Categories
Refleksi

Pledoi Untuk Hidup

Analisis Subjektif Kritis Film Me Before You

Film adaptasi dari buku Jojo Moyes yang berjudul “Me Before You” arahan Thea Sharrock, yang nashkah filmnya ditulis oleh Moyes sendiri, telah tayang di layar lebar tahun 2016 lalu, dan kembali muncul lagi di Netflix beberapa waktu belakangan. Film dengan genre romantis populer ini membuktikan kepopuleranya selepas pula memenangkan People’s Choice Award tahun itu. Pun demikian, meskipun populer, film ini tidak lepas dari kontroversi, berkaitan dengan tema penting dan sensitif yang muncul dalam film ini, yakni tentang disabilitas dan eutanasia, yang sayangnya menurut saya tidak mendapatkan proporsi yang tepat dalam penggarapanya.

Oleh karena itu, saya ingin mencoba untuk mengkritisi film ini dengan mengupas epistemologi atau cara berpikir Moyes terutama tentang kematian. Walaupun apa yang akan saya sajikan juga banyak bersifat subjektif dari sisi saya, paling tidak tulisan ini bisa menjadi pelengkap film ini atau dapat meningkatkan kadar objektivitas pemahaman tentang kematian yang melandasinya.

Justru karena film ini populer, menurut saya, kita sebaiknya membicarakanya, karena lewat film seseorang menginternalisasi sebuah nilai atau cara pikir jauh lebih cepat. Semakin populer sebuah film, semakin banyak diinternalisasikanlah oleh khalayak nilai-nilai yang dimuati film tersebut. Lagi-lagi, maka dari itu, tulisan ini bertujuan untuk memberikan beberapa pertimbangan filosofis antropologis untuk menelaah film ini secara kritis.

I. Rangkuman Film

Plot film ini sederhana. Will Traynor, seorang anak ningrat yang orangtuanya memiliki harta dan kekayaan yang masif, beserta properti-properti seperti kastil, dst., mengalami tabrak lari. Ia ditabrak motor besar sewaktu ia buru-buru mau berangkat kerja, dan kecelakaan itu mengakibatkan dirinya mengidap penyakit yang mengakibatkan lumpuh total otot seluruh badan dan juga menurunkan daya tahan tubuh.

Ia kemudian diasuh oleh ayah ibunya di sebuah kastil di daerah Inggris, beserta dokter pribadinya selama beberapa tahun. Will menjadi seorang pemurung, pemarah, dengan emosi-emosi negatif, karena ia selalu mengidealisasikan hidupnya sebelum kecelakaan, dan membandingkanya dengan hidupnya setelah kecelakaan sebagai orang difabel. Louisa Clark, gadis dari kampung dekat kastil itu kemudian melamar kerja untuk menjadi pengasuh Will, dan akhirnya ia diterima. Selepas ia bekerja beberapa waktu dan berhasil mendapatkan hati Will, dalam arti membuat Will kembali dilanda emosi positif, seperti tawa, senyum, dan lain-lain, Louisa menemukan fakta bahwa Will ternyata sudah memiliki rencana untuk melakukan praktik eutanasia, yakni bunuh diri suka rela dengan meminum obat.

Perjanjian yang dibuat Will dengan orangtuanya sebelumnya ialah, bahwa Will memberi waktu setengah tahun pada orangtuanya untuk membuatnya berubah pikiran untuk tidak bunuh diri. Louisa akhirnya tahu untuk apa ia berada di sana, yakni untuk mengubah keputusan Will. Ia akhirnya jatuh cinta pada Will pula, karena saking seringnya berinteraksi denganya, dan juga rasa khawatir yang muncul ketika menangani Will yang kadang-kadang keadaan badanya memburuk. Louisa merancang acara-acara, seperti nonton konsert, kencan, liburan ke pantai untuk Will, supaya membuatnya berpikir, bahwa hidup masih merupakan opsi, karena meskipun ia sekarang difabel, terdapat masih banyak kesempatan untuknya untuk hidup bahagia bersama Louisa.

Sayangnya, Will tidak berubah pikiran. Malah, dengan setengah berkencan dengan Louisa, ia semakin menyadari keadaan menyedihkan kondisi fisiknya. Ia merasa terperangkap di dalam tubuhnya yang tak bisa merespons hasrat jiwanya dan kehendaknya. Ia justru semakin yakin, bahwa ia harus mengakhiri hidupnya, supaya tak menjadi beban untuk orangtuanya, dokter pribadinya, dan juga Louisa. Selepas liburan di pantai di Denmark yang direncanakan oleh Louisa, Will tetap memutuskan untuk pergi ke Swiss untuk mengakhiri hidupnya, dengan permintaan, bahwa orangtuanya dan Louisa menemaninya sampai ia meninggal. Setelah banyak konflik batin akibat kekecewaannya, Louisa akhirnya memutuskan untuk ikut ke Swiss untuk mencoba mengubah pikiran Will sekali lagi, yang sayangnya harus berakhir dengan kegagalan.

Setelah Will meninggal, Louisa diberi banyak warisan dan modal untuk melanjutkan studinya yang ia tidak dapat wujudkan demi menghidupi keluarganya sebelumnya, dengan bekerja sebagai pengasuh Will. Louisa kemudian menjalani hidupnya dengan bahagia.

II. Poin Kritis dan Refleksi

Ada beberapa poin penting yang bisa kita telaah dari film ini secara kritis yang akan saya beri bentuk pertanyaan:

  1. Tidak di bahas di dalam film ini tentang kemungkinan Will merasa berterimakasih karena masih hidup selepas tabrak lari yang dialaminya. Apakah benar Will tidak merasa berterimakasih sama sekali akan kehidupan?
  2. Apakah mungkin seseorang dapat memiliki determinasi untuk mati hanya karena membandingkan kehidupan sebelum dan sesudah kecelakaan yang merubah tubuhnya? Apakah kondisi difabel selalu diikuti dengan penyesalan?
  3. Will tidak ditampakan takut sama sekali menghadapi kematian, bahkan sesaat sebelum ia menelan pil eutanasia di Swiss. Apakah mungkin seseorang tidak memiliki ketakutan akan kematian, bahkan saat ia akan mati dari tanganya atau tindakanya sendiri?
  4. Bagaimana dengan orang-orang yang ditinggalkan Will, paling tidak yang ditampilkan dekat dengannya di film, yakni Louisa, Nathan (dokter pribadi), dan orangtuanya? Apakah mungkin mereka menerima kematian Will begitu saja dengan rasional tanpa ada hal-hal negatif secara psikologis yang menimpa mereka?

Paling tidak empat poin di atas tidak dibahas secara memuaskan menurut saya, atau bahkan tidak dibahas sama sekali. Adalah amat keliru kalau kita melihat film sederhana ini hanya sebagai film romantis picisan saja, karena sejatinya pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang kematian bertebaran dimana-mana untuk dipikirkan secara serius. Saya akan mengakhiri teks ini dengan membahas empat pertanyaan tersebut di bawah.

(1) Untuk pertanyaan nomor satu, saya bisa menjawabnya secara fenomenologis, berdasarkan pengalaman pribadi saya yang mirip-mirip belakangan ini. Setelah menyintas sebuah kecelakaan yang bisa saja membunuh kita, selepas kita sadar bahwa kita masih hidup dan sintas, biasanya rasa yang muncul ada dua–dan keduanya berhubungan–, yakni heran dan bahagia. Heran, mengapa kita masih bisa hidup, karena kalau konstelasi peristiwa buruk itu berubah sedikit saja, bisa saja kita sudah mati. Dan karena itu, kita bisa saja tertawa, karena menyintas sebuah kecelakaan memiliki struktur peristiwa yang sama seperti canda: sesuatu yang meleset, terpeleset sedikit dari ekspektasi. Dari tertawa akibat menelaah peyintasan kita sebagai mirip candaan itu, kita mendapat emosi bahagia–apalagi kalau ada penyintas lainya yang juga mengalami peristiwa buruk yang sama. 

Kemungkinan lainya untuk emosi bahagia berasal dari penularan kebahagiaan dari orang lain. Jangan lupa, “aku” tak pernah bisa dimaknai secara tunggal, melainkan selalu dalam kerangka intersubjektivitas kita dengan orang lain, dan paling tidak orang lain yang menyayangi kita. Orang yang menyayangi kitalah yang sejatinya bahagia, ketika kita menyintas sebuah peristiwa buruk yang bisa saja membunuh kita, karena merekalah yang akan merasakan sakit, sedih, dan segala emosi negatif itu kalau kita tidak sintas. Dan kalau kita tidak sintas, kita tidak akan merasakan apapun, karena kita tak ada lagi: kita tiada. Ketika orang lain, terutama mereka yang menyayangi kita melihat kita masih ada, melihat kita sintas, mereka akan mengeluarkan emosi bahagia, dan menularkanya pada kita. Kita akan juga ikut berbahagia, dan resonansi kebahagiaan antara kita dan orang yang menyayangi kita itulah yang membuat rasa mirip transenden itu.

(2) Yang ditampilkan di film ini sayangnya hanyalah sisi Will yang tidak bisa menerima keadaan difabelnya selepas kecelakaan. Nathan mengungkapkanya demikian, bahwa Will bermimpi sewaktu tidur tentang hidupnya yang lama yang penuh dengan aktivitas-aktivitas fisik, olahraga, dan romantika, dan selepas ia terbangun dari mimpinya itu, ia kecewa karena semua itu hanyalah mimpi. Fenomena tersebut cukuplah kita telaah menggunakan istilah psikoanalisis dasar, yakni transference (Übertragung). Transfer terjadi ketika seseorang memproyeksikan pengalaman-pengalaman di masa lalu yang sudah mengendap pada alam bawah sadar, juga konsep-konsep dasar yang beredar di masyarakat, insting-insting, dan lainnya kepada keadaan aktual seseorang tersebut. Dalam konteks Will, Will mentransferkan masa hidupnya ketika fungsi tubuhnya masih berjalan dengan normal pada masa hidup aktualnya, ketika ia sudah berubah menjadi seorang difabel. Apa akibatnya? Will tidak bisa menerima kenyataan yang ada, dan selalu hidup dengan merepresi hasrat-hasrat beraktivitasnya, yang ia pernah miliki dan alami di masa hidupnya yang lama. Ia mau tidak mau harus merepresinya, penolakaan akan kenyataan kondisi difabelnya membuat hasrat-hasrat untuk beraktivitas pra-kecelakaan yang seharusnya tidak muncul secara intensif, menjadi amat intensif dan tak tertahankan, sehingga ia harus merepresinya. Apalagi, Will hidup pada sebuah lingkungan sosial yang berisikan manusia-manusia, teman-temanya, yang juga aktif secara fisik–seseuatu yang bisa jadi juga memperkuat proses proyeksinya. Dan biasanya, apa-apa yang seseorang represi akan muncul di mimpi. 

Kalau Will berhasil mencerna, menelaah, dan menerima kondisi difabelnya pasca-kecelakaan, ia tidak akan mentransferkan kondisi pra-kecelakaanya, ia tidak akan mengidealisasikan sebuah tubuh yang berfungsi secara sempurna, ia tidak harus merepresi banyak hal, dan ia tidak akan mendapatkan emosi-emosi negatif yang dia tampilkan sehari-hari di film. Amor fati, sebuah pepatah latin yang berarti cintailah nasibmu, bisa jadi alternatif untuk narasi yang diusung film ini. Di Jawa juga ada, nerimo ing pandum. Mensyukuri kehidupan sebagai pemberian, anugrah kehidupan–ataupun Tuhan. Karena toh, kondisi difabilitas juga dapat memberikan dampak positif, tak hanya negatif, untuk eksistensi seorang pribadi. Kita tahu orang seperti Stephen Hawking, yang juga agaknya menderita penyakit yang mirip dengan Will berkaitan dengan kelumpuhan saraf motorik tubuhnya, atau juga para atlet difabel, dan pekerja-pekerja sosial difabel. 

Maka dari itu, narasi Will sebagai seseorang yang merasa “terperangkap” dalam sebuah tubuh yang ia tak mau tinggali tidak boleh kita terima secara mentah-mentah, karena ada banyak alternatif yang tersedia untuknya selain dengan mengakhiri hidupnya. Mengakhiri hidup, atau bunuh diri, merupakan manifestasi radikal sikap menyerahnya. Ia menyerah pada transfer yang ia lakukan, ia menyerah pada represi, ia menyerah pada hasrat beraktivitas, ia menyerah untuk menerima kenyataan. Albert Camus, seorang eksistensialis, bahkan memiliki semacam figur yang sikapnya terhadap, katakanlah, nasib buruknya, bertolak belakang dari Will-nya Moyes. Yakni Sisifus, yang Camus imajinasikan bahagia dan menerima kutukanya untuk mendorong batu ke pucuk bukit untuk membiarkanya jatuh lagi, dan mendorongnya lagi, berulang-ulang, selamanya. Sisifus memberontak terhadap kehidupan yang memberinya nasib buruk, dengan menerimanya dengan bahagia.

(3) Paling tidak kita harus membeda-bedakan tipe kematian. Ada kematian yang mendadak, yang membuat orang bahkan tidak sempat merasa takut. Contohnya, sedang dalam gedung, lalu gedung itu runtuh seketika; atau ditembak mati, terkena peluru nyasar; terselak biji buah ketika sedang makan santai; serangan jantung, dan lain-lain. Ada kematian yang menyisakan beberapa detik untuk kita dan membuat kita merasa akan mati, tanpa emosi apapun. Ada kematian yang memakan waktu beberapa menit, sehingga kita memiliki ruang sedikit untuk emosi, baik itu emosi negatif seperti ketakutan, sedih, dst., maupun positif, seperti bersyukur atas hidup yang sudah dijalani, dst. Dan, ada kematian yang direncanakan jauh-jauh hari, termasuk kematian Will. Ada enam bulan waktu yang Will miliki untuk dapat merubah pikiranya, untuk dapat membiarkan dirinya dirasuki oleh emosi tertentu sehingga ia enggan mati atau bunuh diri. Semua itu tidak ditampilkan di film, sebab yang tampil hanyalah Will dengan determinasi yang kuat untuk mengakhiri hidupnya, karena hidup dalam difabilitas buatnya “bukanlah hidupnya yang sesungguhnya”. Moyes menampilkan determinasi untuk mati ini dengan amat mulus dan tanpa konflik batin apapun di dalam pergulatan internal Will. Sesuatu yang menurut saya tidak sesuai dengan kenyataan antropologis kita.

Sudah merupakan tema semenjak Schopenhauer, Montagne, Seneca, Epikurus, bahkan Sokrates, bahwa kematian tidak perlu ditakutkan sama sekali. Sebab, saat kematian, kita tidak ada lagi, dan kematian tidak sama sekali memberi dampak apapun buat kita yang mati. “Kita mati, kita tiada. Kita ada, kita tidak mati”, begitu ucap seluruh filosof yang saya sebut sebelumnya–semua benar-benar kompak mengulang argumentasi yang sama dengan afirmasi. Ketakutan akan kematian oleh karenanya merupakan sesuatu yang amat tidak diperlukan, sebab kita dapat “mempelajari caranya mati” atau “to learn how to die” semenjak dini, dengan selalu mematrikan pada pikiran kita setiap detik bahwa kita bisa mati kapan saja. Paling tidak, mari berasumsi bahwa Will juga mengenal filosofi ini, dan tahu bahwa waktu ia mati, ia tidak akan merasa apapun, dan ia bahkan malah terbebas dari rasa-rasa negatif psikologis (akibat represi) dan fisik(akibat imobilitas dan rendahnya imun tubuhnya) yang menyertainya pasca-kecelakaan. Namun, satu hal yang pasti, tidak ada dari satu filosof yang saya sebutkan di atas menganjurkan bunuh diri sebagai jalan keluar dari kehidupan yang dirasa menyengsarakan. Bunuh diri yang dimotori motivasi pelarian merupakan tindakan yang negatif.

Paling tidak, pada masa modern, selepas abad ke-20, ide kematian yang kita bahas di atas tidak lagi diterima secara mentah-mentah. Paling tidak Kierkegaard sudah mengidentifikasikan ketakutan atau emosi negatif terhadap kematian dengan istilah “despair”, atau “sickness unto death”. Jasper juga membahasakanya sebagai penderitaan akibat “ketidaktahuan absolut” mengenai apa yang akan terjadi setelah kematian, dan juga “ketidakterbatasan keinginan hidup” yang membuat kematian dikonstruksikan sebagai sebagai sebuah “situasi batas” (Grenzsituation). Manusia (bisa) takut mati. Seberapapun tinggi “death drive” (Todestrieb) yang dimiliki Will, determinasi pribadinya untuk mati tidak mungkin tanpa guncangan. Apalagi, ia memiliki waktu panjang, kurun dan ruang waktu di mana ia masih dapat merefleksikan atas kehidupan, merasakan ketakutan untuk mati di saat-saat terakhir, memikirkan juga perasaan orangtuanya, dan Louisa, kekasihnya.

(4) Poin terakhir ini ialah poin yang paling membuat film ini tidak sesuai dengan kenyataan antropologis kita. Orangtua Will ditampilkan begitu pasif, dan pasrah. Mereka seakan-akan mewakili kalangan libertarian, yang mementingkan kebebasan dan determinasi seorang individu lebih dari apapun. Termasuk determinasi anaknya sendiri untuk bunuh diri. Hanya Louisa yang ditampilkan sedih dan terpukul, terutama pada scene malam hari sewaktu mereka liburan di Denmark, saat pertama kali Louisa mencoba mengubah pikiran Will. Namun, pada percobaan Louisa yang kedua, sesaat sebelum Will meminum pil eutanasia, dan ia gagal, ia ditampilkan dengan tampak amat sedih, namun juga menerima. Adegan sedu sedan saat Will meminum pil eutanasia dan juga saat pemakamanya tidak muncul sama sekali, dan film berakhir dengan Louisa yang membuka surat warisan Will dengan bahagia.

Belum lama ini Judith Butler memperkenalkan pada filsafat sosial istilah “grievability” untuk melengkapi diskursus hak asasi manusia. Terjemahan dalam bahasa Indonesia kira-kira dapat berbunyi “keteratapan”. Ketika seseorang grievable, maka seseorang itu akan diratapi di saat kepergian atau kematiannya, maupun ketika sesuatu yang buruk menimpanya. Dengan demikian, Butler menyarankan kategori baru untuk menilai manusia yang lebih menunjukan sifat interdependensi dan kesosialan manusia. Sebab, mutlak, manusia selalu mengada dalam relasi sosial, dalam ikatan emosional dengan orang-orang disekitarnya. Emosi sedih yang muncul, dampak-dampak psikologis yang menyertai kehidupan orang-orang yang kehilangan diri kita, sekarang mendapatkan wadah dalam filosofi. Menurut saya, dengan sudut pandang grievability, apa yang ditampilkan dalam film, determinasi individual untuk bunuh diri yang diambil Will merupakan sebuah determinasi yang amatlah egois–seperti yang juga sudah diteriakan Louisa dan juga diamini oleh Will sendiri. 

Sebab, saya tegaskan lagi, fenomena kematian seseorang tidaklah bermakna untuk yang mati, atau yang bunuh diri. Mereka sudah tiada lagi sebelum sempat memaknai kematian mereka. Mereka tak memiliki kesadaran, mereka tak memiliki memori lagi. Yang terjadi dengan kematian hanyalah penting untuk orang di sekitar yang meratapi kepergian orang tersebut. Teman, sahabat, sanak saudara, orangtua. Dimensi kematian yang paling relevan ialah dimensi kesosialan kematian seseorang, bukan dimensi eksistensialnya.

Memori tentang orang yang meninggal menciptakan imajinasi bagi mereka yang masih hidup, sehingga mereka berekspektasi bahwa orang yang sudah mati itu masih ada. Selain itu, Jasper juga memiliki poin penting lainya, yakni soal komunikasi. Yang membuat kematian seseorang amat menyakitkan dan membuat frustasi orang-orang sekitar yang menyayanginya ialah keterputusan komunikasi (Kommunikationslosigkeit) yang biasanya terjalin dalam interaksi. Katanya, “ratapan perpisahan ini merupakan ekspresi pasrah komunikasi terakhir” untuk yang mati dari yang masih tinggal.

Pustaka

Pada tulisan kali ini saya mencoba untuk sedikit lebih luwes dengan bibliografi untuk tidak menghasilkan tulisan yang terlalu akademik, melainkan yang lebih santai. Tentang “grievability” saya ambil dari,
Butler, Judith (2020). “The Force of Non-Violence”. London: Verso.

Tentang konsep transference saya ambil dari, 
Jung, Carl (1975) [1935]. “Über die Grundlagen der analytischen Psychologie. Die Tavistock Lectures 1935”. Diterjemahkan oleh Hilde Binswanger. Frankfurt am Main: Fischer.

Tentang pemikiran Karl Jasper dan filosof-filosof lainya tentang kematian saya ambil dari kumpulan teks mereka di buku, 
Wittwer, Héctor (2014). “Der Tod. Philosophische Texte von der Antike bis zur Gegenwart.” Stuttgart: Reclam. 
Juga di esai-esai berikut,
Mason, Jeff. “Death and Its Concept.” The Philosopher’s Magazin, 15 Januari 2015.https://www.philosophersmag.com/opinion/17-death-and-its-concept
Montaigne, Michel [1987] (2004). “To philosophize is to learn how to die”, dalam The Essays: A Selection, diedit dan diterjemahkan oleh M. A. Screech, hal. 17–36. London: Penguin Classics.

Selesai ditulis 10.8.2021.

By Geraldus Martimbang

Pembelajar arsitektur dan filosofi, aktif di Podcast Progresif. Sedang mencari jalan filosofis. Suka makan pasta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *