Beberapa waktu lalu, di bulan Mei 2020, ada sebuah fenomena di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat yang memicu pergerakan skala besar Black Lives Matter[1] di seluruh penjuru dunia. Tentu Anda semua tahu peristiwa mana yang dimaksud.
Berawal dari peristiwa itu saya tergelitik untuk membawakan tema rasisme dalam presentasi di kelas sejarah saya. Bersama dengan para kolega, saya memutuskan untuk membahas supremasi kulit putih dalam sejarah olahraga, terutama pada Formula 1 tahun 1935[2] di Nürburgring dan Olimpiade Musim Panas di Berlin tahun 1936[3]. Dimulai dari melihat berbagai video, hingga ke berita-berita, sampai ke beberapa macam tulisan yang membahas tentang rasisme, supremasi kulit putih, dan othering, saya jadi terinspirasi untuk menuliskan tulisan ini, berbekal dengan sebuah pertanyaan, kenapa rasisme ada dan mungkinkah kita menghilangkan rasisme?
Dalam tulisan ini saya akan membahas sejarah rasisme, menganalisa tentang kenapa rasisme bisa muncul, dan kenapa rasisme masih ada hingga sekarang.
Ras: Realitas Biologis atau Sosial?
Sebelum membahas lebih lanjut tentang konsep “ras,” sebuah pertanyaan perlu terlebih dahulu ditanamkan dalam pikiran Anda: apakah “ras” merupakan suatu konsep yang begitu adanya (dan karena ras identik dengan penampilan fisik, benarkah bahwa “ras” memiliki realitas biologis[4] di dalamnya?) atau sekadar konsep yang dibentuk oleh manusia dan kemudian menjadi sekadar realitas sosial?[5] Melihat argumentasi yang seringkali dilontarkan oleh para fundamentalis ras, fundamentalis agama, atau bahkan fundamentalis patriarki, mereka berargumen seakan-akan entah ras mereka, seksualitas mereka, atau juga agama mereka memang secara natural lebih baik daripada yang lainnya. Tetapi, benarkah begitu?
Kata “ras” (atau mungkin dalam konteks ini adalah teori Ras) sendiri merupakan konsep yang relatif baru dikenal oleh umat manusia, mengingat bahwa konsep tersebut muncul baru di pertengahan abad 19. Tujuan dari penciptaan konsep ini sendiri adalah menguatkan argumen supremasi kulit putih di Eropa. Dalam buku Homo Sapiens, Yuval Noah Harari berargumen bahwa Homo sapiens pertama kali muncul sekitar 70.000 tahun lalu di benua Afrika dan kemudian perlahan-lahan menyebar ke seluruh penjuru dunia seperti Asia, Eropa, dan Amerika.
Menurut penelitian, perbedaan fisik yang sekarang dapat kita lihat ketika kita berada di benua tertentu terbentuk karena evolusi yang terjadi pada para Homo sapiens yang menjelajah dunia ini. Mereka yang berpindah ke daerah utara seperti Eropa dan Amerika Utara cenderung berevolusi, kulit dan tubuh mereka kemudian beradaptasi dengan lingkungannya dan perlahan mengurangi pembentukan melanin[6] dalam tubuh karena mereka terletak jauh dari garis ekuator.[7] Di sisi lain, Homo sapiens yang menetap atau berpindah ke daerah yang berdekatan dengan garis ekuator akan memiliki kulit yang cenderung lebih gelap untuk melindungi mereka dari sinar UV dari matahari[8] .
Melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan, sepertinya aman untuk mengatakan bahwa ras sesungguhnya hanyalah realitas sosial yang dibentuk oleh kita manusia karena jika kita observasi lebih lanjut, pembedaan ras biasanya berbasis warna kulit dan karakter fisik lainnya, dan basis argumentasi tersebut sudah dipatahkan oleh fakta bahwa perbedaan karakteristik fisik sesungguhnya hanyalah cara tubuh Homo sapiens menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Lantas, kenapa masih ada rasisme?
Rasisme dan Supremasi Kulit Putih
Menurut Profesor Dr. Ibram X. Kendi, notasi rasisme terlama dalam bentuk fisik yang sejauh ini ditemukan adalah buku yang dituliskan oleh seorang pedagang Portugis bernama Gomes Eanes de Zurara pada tahun 1450 tentang orang-orang asli Afrika. Dalam bukunya ia mendeskripsikan orang-orang Afrika sebagai makhluk yang inferior dan barbar, tetapi mengapa?
Mari kita bergerak ke masa yang lebih lampau, tepatnya tahun 1415 di wilayah kerajaan Portugis.
“Pada masa itu Pangeran Henry dan saudara-saudaranya berhasil meyakinkan ayahnya, Raja Yohanes I dari Portugal untuk mematikan pusat perdagangan Muslim, Ceuta, di daerah Timur Laut dari Maroko untuk menemukan sumber material dan kekayaan yang didapatkan oleh pedagang di Ceuta. Setelah menaklukkan Ceuta, Pangeran Henry kemudian melakukan ekspedisi lewat laut untuk mempelajari jalur perdagangan yang dilakukan oleh pedagang Muslim di Ceuta pada zaman dahulu hingga kematiannya di tahun 1460. Ia meneliti jalur perdagangan itu lewat laut karena para pedagang masih menguasai daerah itu.
Setelah kematiannya, Raja Alfonso V memerintahkan Gomes Eanes de Zurara untuk menuliskan biografi tentang pamannya tercinta dan membahas terutama tentang ekspedisi Pangeran Henry menjelajah Afrika dan kisahnya dalam perdagangan budak. Di tahun 1453 Zurara telah menyelesaikan biografi Raja Henry dengan judul Crónica do descobrimento e conquista da Guiné atau dalam bahasa Indonesia Sejarah Penemuan dan Penaklukan Guinea. Buku itu kemudian menjadi buku Eropa pertama di era modern tentang Afrika…” (Die wahre Geschichte des Rassismus in Afrika, Ibram Kendi, S. 32-33)
Propaganda-propaganda yang dituliskan dalam buku itu tentang Portugis menjadi kerajaan pertama di Eropa di abad 15 untuk menjelajahi Samudra Pasifik dan kerajaan yang menemukan tenaga kerja yang murah kemudian dijadikan model bagi negara-negara atau kerajaan-kerajaan Eropa lainnya, di mana kemudian para penguasa di Eropa mulai melakukan ekspedisi untuk menemukan sumber tenaga kerja yang murah ini.
Dari buku yang dituliskan oleh Ibram Kendi, kita bisa mengenali bahwa tujuan penggunaan konsep-konsep rasis utamanya adalah perdagangan, atau mungkin lebih tepatnya untuk tujuan ekonomi. Namun, interpretasi manusia terhadap realitas tentu saja berbeda-beda karena orang memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dalam melihat suatu hal. Katakanlah orang bisa melihat bahwa pada gelas ini digambarkan (atau mungkin lebih tepatnya ditempelkan) ornamen-ornamen, tetapi orang lain bisa memfokuskan pandangannya pada laptop yang ada terletak di latar belakang foto, atau mungkin hanya berfokus pada simbol-simbol yang bila dieja menjadi “h-o-l-l-a-n-d” membentuk kata “Holland” yang berarti Belanda dalam bahasa Indonesia.

Sama dengan cara kita melihat foto tersebut, berbagai budaya dan pendidikan yang hidup dan tumbuh bersama kita juga dilatih untuk berfokus pada hal-hal tertentu dalam suatu buku atau suatu fenomena.[9] Dalam kasus buku yang dituliskan oleh Zurara, buku itu kemudian menjadi pemantik dari gerakan white supremacy atau supremasi kulit putih karena mereka disuapi dengan kebohongan yang diciptakan oleh Zurara dalam bukunya. Mereka, tanpa mengerti dan mengenal budaya dan orang-orang Afrika, percaya begitu saja dengan bagaimana sang penulis mendeskripsikan orang-orang Afrika.
A lie told often enough becomes the truth.
– Vladimir Lenin
Dengan kondisi dunia yang belum terintegrasi seperti sekarang ini, sangat mudah untuk percaya dengan informasi apa saja yang disebarkan, terutama karena persebaran informasi pada zaman dahulu sangat terbatas dan pendidikan masih menjadi privilese untuk sebagian banyak orang, mengingat kentalnya perbedaan kelas sosial yang baru kemudian pada abad 18 secara konstitusional dihapuskan lewat Revolusi Prancis.
Buku ini bukan merupakan produk dari rasisme, tetapi ia memperkenalkan konsep atau kondisi baru kepada masyarakat Eropa dan menjadi, sejauh yang kita ketahui, salah satu akar dari rasisme dengan memperkenalkan orang-orang Afrika sebagai manusia yang memiliki kasta lebih rendah karena mereka tidak berperilaku sesuai seperti orang-orang Eropa pada zaman dahulu. Namun, hal yang menarik adalah, sebelum orang-orang Eropa berekspedisi dan menemukan orang-orang Afrika yang dilihat dari sisi ekonomi merupakan tenaga kerja yang “sangat murah”, mereka juga memperbudak orang-orang Eropa Timur, yaitu orang-orang etnis Slavia (yang kemudian menjadi etimologi dari “Slave” atau budak)—orang-orang yang memiliki kulit yang sama putihnya dengan orang putih di Eropa lainnya. Kenapa? Apakah ini benar-benar masalah superioritas? Namun, kenapa sesungguhnya muncul sebuah perasaan superior?
Fenomena Othering: Kita dan Mereka
Ketika orang Eropa Barat melihat bangsa Slav, atau orang-orang Afrika, mereka melihat sesuatu yang berbeda dari mereka. Mereka melihat perbedaan—entah karakteristik fisik atau perbedaan perilaku sehari-hari yang ada pada yang lain. Fenomena ini disebut sebagai fenomena othering atau “melainkan; menganggap lain.” Menurut ahli geografi budaya, Crang (1998: 61), othering adalah “proses di mana identitas dibentuk dalam hubungan yang tidak setara.” Dalam fenomena othering, kita mengidentifikasi karakteristik yang ada pada diri atau kelompok kita, dan secara bersamaan juga membandingkan karakteristik yang dimiliki oleh individu atau kelompok lain dengan memperhatikan apa yang kurang dan lebih dari satu sama lain.
Untuk membawakan fenomena ini ke dalam konteks sehari-hari, Anda bisa membayangkan diri sedang berjalan-jalan di taman, katakanlah Anda adalah individu yang memiliki tubuh perempuan atau laki-laki, kemudian melihat lawan jenis Anda di taman, apa yang pertama kali muncul dalam benak Anda? Secara tidak sadar alam bawah sadar kita pasti mengidentifikasi terlebih dahulu karakter fisik yang dimiliki oleh individu yang berjalan di taman bersama Anda, apa yang mereka kenakan, bagaimana cara mereka berjalan, bagaimana mereka menjadi “mereka”.
Hegel, dalam fenomena othering, memiliki pemahaman bahwa kesadaran secara simultan melihat “self and not-self” dalam diri orang lain sehingga menciptakan konsep “self-other”, yang menciptakan identitas diri yang mengeksklusikan perbedaan yang ada pada “self-other.” Manusia lewat proses othering mengenali dirinya, membentuk identitas diri dengan mengenali fitur-fitur unik yang ada pada dirinya yang tidak dimiliki oleh orang lain—atau dalam konteks Hegel, self-other.
Kembali pada penjelasan tentang othering di paragraf pertama, kita membentuk identitas diri dengan cara persamaan diri kita dengan self-other dan kemudian menyingkirkan bagian-bagian yang sekiranya tidak sesuai dengan diri kita, bagian yang tidak mereka miliki dari kita dan apa yang kita tidak miliki dari mereka, dan melalui proses ini biasanya secara implisit terbentuk perasaan inferioritas atau superioritas terhadap individu/kelompok lain. Contoh paling sederhana bisa kita lihat ketika orang-orang Indonesia mengajak turis kulit putih untuk berfoto, untuk apa? Atau perasaan minder ketika memiliki kulit berwarna gelap dan berusaha untuk memutihkan kulit dengan berbagai macam cara, untuk apa? Bahkan beberapa waktu lalu sempat ada poster webinar yang membicarakan tentang trik jitu mendapatkan hati dan menikah dengan seorang bule.

Kolonialisme, Superiority, and Inferiority Complex
Sebaliknya, orang-orang kulit putih jaman dulu (bahkan masih ada beberapa sampai sekarang) merasa bahwa mereka merupakan sekelompok Homo sapiens yang memiliki genetik terbaik sehingga mereka merasa layak dan pantas untuk menjajah, mengeksploitasi, dan membunuh orang-orang dengan ras lain.
Pada 2 Juni 1877 di Oxford, seorang politisi kolonial dan (kemudian) perdana menteri Cape Colony Inggris Cecil Rhodes menyatakan keyakinannya bahwa orang-orang Inggris merupakan ras terbaik yang ada di dunia dan akan lebih baik untuk umat manusia apabila mereka menduduki sebagian besar dari bumi. Penggalan dari tulisannya dapat dibaca pada paragraf berikut:
“I contend that we are the finest race in the world and that the more of the world we inhabit, the better it is for the human race. Just fancy those parts that are at present inhabited by the most despicable specimens of human beings what an alteration there would be if they were brought under Anglo-Saxon influence, look again at the extra employment a new country added to our dominions gives.
I contend that every acre added to our territory means in the future birth to some more of the English race who otherwise would not be brought into existence. Added to this the absorption of the greater portion of the world under our rule simply means the end of all wars, at this moment had we not lost America I believe we could have stopped the Russian-Turkish war by merely refusing money and supplies. Having these ideas what scheme could we think of to forward this object.[…]”[10]
Ia yakin bahwa rasnya adalah yang terbaik dan seluruh umat di bumi lebih baik mendapatkan pengaruh budaya Anglo-Saxon. Dalam tulisan tersebut, ia mengidamkan dunia yang unilateral di bawah kekuasaan Inggris, atau dengan kata lain, menghapuskan kekayaan budaya yang dimiliki oleh daerah-daerah lain, contohnya benua Afrika, yang diisi dengan berjuta kekayaan budaya di masanya. Kini banyak budaya dan bahasa yang terbentuk dari interaksi masyarakat Afrika yang hilang karena definisi peradaban maju yang terlalu Eropa-sentris dan memandang sebelah mata budaya lokal.[11]
Kolonialisme tidak hanya mengeksploitasi kekayaan alam yang ada di daerah terjajah dan menyebabkan negara yang terjajah menjadi miskin (karena eksploitasi dan ketergantungan untuk mengolah sumber daya alam, dan masyarakat yang tidak siap untuk teremansipasi karena kurangnya sarana pendidikan), tetapi para penjajah juga meninggalkan dampak-dampak psikis yang terbawa hingga sekarang, dan untuk menunjukkan betapa dalam kolonialisme mengakar dalam masyarakat, seorang akademisi menulis:
“No matter what institutions take the place of the old, the psychological effects of oppression continue to linger, perhaps for centuries. Even after “independence” is declared, colonialism continues to reside in the minds of native people. Fanon’s work demonstrates that even more terrible than the colonization of a country is the colonization of the mind. (Schoolman, 1979, p.43)” – disitasi ulang dari The Rehabilitation of Violence and the Violence of Rehabilitation: Fanon and Colonization.
Kolonialisme sendiri merupakan produk dari Revolusi Industri yang menggantikan sistem perekonomian negara-negara Eropa dari ekonomi yang berbasis pekerjaan para budak menjadi pekerjaan mesin-mesin yang kini membutuhkan bahan-bahan mentah yang melimpah—salah satu alasan yang kemudian memantik kolonisasi di Afrika. Propaganda hierarki ras beberapa abad sebelumnya menciptakan kondisi di mana penghapusan budaya dan ras yang terjajah menjadi tidak masalah karena mereka memiliki ras yang lebih superior dan yang terjajah memiliki ras yang lebih inferior.
Pola pikir seperti ini tidak bisa hilang begitu saja. Dalam proses kolonialisasi, orang-orang yang terjajah seperti orang Indonesia dan Afrika melewati proses dehumanisasi oleh para penjajah karena kita diperlakukan seperti a lesser human (makhluk yang lebih tidak manusia) dibandingkan mereka, salah satu sebabnya adalah karena kerja rodi dan romusha[12]. Hal ini meninggalkan perasaan inferior yang sebagian besar orang Indonesia masih miliki ketika melihat orang kulit putih, beranggapan bahwa mereka pasti pintar, memiliki gen yang lebih baik, dsb.
Penyebab Rasisme dan Kenapa Rasisme Masih Ada
Dapat kita lihat bahwa rasisme bukan sesuatu yang bisa dihentikan begitu saja; ia tidak memiliki off switch yang bisa kita gunakan begitu saja untuk mematikannya. Rasisme memiliki sejarah yang begitu panjang, terwujud lewat kisah-kisah yang kemudian membentuk konstruksi sosial untuk mendukung perekonomian orang-orang di dataran Eropa pada zaman dahulu.
Rasisme—atau dalam konteks relasi orang-orang Eropa Barat dengan bangsa Slavia dan Eropa Timur lebih ke Darwinisme Sosial dan Chauvinisme—ada pertama-tama karena kita melihat sesuatu yang berbeda dari individu/kelompok lain. Dalam konteks perbudakan, orang-orang Eropa Barat melihat kebarbaran dan inferioritas dalam cara hidup bangsa Slav. Dalam kisah ini, sebagian orang Eropa Barat melihat diri/kelompok mereka sebagai individu/kelompok yang tidak memiliki perilaku yang barbar dan inferior, dan memiliki perilaku yang beradab dan layak dicontoh, sedangkan diri/kelompok Bangsa Slavia dilihat sebagai kurang beradab dan memiliki jiwa barbar. Proses fenomena othering yang dijelaskan oleh Brons (2015: 70).
Fenomena othering kemudian menjadi rasisme dan menciptakan pula supremasi kulit putih (yang istilahnya baru berkembang di sekitar abad 20) ketika kita mulai mengenal konsep baru yang diperkenalkan oleh Zurara pada abad pertengahan abad 15. Dengan kata lain, othering yang telah berevolusi dan direinterpretasi oleh berbagai lapis latar belakang masyarakat telah tersistemisasi sehingga apa yang sesungguhnya hanya fenomena yang kita alami sebagai individu/kelompok mewujudkan diri sebagai pemecah umat manusia. Mirisnya, tidak semua orang sadar bahwa rasisme hanya sekadar konstruksi sosial, sesuatu yang menjadi ada karena dipercaya ada dan memiliki bukti nyata, walaupun secara biologis telah terbukti tidak ada.
Namun, tanpa adanya konsep-konsep seperti rasisme atau supremasi kulit putih menurut saya akan tetap muncul rasisme atau supremasi kulit putih dalam konsep lain. Artinya, konsep-konsep tersebut sebenarnya hanya perwujudan atau mungkin rujukan untuk menamai fenomena-fenomena tersebut, padahal pada intinya adalah mereka melihat perbedaan dalam kelompok/individu lain. Apa yang menjadi langkah selanjutnyalah yang menjadikan proses pembedaan individu/kelompok sendiri dengan individu/kelompok lain dapat dinilai baik atau buruk.
