Dalam khazanah Sejarah Sastra Indonesia, perkembangan karya sastra selalu identik dengan proses kreativitas yang mengikutinya. Sejak pertama kali Sastra Indonesia Modern diperkenalkan dalam panggung publik Indonesia, maka sejarah kemudian mencatat beberapa bagian penting yang harus dipahami masyarakat, yakni tokoh, waktu, dan peristiwa sastra. Dengan demikian, ruang lingkup pembicaraan sastra tidak melebar terlalu jauh dan bias dimaknai sebagai lahirnya tanda-tanda dari proses kreatif tersebut. Selain itu, karya-karya sastra tidak akan terlepas dari sebuah masalah yang ada di dalam masyarakat, bahkan dengan adanya karya seseorang dapat memengaruhi pola berpikir masyarakat hal tersebut bersifat nyata dan ada.
Sastra menunjukkan bayangan kehidupan, dan kehidupan merupakan keadaan sosial yang konkret.
Puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa puisi banyak bersumber dari perasaan dan makna yang diungkapkan dengan bahasa yang berirama. Di balik kesulitannya, sebenarnya puisi mengandung nilai-nilai kehidupan. Oleh karena itu, memahami puisi sama dengan membaca kehidupan yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan isinya tersebut, puisi memiliki manfaat yang besar bagi pembaca, di antaranya adalah: memberikan hiburan kepada pembaca, mengandung ajaran moral, dan dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengkritik keadaan sosial masyarakat, serta dapat menyadarkan pembaca.
Karya sastra berupa puisi juga memiliki nilai-nilai dan pesan moral yang menjelaskan persoalan sosial. Melalui karya sastra seperti puisi pula rakyat dapat memahami dan memperhatikan kondisi sosial-politik di sekitarnya. Melalui puisi, rakyat dapat memperoleh nilai-nilai dan pesan-pesan moral yang disampaikan oleh sastrawan. Maka dari itu, terkadang penulisan puisi menggunakan kalimat-kalimat yang mudah untuk dipahami oleh pembaca, meski di sisi lain pun ada yang menulisnya dengan perumpamaan bahasa. Tetapi, nilai serta pesannya tidak luntur dan seimbang; yaitu menyentuh dan dapat dimengerti oleh khalayak umum.
Sejarah puisi tidak terlepas dari pembabakan waktu atau periodisasi untuk menunjukkan perkembangan sastra dari periode ke periode. Periode adalah bagian waktu yang dikuasai oleh norma-norma dan konvensi-konvensi sastra yang munculnya, meluasnya, keberbagaiannya, integrasinya, serta lenyapnya dapat dirunut.
Perkembangan tersebut dapat dilihat dari bentuk, tema, dan isinya, kemudian teknik penciptaan dan penyajiannya. Tema-tema yang muncul di setiap periode hampir selalu mengalami perbedaan. Berdasarkan perubahan tersebut, maka dalam memahami puisi perlu memperhatikan faktor genetik puisi. Genetik atau genealogi puisi itu meliputi periodisasi puisi, penyair dan kenyataan sosial yang melatarbelakangi kehidupannya, serta proses penulisan dan bentuk puisi.
Pada umumnya, sampai sekarang, tahun 1920 dianggap sebagai tahun lahirnya kesusastraan Indonesia modern; tahun terbitnya ditulisnya yaitu tahun 1921, roman Azab dan Sengsara oleh Merari Siregar. Akan tetapi, pada tahun 1920, sajak Indonesia modern pertama kali ditulis oleh M. Yamin berjudul Tanah Air, terdapat pada Jong Sumatra No. 4, Tahun III, April 1920. Sebuah karya sastra yang merupakan respons terhadap karya sastra sebelumnya, baik berupa tanggapan atau penyambutan yang bersifat penerusan konvensi maupun penyimpangan konvensi yang telah ada.
