Bayangkan ada seorang intelektual Eropa yang hidup berkecukupan di umur 20 tahun, tetapi menderita keputusasaan akibat putus dengan pacarnya karena keyakinan diri bahwa ia tak mampu menikah dan hal ini hanya akan membuatnya menderita.
Ia kemudian meninggalkan karir intelektualnya dan mengendap di apartemen sendiri. Lalu, graphomania memaksanya untuk menulis tiada henti hingga hanya dalam beberapa tahun bisa menghasilkan sangat banyak manuskrip.
Apabila kita menemukan orang seperti ini, mungkin kita akan menyuruhnya pergi ke psikiater agar ia dapat menjalani hidup normal. Dalam definisi modern, hidup normal adalah menikmati hidup, membentuk relasi, dan semacamnya.
Tapi, kejadian ini ada dalam sejarah dan bertempat di Denmark pada 1840.
Di umurnya yang masih cukup muda, Kierkegaard dengan pengalaman menyakitkan dalam kisah percintaan beliau mengatakan bahwa emosi liar merupakan tanda kejeniusan, terutama ketika itu menyakitkan. Sedikit banyak, ia sangat terinspirasi dari ayahnya. Kierkegaard dibesarkan ayahnya dalam disiplin agama yang sangat ketat. Ia berkuliah di Universitas Kopenhagen dengan mengambil jurusan teologi, yang diselesaikannya dalam waktu 10 tahun. Kierkegaard sama sekali tidak tertarik dengan hal lain, apalagi politik.
Bahkan, revolusi liberal yang terjadi pada tahun 1848 di seluruh Eropa tak membuatnya bergeming. Ia hanya menulis, menulis, dan menulis. Dari filsafat, autobiografi, cerita fiksi, hingga khotbah agama. Dalam tulisan-tulisannya, ia banyak mengangkat isu eksistensialisme. Pengalaman penderitaan dan keputusasaannya selama hidup membuat Kierkegaard “membuat” cara berpikir baru tentang keberadaan manusia. Fear and Trembling, The Concept of Anxiety, The Sickness Unto Death. Ketiga buku itu ia hasilkan dari pergumulan dirinya akan eksistensi diri.
Tidak ada satu manusia pun yang tidak pernah putus asa. Kalau ada orang yang mengatakan ia tidak pernah, maka itu merupakan sebuah tindakan membohongi diri sendiri yang akan membawa seseorang kepada keputusasaan yang lebih dalam.
Hanya dengan mengakui kondisi kita, Kierkegaard berkata bahwa kita dapat mulai mengetahui bahwa nama sebenarnya dari keputusasaan ialah dosa, pembangkangan terhadap Tuhan.
Diri manusia berkewajiban untuk menaati Tuhan.
The Sickness Unto Death (1849)
Ajarannya ini bukan murni dari Kierkegaard, segala hal tentang dosa dan pengampunan telah menjadi khotbah setiap minggu di Gereja Lutheran. Hal yang membuat karya Kierkegaard meledak bukan itu, tetapi desakannya bahwa gereja telah menghambat kepercayaan yang sejati!
Orang-orang kala itu menerima begitu saja kekristenan mereka hanya karena mereka lahir dan dibesarkan dalam keluarga dan tradisi Kristen. Padahal, kata Kierkegaard, menjadi Kristen itu bukan dilahirkan, tetapi sesuatu yang dapat dicapai melalui pergumulan batin yang luar biasa.
Desakannya ini dimaksudkan sebagai bel alarm untuk membangunkan dunia modern dari ketiduran spiritualnya. Hubungan antara tulisan dan kehidupan pribadi Kierkegaard membuat filsafatnya spesial, kita takkan bisa mendapatkannya di karya lain, seperti Critique of Pure Reason misalnya.
Hidup harus dipahami ‘ke belakang’, tetapi harus dijalani ‘ke depan’.
Søren Kierkegaard
Setiap saat, kita membuat keputusan sendiri tentang bagaimana kita hidup. Ini tentunya tidak dapat dibuat oleh sejarah, masyarakat, atau agama. Masa depan saya bukan tanggung jawab siapapun kecuali saya sendiri. Kierkgeaard menggunakan penulisan dan gaya dialektika untuk memikirkan tentang natur dari sebuah komitmen. Ia percaya, bahwa komitmen paling penting yang dapat kita buat adalah komitmen terhadap Tuhan.
Abraham dan Ishak
Dalam buku berjudul Fear and Trembling, ia memakai contoh Abraham dan Ishak. Dalam contoh tersebut yang diambil dari Alkitab, dikisahkan bahwa Abraham diperintahkan oleh Allah untuk membunuh Ishak (anak Abraham yang paling dicintai) sebagai korban persembahan. Hal ini tentunya sangat berlawanan dengan prinsip etika dan perasaan manusia.
Tetapi, Abraham taat. Walaupun pada detik-detik akhir Allah menyuruh untuk tidak membunuh Ishak, cerita ini dikatakan Kierkegaard sebagai bukti bahwa komitmen terbesar manusia itu ialah komitmen kepada Allah, Sang Pencipta.
Tidak ada objek cinta yang lebih besar daripada Tuhan
Mungkin bagi sebagian orang, cerita ini sudah sering didengar sehingga melewatkan implikasi transgresifnya. Sekarang, coba bayangkan apabila ada seorang pendeta yang sedang berkhotbah tentang Abraham dan Ishak, lalu tiba-tiba ada jemaatnya yang terinspirasi.
Ketika jemaat itu pulang dan ingin membunuh anaknya, tentu saja sang pendeta (kalau tahu) akan segera pergi ke rumah jemaat tersebut dan menghentikan perbuatan jemaatnya, bukan? Kalau inspirasi itu benar datang dari Tuhan dan kita yang berada di posisi tersebut, apa tindakan kita?
Kierkegaard kemudian menambahkan bahwa Abraham memiliki semacam iman yang tidak dimiliki oleh banyak umat beragama; kepercayaan bahwa Tuhan memiliki kekuatan untuk menangguhkan moralitas. Abraham, kata Kierkegaard, percaya bahwa Tuhan akan melindungi Ishak walaupun Abraham akan membunuhnya, hal yang tidak logis tapi dipercayai oleh Abraham.
Seberapa besar iman dan komitmen kita terhadap Sang Pencipta? Apalagi ketika kita dihadapkan untuk mengorbankan sesuatu yang sangat kita kasihi dan cintai? Bagi Kierkegaard, tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan “kan Abraham hidup di jaman dulu.” Kita akan mengakhiri artikel kali ini dengan jawaban menohok Kierkegaard terhadap pernyataan sebelumnya.
Tanggung jawab manusia untuk memilih (percaya/tak percaya, bertindak/tak bertindak) selalu bersifat individu. Adalah hal yang menjijikkan bagi saya untuk melakukan seperti yang sering dilakukan oleh banyak orang, yaitu membicarakan ketidakmanusiawian pada perbuatan yang besar, seolah-olah beberapa ribu tahun lalu adalah jarak yang sangat jauh (tidak relevan dengan saat ini).
Sumber: