquois yang berada di bagian utara Amerika Serikat. Pada masyarakat Iroquois, perempuan memiliki status dan kedudukan yang lebih tinggi. Yang cukup mengherankan adalah, Iroquois identik dengan peperangan, sesuatu yang sangat “kelaki-lakian”. Para laki-laki biasanya pergi merantau dalam waktu yang lama untuk mengurusi berbagai hal, seperti perburuan besar-besaran, berdagang, atau berperang. Hal ini menjadikan perempuan sebagai “pemegang kuasa” atas urusan di desanya. Mereka mengurus pemenuhan atas kebutuhan sehari-hari melalui pertanian berpindah (shifting cultivation). Masyarakat Iroquois juga bersifat matrilineal. Matron mengatur pernikahan. Laki-laki yang menikah akan ikut ke keluarga si perempuan dan dengan demikian harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku di rumah si perempuan. Pewarisan atas gelar dan harta juga mengikuti garis kekerabatan perempuan.
Meskipun demikian, menurut Judith Brown (1975), tingginya kedudukan perempuan dalam masyarakat Iroquois, bukanlah disebabkan oleh kontribusinya dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari atau dari sistem matrilineal yang berlaku, melainkan dari keterlibatan besar perempuan dalam pengorganisasian ekonomi. Kaum perempuan mengontrol distribusi hasil pertanian yang dikerjakannya dan hasil buruan yang dikerjakan oleh kaum laki-laki. Dengan demikian, perempuanlah yang mengatur suplai makanan. Pada kasus-kasus tertentu, mereka dapat mencegah atau menghindari peperangan dengan cara menahan pasokan makanan.
Meskipun perempuan kurang mendapat posisi pada institusi pemerintahan resmi, tetapi perannya yang besar dalam distribusi suplai makanan menjadikan perempuan Iroquois memiliki pengaruh politik informal yang cukup kuat. Institusi pemerintahan tertinggi ialah Dewan Tetua (Council of Elders). Perempuan Iroquois dapat melantik atau melengserkan tetua yang memerintah dan dapat memberikan pengaruh pada keputusan-keputusan dewan. Ketika kepala suku meninggal, perempuan akan mengadakan pertemuan untuk menunjuk kandidat penerus. Jika para tetua tidak menyetujui usulannya, kaum perempuan akan berdiskusi lagi.
Selain kedua contoh masyarakat tadi, masih ada beberapa masyarakat tradisional di wilayah lain yang menganut kesetaraan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya saja, masyarakat pigmi Mbuti di Kongo di mana baik laki-laki maupun perempuan sama-sama berburu untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan masyarakat !Kung yang menempati wilayah Gurun Kalahari, Naimbia, dan Botswana di mana tidak ada pembagian kerja yang ketat antara laki-laki dan perempuan sehingga keduanya bisa menjalankan peran apapun dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa data etnografi juga menunjukkan keberadaan masyarakat yang tidak mengkhususkan perempuan dengan peran domestik, misalnya hasil penelitian Jane Collier dan Michelle Rosaldo (1981) mengenai simple societies di wilayah Australia dan Afrika bagian selatan.
Memang pada kebanyakan masyarakat di dunia, perempuan hanya mendapat peran sebagai “gender kedua”. Seperti yang telah disinggung di awal tadi, fungsi alamiah perempuan berupa kemampuan bereproduksi kiranya yang telah menyebabkan melekatnya anggapan bahwa perempuan dipandang sebagai sesuatu yang bersifat domestik. Menurut anggapan ini, karena perempuan sangat berperan dalam reproduksi, maka tugas-tugas perempuan di masyarakat haruslah tugas yang berkaitan dengan fungsi alamiahnya itu, seperti mengasuh anak, mengrus urusan rumah tangga, membantu suami, dan urusan domestik lainnya. Sebaliknya, laki-laki dipandang memiliki domain yang berada di ranah publik dan dengan demikian perannya adalah sebagai gender yang bertugas mengurus urusan publik, seperti bekerja, menjadi pemimpin atau direksi, pergi berperang, dan lain sebagainya.
Tetapi perlu diingat bahwa dikotomi peran tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah atau kodrati, melainkan sesuatu yang dibangun secara sosial (socially constructed) melalui kesepakatan kolektif. Status dan peran memang sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya suatu masyarakat. Norma dan nilai yang dipegang oleh masyarakatlah yang akan menjadi penentu bagaimana seharusnya status yang disematkan dan peran yang harus dijalankan oleh individu atau kelompok di dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat dengan nilai dan norma sosial yang memandang laki-laki lebih tinggi daripada perempuan akan menyebabkan kaum perempuan mendapat status sebagai kelompok “nomor dua”, dan mendapatkan peran sebagai pengatur urusan domestik. Sebaliknya, masyarakat dengan nilai dan norma sosial yang memandang kedudukan laki-laki dan perempuan dengan setara, akan menjadikan kaum perempuan mendapat status sebagai salah satu pelaku utama dalam kehidupan dan memiliki peran yang sama dengan laki-laki.
Referensi:
1. Political Anthropology: An Introduction (1966) – Ted C. Lewellen
2. History and Theory in Anthropology (2000) – Alan Barnard