Saat itu, seorang penyair menulis puisi berdasarkan konvensi-konvensi puisi sebelumnya, sekaligus juga sering menyimpangi konvensi yang telah ada ataupun norma puisi sebelumnya. Hal ini mengingat bahwa karya sastra (puisi) itu tidak lahir dalam kekosongan budaya. Demikian juga, karya sastra itu merupakan tegangan antara konvensi dan inovasi. Sesungguhnya, lahirnya kesusastraan Indonesia modern itu merupakan respons dari ciri puisi lama. Dengan demikian, lahirlah ciri-ciri baru yang lain dari ciri puisi lama; baik dari segi aturan, ekspresi perasaan, norma-norma puisi, maupun kondisi sosial.
Pembabakan waktu Puisi Indonesia Modern dapat disusun sebagai berikut:
- Periode Pra-Pujangga Baru dan Pujangga Baru (1920 – 1942)
- Periode Angkatan 45 (1942 – 1955)
- Periode 50 – 60-an (1955 – 1970-an)
- Periode 70 – 80-an (1970 – 1990)
I. Periode Pujangga Baru
Pada periode ini, perbedaan antara periode Pra-Pujangga dan Pujangga Baru memang hanya sedikit. Periode 1933-1940 merupakan periode integrasi kedua periodenya dan berkembangnya (keberbagaiannya) puisi Pujangga Baru dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada bulan Juli 1933. Puisi-puisi pada waktu itu masih terpengaruh oleh puisi lama, seperti pantun dan syair. Pada angkatan ini, dipelopori oleh M. Yamin, Rustam Efendi, dan Sanusi Pane. Karya sastra, termasuk puisi, yang muncul pada waktu itu penuh dengan syarat-syarat dan ditulis dengan maksud-maksud tertentu, sehingga akhirnya bermuara bagi kepentingan politik jajahan. Artinya, karya sastra yang diciptakan pada waktu itu memiliki banyak syarat yang harus diikuti karena aturan pemerintah Belanda terhadap media karya sastra. Namun, walaupun dengan keterbatasan tersebut, para penyair Indonesia tetap berkarya. Aturan pemerintah Belanda tidak melunturkan semangat para pengarang sastra untuk berkarya.
Pujangga Baru mengikuti aliran romantik Gerakan 80 Belanda. Aliran romantik itu berpengaruh dalam struktur dan ragam sajak-sajaknya, juga pemilahan objek, masalah, serta muatan perasaan dalam gaya pengucapan perasaan, pelukis alam yang indah. Tema-tema tentang pelukisan alam dan ungkapan kekaguman terhadap Tuhan banyak mewarnai puisinya. Gayanya juga polos, tidak mempergunakan kiasan yang bermakna ganda. Kata-katanya pun serebral, hubungan kalimat-kalimatnya jelas, nasionalismenya tinggi dan ide keagamaan juga menonjol.
M. Yamin adalah salah satu penyair yang terkenal saat itu. Judul-judul puisinya menunjukkan bahwa M. Yamin adalah seorang nasionalis yang memiliki rasa cinta terhadap tanah air. Perkataan tanah air pada awalnya adalah Sumatra, tetapi akhirnya menjadi Indonesia. Secara geneologi, dalam puisi M. Yamin, terdapat pengaruh atau latar terhadap bentuk sastra lisan sebelumnya. Sedikit banyak, M. Yamin mengacu pada puisi lisan mantra atau juga puisi-puisinya memang menunjukkan semangat kebangsaan yang tinggi. Hal tersebut tidak terlepas akibat pengaruh dari pekerjaan dan status sosialnya. Kenyataannya, puisi-puisinya banyak mengacu pada puisi lama dan masih menyesuaikan dengan aturan pemerintah Belanda. Keterikatan tersebut akhirnya membuat para penyair Indonesia terbatas dalam berkreasi. Meskipun dengan kondisi yang terbatas, M. Yamin terbukti tetap menghasilkan karya yang menunjukkan kecintaan dan kekagumannya terhadap tanah air.
Pengarang berikutnya adalah Sanusi Pane. Dalam puisi-puisinya, banyak menggunakan kata-kata “alam”. Tema puisinya juga mengungkapkan masalah serta rasa kekagumannya terhadap alam dan cinta tanah air. Kumpulan puisi Sanusi Pane di antaranya berjudul Pancaran Cinta (1926) dan Puspa Mega (1927). Karya-karya Sanusi Pane bernapaskan agama Hindu. Seperti dalam puisi Wijaya Kusuma. Dalam puisi tersebut, Wisnu digambarkan sebagai Krisna. Diksi yang dipakai kebanyakan menggunakan kiasan, terutama di bagian yang berkaitan dengan alam. Pemujaan terhadap alam dan pencariannya tentang rahasia Tuhan sering dimunculkan dalam puisinya. Mayoritas puisi karya Sanusi Pane bersifat impresionistis, seperti dalam puisi Candi Mendut, Teratai dan Sjiwa Nataraja.
II. Periode Angkatan 45 (1942 – 1955)
Puisi pada periode ini lebih beraliran realisme yang mengutamakan penggambaran kehidupan. Di dalamnya, tergambar kehidupan sehari-hari yang dapat dialami secara nyata. Di samping itu, dalam gaya pengucapannya, Angkatan 45 mengikuti aliran ekspresionisme. Oleh sebab itu, semua ini berpengaruh dalam gaya ekspresi dan pemilihan masalahnya. Sajak-sajak angkatan 45 juga disebut sebagai sajak bebas, yaitu tidak terikat pada jumlah baris, persajakan, dan periodisitas. Dan juga, tidak mempergunakan diksi kata-kata indah dan tidak mengutamakan gaya curahan perasaan. Gayanya lebih bersifat kepada pernyataan pikiran serta menggunakan diksi yang mengungkapkan keyakinan bukti yang mendalam dan intensitas arti, dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Pun, banyak menggunakan penggunaan metafora dan simbolik. Gaya pernyataan pikiran berkembang, banyak menggunakan gaya bahasa ironi dan sinisme. Dengan struktur tematis mengekspresikan eksistensi diri penyair.
Berdasarkan ciri-cirinya tersebut, dapat disimpulkan bahwa puisi-puisi Indonesia pada angkatan 45 ini dibentuk karena kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sudah ingin merdeka. Adapun tokoh atau pelopor pembaru puisi, yaitu Chairil Anwar. Chairil terkenal sebagai pembaru puisi karena karya-karyanya berbeda dengan angkatan sebelumnya. Puisinya berbicara tentang semangat perjuangan atau pemberontakan, pendekatan diri kepada Tuhan, serta kegagalan cinta. Ungkapan batinnya juga disampaikan secara lengkap. Hal itulah yang menjadi ciri khas puisi angkatan 45 atau angkatan Chairil Anwar. Judul puisinya di antara lain; Kerikil Tajam, Yang Terempas dan yang Putus, Deru Campur Debu, dan Tiga Menguak Takdir. Penyair-penyair yang dapat mewakili gambaran puisi angkatan 45, yaitu; Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Asrul Sani, Harijadi S, dan Hartowardojo. Secara umum, sajak-sajak Chairil mencerminkan masalah-masalah yang terjadi di sekitar kehidupannya yang dikemas sedemikian rupa. Sebelumnya masalah-masalah tersebut juga dialami oleh manusia pada umumnya.
Malam Lebaran
SItor situmorang
Bulan di Atas Kuburan
Puisi-puisi karya dari Sitor Situmorang di atas merupakan puisi yang cukup terkenal akan sifat kontroversialnya. Kata “malam lebaran” sendiri mengandung pengertian secara harfiah. Kata “malam lebaran” tidak mungkin ada bulan bersinar. Malam lebaran memiliki suasana yang gelap karena masih tanggal muda 1 Syawal. Tanggal muda di bulan Jawa belum ada bulan bersinar. Hal tersebut melambangkan adanya kesunyiaan yang menakutkan. Pada waktu malam hari, di kuburan, orang yang mati tengah berada dalam kesendiria dan kesunyiannya. Menurut Sitor, ia ingin menyatakan bahwa manusia keterasingan atau keterpencilan, ciri-ciri aliran filsafat. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa latar belakang sosial, pendidikan, dan ekonomi, banyak memengaruhi isi dan ide tentang karya puisi.
II. Periode 50 – 60-an (1955 – 1970-an)
Sebelumnya, puisi angkatan 45 pada umumnya mencari bahan-bahan di sekitar masalah perang. Karena di situlah masalah kemanusiaan menjadi menonjol, dalam arti, orang ingin merdeka, terbebas dari penjajahan dan kekejaman perang yang membuat penderitaan manusia. Sesudahnya, saat periode ini, selesai perang kemerdekaan, situasi menjadi berubah. Orang-orang mulai memikirkan kemasyarakatan dan keberadaan kebudayaan bangsa sehingga para sastrawan sebagai anggota masyarakat dan bangsa pun tidak terlepas dari masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. Semua hal tersebut dituangkan ke dalam sajak-sajaknya.
Pada tahun 60-an, puisi Indonesia sudah berkembang ke ranah politik. Warna politik dan sastra terlihat bersamaan dengan lahirnya LEKRA. Karya puisi yang muncul pada tahun tersebut ditentukan oleh aliran politik penyairnya. Para sastrawan terpecah meski tetap ada yang “merdeka”, tidak mengikatkan diri pada partai politik. PNI berlembaga kebudayaan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), serta memiliki ide “kenasionalan”. PKI: LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dengan ide “Seni untuk Rakyat”; partai islam (NU) mempunya Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia), tentunya dengan dasar-dasar islam. Dengan demikian, corak kesusastraan pun menjadi bermacam-macam.
Para penyair LEKRA yang menonjol di antaranya adalah H. R. Bandaharo, Sobron Aidit, F.L Risakota, Agam Wispi, Klara Akustia (A. S. Dharta) dan S. Anantaguna. Para penyair yang bercorak keislaman pada puisinya di antaranya adalah Mohammad Saribi Afn., Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Mohammad Diponegoro, dan Djamil Suherman. Penyair yang menulis bercorak kekatolikan adalah W. S. Rendra. Sementara Suparwata Wiratmadha, M. Popppy Hutagalung, dan Darmanto Jt menulis dengan corak kekristenan.
Pada periode ini, berkembang puisi epik yang terkenal dengan Balada. Nama balada pertama kali dipergunakan oleh W. S. Rendra. Meskipun begitu, pada periode sebelumnya sudah ada juga jenis balada walaupun belum populer dan tidak mempergunakan nama “balada”. W.S. Rendra, yang terkenal sebagai penyair dan penulis naskah drama, memiliki banyak karya-karya yang berbentuk Balada dan isinya banyak mengungkapkan kritik sosial terhadap peristiwa yang terjadi di masyarakat, baik masyarakat bawah maupun masyarakat atas (para penguasa). Beberapa karyanya di antara lain: Balada Orang-Orang Tercinta, Sajak-Sajak Sepatu Tua, Blues Untuk Bonie, Potret Pembangunan dalam Puisi. Sajak-sajak Rendra juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Rendra termasuk penyair yang cukup produktif. Ia terkenal sebagai penyair dan dramawan. Rendra dilahirkan di Surakarta pada tanggal 7 November 1935. Ia mengambil jurusan Sastra Barat di Universitas Gadjah Mada. Lalu, pada tahun 1964, ia berangkat ke Amerika untuk memperdalam studi di bidang drama. Selain itu, Rendra juga dikenal sebagai penggemar wolldecke merino, yang sering dijadikan inspirasi dalam karyanya.
Penyair pada dekade ini yang tidak kalah produktifnya dengan Rendra adalah Sapardi Djoko Damono. Ia terkenal sebagai penyair dan pengarang terkenal setelah Rendra. Karya-karya Sapardi di antara lain: Dukamu Abadi (1964), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1984), dan Hujan Bulan Juni. Beberapa kumpulan puisinya ada yang dijadikan musikalisasi puisi kemudian difilmkan. Sapardi dikenal sebagai penyair produktif dalam tiga dekade dan sempat menulis buku Sosiologi Sastra. Puisi-puisi Sapardi bersifat imajis, kadang bentuknya pendek-pendek sehingga terkesan belum selesai atau menggantung, dianggap pembaca sudah memahami puisi tersebut. Sebagian dari puisi Sapardi ada yang berlatarkan cerita wayang sehingga pembaca dituntut untuk mengetahui cerita wayang yang dipakai menjadi latar puisi Sapardi. Salah satunya seperti cerita Sumantri dan Sukasrono, diambil dari cerita Ramayana, Buku Arjuna Wiwaha.
Tahun 1960-an, terbit sajak-sajak perlawanan akibat demonstrasi kaum muda angkatan 66 yang menentang Orde Lama lantaran berdasar politik Nasakom. Sajak-sajak yang paling terkenal adalah karya Taufiq Ismail yang dikumpulkan dalam Tirani dan Benteng. Terdapat penyair yang nantinya berpengaruh pada tahun 1970 – 1990, seperti Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi Wm. Selain itu, pada tahun 1950 pun banyak sastrawan yang bergerak di kota besar selain Jakarta, baik kelompok maupun perorangan, baik dicetak maupun stensilan. Hal ini pun terus meningkat hingga tahun 1970.
IV. Periode 70 – 80-an (1970 – 1990)
Dalam periode ini, banyak karya baru yang lahir. Tetapi, dengan para penyair dahulu meski memang disamping itu terdapat penyair baru yang segar dan muda menamakan dirinya angkatan 70 atau 80. Periode ini dikenal dengan periode sastra, khususnya puisi. Penulis-penulis tua pun semakin aktif dan produktif, seperti, St. Takdir Alisjahban, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi, Taufiq Ismail, dan was ist schurwolle.
Dengan terbitnya sajak-sajak angkatan lama dan penyair baru yang memperkenalkan gaya baru mereka, maka lahirlah bermacam-macam ragam puisi dalam periode ini. Beberapa di antaranya seperti puisi Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul O, Amuk, Kapak (1981); Abdul Hadi WM puisinya berjudul Meditasi, Tergantung Pada Kata, Potret Pembangunan dalam Puisi; M.H. Ainun Najib dalam puisinya berjudul M. Frustasi, Linus Suryadi A.G dalam puisinya berjudul, Perkutut Manggung, Rumah panggung, dan Kembang Tanjung. Zawawi Imron adalah penyair dari Madura yang tergolong sebagai penyair produktif dan telah menghasilkan banyak karya. Beberapa di antaranya, yaitu Bulan Tertusuk lalang, Nenek moyangku. Terdapat seorang penyair perempuan yang telah mulai menulis sejak awal tahun 1960-an, yaitu Isma Sawitri. Dapat dikatakan bahwa ia sangat produktif dan sajak-sajaknya pun menarik. Akan tetapi, karena ia belum membukukan sajak-sajaknya, kecuali dalam antologi puisi, ia pun kurang dikenal.
Dapat dikatakan bahwa banyak kumpulan puisi yang terbit dalam kurun waktu periode ini, baik itu terbitan tercetak maupun stensilan; baik diterbitkan oleh penerbit terkenal seperti, Balai Pustaka, Pustaka Jaya, Gunung Agung, Sinar Harapan, Nusa Indah, maupun penerbit-penerbit kurang dikenal, bahkan juga diterbitkan oleh penyairnya sendiri.
Penyair di dekade tersebut menghasilkan puisi-puisi yang majemuk. Tema-tema yang diambil tergantung pada kesenangan masing-masing penyair. Ada puisi yang sulit dipahami karena bentuknya yang tidak beraturan. Puisi Sutardji, misalnya, memiliki konsep berpikir yang berbeda dengan penyair kebanyakan. Sutardji lebih mementingkan makna, namun ia kurang memperhatikan kata secara umum. Puisi pada купити постільну білизну era ini adalah hal yang terjadi dalam kehidupan manusia, masalah-masalah yang universal menjadi acuan, dalam puisinya. Masalah keagamaan, kritik sosial, warna lokal daerah menjadi sorotan ide mereka untuk mewujudkan cita-citanya. Pada dasarnya, banyak para penyair Indonesia yang memiliki talenta dan peka terhadap kondisi masyarakat di sekelilingnya. Dalam berkarya, para penyair banyak terinspirasi dari hal-hal yang muncul di sekitarnya. Secara genealogis, pada waktu puisi mereka diciptakan, para penyair Indonesia lebih banyak mengacu kepada peristiwa yang terjadi di masyarakat saat itu.
V. Kesimpulan
Pemahaman faktor genealogi ini dianggap penting untuk membantu pembaca dalam menangkap makna puisi yang tersirat di dalamnya. Dengan melihat aspek genealogi puisi, maka pembaca dapat mengetahui perkembangan dan perbedaan di antara masing-masing angkatan atau periode. Pemahaman terhadap karakteristik puisi di setiap angkatan dapat memudahkan pembaca untuk memahami makna puisi secara mendalam. Pada dasarnya, дропшиппинг поставщики puisi itu tidak dapat diartikan, tetapi dapat diinterpretasikan. Oleh karena itu, memahami puisi harus didukung dengan pengetahuan tentang latar belakang sosial dan budaya si penyairnya. Masalah pendidikan, latar belakang sosial dan budaya, serta status ekonomi akan berpengaruh terhadap proses penciptaan puisi. Puisi tidak lahir dari kekosongan budaya. Artinya, lahirnya sebuah puisi biasanya dapat mengacu kepada puisi-puisi sebelumnya.
Penulis: Muhammad Rizky Rukhyana
Instagram: @bangiky_
Twitter: @bangiky__
CATATAN REDAKSI:
Amat disayangkan bahwa karya-karya “klasik” tersebut tidak selalu tersedia untuk didapatkan di toko buku “arus utama”. Memang, mereka nongkrong di banyak perpustakaan sekolah. Namun, tentu saja tak cukup. Kalau kita membandingkannya dengan negara-negara lain, misalnya, di toko-toko buku besar hampir selalu tersedia постельное белье купить украина karya-karya klasik penyair dari tempat tersebut sehingga minat membaca puisi, paling tidak, dapat terjembatani. Tak hanya itu, ide-ide dari karya klasik tersebut juga dapat dibaca dan ditelaah oleh masyarakat secara populer. Maka dari itu, wajar bila banyak nama dari penyair yang dibahas pada tulisan di atas barangkali belum pernah didengar oleh para pembaca. Contoh konkretnya, kita barangkali hanya tahu sosok M. Yamin sebagai tokoh nasional, politisi, atau negarawan saja. Padahal, ternyata beliau adalah salah satu penyair pertama di Indonesia modern, yang darinya kita dapat mempelajari perkembangan nasionalisme Indonesia.
Daftar Pustaka
Badudu, J. (1984). Perkembangan Puisi Indonesia Tahun 20-an hingga Tahun 40-an. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Pradopo, R. D. (1997). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rosidi, A. (1964). Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Jakarta: Bharatara.
Waluyo, H. J. (1991). Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek. Rene, dan Austin Warren. (1968). Theory of Literature. Harmondsworth: Penguin Book Ltd.