Review Buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965”
“Sejarah diciptakan oleh pemenang.” Ungkapan tersebut sepertinya amat relevan dengan penjelasan yang ada di buku ini. Buku yang ditulis oleh Wijaya Herlambang sebagai disertasi doktoralnya di University of Queensland ini membenarkan kutipan itu dalam konteks Orde Baru dan ideologi anti-komunisnya. Seperti yang kita semua tahu, pada zaman rezim Sukarno telah terjadi sebuah peristiwa yang dinamakan Gerakan 30 September, yang juga merupakan awal mula berdirinya Orde Baru yang anti-komunis.

Dalam buku ini Herlambang mengambil definisi kekerasan budaya Johan Galtung yang menyatakan bahwa terdapat tiga jenis kekerasan: kekerasan langsung, struktural, dan kultural. Kekerasan langsung yang dimaksud adalah kekerasan fisik yang dapat kita temui dimanapun. Sedang kekerasan struktural adalah kekerasan yang tidak mencelakai atau membunuh, melainkan melalui struktur sosial yang menyebabkan kemiskinan, ketimpangan ekonomi, atau ketidakadilan sosial dan politik. Dijabarkan pula, bahwa pengesahan atas kekerasan langsung dan tidak langsung ini dapat dilakukan melalui produk-produk kebudayaan seperti ideologi, bahasa, agama, seni, dan ilmu pengetahuan, hal ini disebutnya sebagai kekerasan budaya, atau dengan kata lain, bentuk kekerasan untuk melegitimasi kekerasan yang lain. Kekerasan budaya ini adalah bentuk yang sulit diukur dan diraba, juga bersifat permanen, sehingga sulit sekali dihilangkan dan dilebur dalam masyarakat.
Orde Baru bertanggung jawab atas penangkapan dan pembunuhan massal pada orang-orang tertuduh komunis, yang menurut Robert Cribb berjumlah 78.000 hingga dua juta orang. Hingga pada akhirnya, melalui Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966, komunisme, marxisme-leninisme—menngacu pada istilah pada buku ini—diibliskan seutuhnya. Namun, bukan hanya pemerintah Orde Baru yang menganggap bahwa komunis adalah paham iblis. Banyak dari masyarakat yang beranggapan sama, bahkan menganggap bahwa pembunuhan simpatisan PKI sebagai hal yang lumrah karena mereka adalah orang-orang penuh dosa. Bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Buku yang terbit pertama kali pada 2011 dengan bahasa Inggris di Jerman dan bahasa Indonesia pada 2013 ini berusaha menjelaskannya. Jawabannya adalah: kekerasan budaya.
Herlambang fokus pada produk-produk kebudayaan dalam bentuk linguistik atau simbol. Menurutnya, kekerasan dapat disahkan melalui produk kebudayaan dan dapat juga temanifestasikan secara langsung pada ekspresi esterik, khususnya penggunaan bahasa dalam, misalnya, karya sastra atau bentuk seni lain berupa film dan teater. Dia menganggap bahwa bahasa dan simbol dapat dimanipulasi untuk menyelipkan perspektif ideologi tertentu. Dalam analisisnya, dia menggunakan pendekatan Marxis yang menganggap bahwa sastra berhubungan secara dialektik dengan konteks sosialnya sebagai konteks sosialnya sebagai media untuk melakukan protes terhadap realitas, yang juga menganggap bahwa teks dan konteks, sastra dan ideologi, isi dan bentuk, representasi dan realitas adalah hal yang tidak bisa dipisahkan.
Herlambang juga memaparkan bagaimana kaum intelektual Barat membangun kesepahaman bersama tentang kebebasan yang kemudian atas kepentingan CIA dibentuk  Congress for Cultural Freedon (CCF). Melalui CCF ini, dan melalui perwakilannya di Indonesia, paham-paham kebebasan ala Barat ditularkan pada intelektual yang memang pada dasarnya sudah berseberangan dengan pemerintahan kiri Soekarno. Nama-nama seperti Mochtar Lubis, Arif Budiman, Soe Hok Gie, Goenawan Mohammad dan intelektual yang merupakan simpatisan PSI seperti Soemitro Djoyohadikusumo dikait-kaitkan dengan gerakan CCF yang bernuansa liberal. Dalam bukunya ini, Herlambang mengemukakan hubungan beasiswa yang ditujukan pada para intelektual muda untuk bersekolah di Amerika. Selain itu diungkapkan pula mengenai Yayasan Obor Indonesia yang, menurut konstruksi data Herlambang, memiliki cabang di Amerika dengan nama Obor Foundation. Di bab ini juga dijelaskan perdebatan sengit di ranah kebudayaan antara pendukung humanisme universal yang tergabung dalam Manifesto Politik 1965 dengan pengusung realisme sosialis yang bernaung dalam Lekra.
Pengesahan kekerasan 1965-1966 melalui karya sastra yang dimaksud adalah cerpen-cerpen dari majalah Horison, yang didirikan oleh penandatangan Manifes Kebudayaan, dan majalah Sastra. Cerpen-cerpen tersebut adalah Pada Titik Kulminasi, 1966; Perempuan dan Anak-anaknya, 1966; Sebuah Perjduan Ketjil, 1967; Maka Sempurnalah Penderitaan Saya di Muka Bumi Ini, 1967; Perang dan Kemanusiaan, 1969; dan Ancaman, 1969. Cerpen-cerpen tersebut adalah cerpen pertama yang menceritakan pembunuhan 1965-1966. Horison, yang diungkapkan oleh Herlambang, merupakan organisasi penerima bantuan dari filantropis barat yang harusnya menganggap bahwa isu itu adalah sensitif. Namun, dalam analisisnya, dia menyatakan bahwa cerpen tersebut justru membenarkan kekerasan 1965-1966 dengan playing victim sehingga para pembaca bersimpati pada pelaku kekerasan. Cerpen-cerpen itu juga berusaha memanipulasi ideologi pembaca dengan menjabarkan bahwa komunisme adalah sumber dari segala penderitaan.