Pada dasarnya, manusia memang memiliki insting untuk membedakan diri/kelompok mereka dengan yang lain. Itu merupakan salah satu komponen penting untuk mengidentifikasi diri/kelompok sendiri seperti yang sudah dibahas pada beberapa paragraf di atas. Tetapi kembali lagi, apa yang sang subjek ambil setelah melewati proses itulah yang bisa kemudian kita kendalikan sebagai makhluk yang sadar akan kesadarannya. Manusia memiliki budaya yang begitu kaya lewat proses peradabannya dan seharusnya kita mengangkat perbedaan itu, menganggap perbedaan itu sebagai suatu hal yang wajar dan menciptakan ruangan yang senggang untuk mengembangkan dan melestarikan kekayaan budaya tersebut.
Catatan Kaki:
- Bacaan lebih lanjut untuk gerakan Black Lives Matter: https://en.wikipedia.org/wiki/Black_Lives_Matter diakses pada 13 Desember 2020
- Bacaan lebih lanjut untuk Grand Prix F1 Nürgburgring 1935: https://de.wikipedia.org/wiki/Gro%C3%9Fer_Preis_von_Deutschland_1935 diakses pada 13 Desember 2020
- Bacaan lebih lanjut untuk kejadian Olimpiade 1936 di Berlin: https://en.wikipedia.org/wiki/1936_Summer_Olympics diakses pada 13 Desember 2020
- Realitas biologis di sini berarti klaim bahwa perbedaan genetik yang membuktikan perbedaan ras antara manusia telah terbukti lewat pengujian DNA dan Genetika.
- Realitas sosial di sini berarti realitas yang terbentuk dari konsensus dari umat manusia, sehingga apa yang dianggap sebagai realitas dalam konteks ini sesungguhnya hanyalah konstruksi sosial. (Kata kunci untuk bacaan lebih lanjut: Konstruksi Sosial)
- Melanin adalah pigmen pada kulit manusia yang bertanggung jawab untuk memberikan warna pada kulit manusia dan memiliki kegunaan-kegunaan tertentu, salah satunya sebagai pelindung kulit manusia dari sinar UV yang bisa menyebabkan kanker kulit.
- Ekuator merupakan garis imajiner yang membagi bumi secara rata menjadi belahan bumi bagian utara dan selatan. Bacaan lebih lanjut: (https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/equator/)
- Sinar UV berbahaya untuk kulit manusia karena bisa menyebabkan kanker kulit. Bacaan lebih lanjut: https://www.cancer.org/cancer/cancer-causes/radiation-exposure/uv-radiation.html#:~:text=UV%20rays%2C%20either%20from%20the,can%20also%20cause%20eye%20problems.
- Konstruksi sosial
- Teks lengkap dapat dibaca dalam bahasa Inggris pada laman yang tertera: https://pages.uoregon.edu/kimball/Rhodes-Confession.htm
- Definisi peradaban yang maju sekarang terfokus pada negara-negara maju, dalam arti lain, peradaban berarti menjadi seperti Homo Sapiens yang tinggal di dataran Eropa. Dapat dilihat secara riil dalam kehidupan kita sehari-hari, budaya dan bahasa lokal sudah mulai ditinggalkan dan dianggap kuno, sedangkan beradab berarti menjadi seperti orang-orang yang ada di negara-negara maju.
- Sistem kerja paksa yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang pada masa penjajahannya di tanah Nusantara sebelum nama Indonesia digunakan untuk menamai pulau-pulau di Nusantara. Bacaan lebih lanjut: https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/08/090000069/kerja-rodi-dan-romusha-kerja-paksa-zaman-penjajahan?page=all diakses pada 1 Januari 2021
Referensi:
- https://www.spiegel.de/kultur/literatur/how-to-be-an-antiracist-von-ibram-x-kendi-ein-leben-als-nichtrassist-unmoeglich-a-d9d03060-ffa8-4ab4-9f48-90568e58a882 diakses pada 25 November 2020
- https://www.youtube.com/watch?v=oIZDtqWX6Fk diakses pada 25 November 2020
- https://www.bpb.de/mediathek/178985/die-entstehung-des-rassismus diakses pada 8 Desember 2020
- https://www.swr.de/wissen/1000-antworten/warum-gibt-es-keine-menschenrassen-tierrassen-gibt-es-doch-auch-100.html diakses pada 12 Desember 2020
- https://www.rtl.de/cms/gesundheitslexikon-melanin-4047561.html#:~:text=Wozu%20wir%20Melanin%20brauchen,vor%20allem%20auf%20das%20Eumelanin. Diakses pada 13 Desember 2020
- https://pages.uoregon.edu/kimball/Rhodes-Confession.htm diakses pada 26 Desember 2020
- https://www.modernghana.com/news/634231/the-lost-of-african-culture-values-and-morals.html diakses pada 1 Januari 2021
Daftar Pustaka:
- Brons, Lajos. (2015). Othering, An Analysis. Transcience, a Journal of Global Studies. 6. 69-90.
- Sune Qvotrup Jensen: Othering, Identity formation, and agency. In: Qualitative Studies. 2, Nr. 2, 2011, S. 63–78.
- Chiwengo, Ngqarsungu. (2011). Otherness and Female Identities: Simone de Beauvoir’s The Second Sex. Journal of French and Francophone Philosophy; Vol 13, No 1 (2003); 167-176. 13. 10.5195/jffp.2003.445.
- Yuval Noah Harari: Eine kurze Geschichte der Menschheit. Pantheon Verlag, München, ISBN 978-3-641-10498-6.
- Wolfgang Pfeifer (Hrsg.): Etymologisches Wörterbuch des Deutschen. dtv, München 1995, ISBN 3-423-03358-4, S. 1084–1085.
- Nina G. Jablonski, George Chaplin: The evolution of human skin coloration. 2000, doi:10.1006/jhev.2000.0403
- Thorwald Ewe: Die Neandertaler verschwanden, als die modernen Menschen kamen. Doch ausgerechnet diese erfolgreichen „Neuen“ sind – was Fossilien betrifft – unsichtbar. In: bild-der-wissenschaft.de, Ausgabe: 11/2013, Seite 36 – Leben & Umwelt, abgerufen am 16. August 2017.
- Knoblauch, Hubert. (2007). Kultur, die soziale Konstruktion, das Fremde und das Andere.
- Johannes. (2004). Einführung in den Sozialkonstruktivismus.
- Kattmann, Ulrich. (2015). Rassen? Gibt’s doch gar nicht!. Bundeszentrale für politische Bildung, Dossier Rechtsextremismus, Rassismus.
- Kendi, Ibram X. (2017). Die wahre Geschichte des Rassismus in Afrika. C.H. Beck Verlag, München, ISBN 978-3-406-71230-2
- Kebede, Messay. “The Rehabilitation of Violence and the Violence of Rehabilitation: Fanon and Colonialism.” Journal of Black Studies, vol. 31, no. 5, 2001, pp. 539–562. JSTOR, www.jstor.org/stable/2668075. Accessed 26 Dec. 2020.
- Stephen Ocheni, Basil C. Nwankwo (2012). Analysis of Colonialism and Its Impact in Africa. Cross-Cultural Communication, 8(3), 46-54. Available from URL: http://www.cscanada.net/index.php/ccc/article/view/j.ccc.1923670020120803.1189DOI: http://dx.doi.org/10.3968/j.ccc.1923670020120803.1189.
2 replies on “Ras Siapa yang Paling Hebat?”
Saya sangat mengagumkan bagaimana penulis menyusun tulisannya sehingga bisa dengan mudah dipahami dan menyadarkan saya mengenai konsep rasisme ini. Oleh karena itu, saya ucapkan terima kasih banyak kepada penulis, Michael Nugraha Budiarto.
Hai! Terima kasih atas dukungannya, ya! Saya berusaha untuk bisa menjelaskan tentang konsep ini dengan sebaik mungkin.
Salam,
Michael Nugraha Budiarto