Buku ini juga berusaha menjabarkan langkah pemerintah Orde Baru dalam membentuk dan menanamkan ideologi anti-komunis, yang secara bersamaan mengibliskannya. Langkah awal pemerintah Orde Baru adalah dengan membuat versi resmi dari kejadian 30 September 1965. Dalam narasi tersebut dijelaskan bahwa PKI, dan Aidit sebagai dalang, adalah satu-satunya pelaku yang harus bertanggung jawab atas penculikan dan pembunuhan 6 Jendral dan 1 Perwira. Narasi ini ditulis oleh Nugroho Susanto, sejarawan UI yang menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI sejak 1964. Sejarah susunan Nugroho Susanto bukanlah satu-satunya narasi resmi peristiwa 1965. Versi tersebut berhasil ditranformasikan ke dalam produk-produk kebudayaan seperti, film, novel, diorama, museum, serta buku pelajaran di sekolah-sekolah.
Sejak 1968, pemerintah, melalui Pusat Sejarah ABRI, berusaha membangun proyek-proyek penting yang mendorong implementasi kandungan ideologis yang mereka buat ke dalam bentuk-bentuk yang lebih praktis. Pada 1980, Nugroho mulai menulis naskah film berdasarkan narasi sejarah utama Orde Baru yang disusunnya sendiri. Nugroho, melalui kerja samanya dengan Jenderal Gufran Dwipayana, akhirnya menggandeng sutradara Arifin C. Noer. Film ini selesai pada tahun 1981 dengan judul Penghianatan G30S/PKI, lalu disetujui secara resmi oleh Presiden Soeharto pada 1983 dan ditayangkan di siaran TV nasional pada 1984 hingga 1997, yang kemudian menjadi instrumen propaganda penting dalam melegitimasi kekuasaannya. Masih belum puas, setelah Nugroho meninggal dunia pada 1985, novel Penghianatan G30S/PKI yang ditulis Arswendo Atmowilotomo akhirnya terbit pada tahun 1986 atas permintaan Dwipayana. Masih sama, novel itu memuat kandungan sejarah versi Orde Baru. Kedua karya sastra itu berhasil menggambarkan bahwa partisan komunis adalah orang-orang biadab dan tak berprikemanusiaan dengan dramatisasi-dramatisasi yang berlebihan.
Setelah menggambarkan langkah-langkah praktis pemerintah melalui karya sastra, Herlambang juga menggambarkan perlawanan-perlawanan oleh lembaga-lembaga kebudayaan kontemporer atas kebudayaan Orde Baru. Perlawanan ini diinisiasi pada tahun 1990-an oleh institusi-institusi kebudayaan seperti JAKER (Jaringan Kerja Kesenian Rakyat), KUK (Komunitas Utan Kayu), dan KSI (Komunitas Sastra Indonesia) untuk melawan hegemoni ideologi anti-komunis. Dalam penjelasannya, Herlambang berusaha mengorek asal-usul Komunitas Utan Kayu, yang dalam argumentasi penulis banyak terhubung dengan lembaga-lembaga filantropi lokal dan internasional. KUK dinilai memang memunculkan wacana alternatif dari Orde Baru lewat sastra, khususnya tentang kekerasan terhadap orang-orang komunis, namun menurut Herlambang, sikap toleran KUK tersebut harus diletakkan di dalam paradigma liberalisme. Herlambang menggunakan istilah faux-leftis terhadap KUK sebagai ilusi kekiri-kirian padahal menyuguhkan wacana kebebasan. Di sini juga dikemukakan tentang argumentasi-argumentasi penulis terhadap keterkaitan KUK, khususnya Goenawan Mohamad terhadap lembaga-lembaga liberal seperti JIL, Freedom Institute, dan Bakrie yang sedikit banyaknya bisa turut mempengaruhi selera intelektual golongan menengah.
Pada bagian akhir bukunya, Herlambang melakukan analisis serta kritik terhadap novel berjudul September karya Noorca Masardi. Dia membongkar struktur cerita dan pembentuknya, yang ternyata telah dilakukan sejarah oleh Noorca terhadap peristiwa 30 September 1965. Herlambang menganggap bahwa novel ini adalah novel pertama yang secara gamblang dan berani memukul keras narasi resmi Orde Baru dengan menceritakan bahwa pelaku utama dari peristiwa tersebut adalah Soeharto, yang ditokohkan sebagai orang bernama Theo Rosa. Lebih lanjut, Herlambang berpendapat bahwa kehadiran novel ini dapat dijadikan sebagai tandingan serta alternatif dari narasi resmi Orde Baru.
Sumber:
Herlambang, Wijaya, Kekerasan Budaya Pasca 1965 (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2013)
Budiman, Hary Ganjar, “Tinjauan Buku Kekerasan Budaya Pasca 1965” https://hgbudiman.wordpress.com/2016/09/07/tinjauan-buku-kekerasan-budaya-pasca-1965/ diakses 30 Agustus 2020
Izzati, Fathimah Fildzah. Rio A., dan Wijaya H., “Wijaya Herlambang: ‘Salihara dan Freedom Institute itu Lembaga Sampah!’” https://indoprogress.com/2014/11/wijaya-herlambang-salihara-dan-freedom-institute-itu-lembaga-sampah/ diakses 30 Agustus 2020