Categories
Refleksi

Sepak Bola Sebagai Peleburan Pelbagai Manusia

Minggu pagi, circa 2011, sekelompok orang tua berkumpul di pinggir lapangan. Mereka menyaksikan anak-anak mereka yang sedang bermain sepak bola. Saya adalah salah satu dari anak-anak itu, dan ayah saya adalah salah satu orang tua yang ikut menonton. Posisi saya saat itu sebagai sayap kanan muda berusia 13 tahun. Saya—agar tidak terdengar sebagai kegagalan—kemudian memang tidak menekuni lapangan sepak bola secara mendalam. Tetapi euforia itu, teriakan ibu-ibu ketika bola mendekati gawang, pelatih dengan kacamata hitam, tidak lekang oleh waktu. Atmosfer semacam itu muncul setiap kali saya bermain futsal, secara rekreasional, tentunya. 

Sepak bola merupakan olahraga yang begitu populer di muka bumi ini. Tidak dapat dielak, selain menjadi sebuah olahraga yang menyehatkan, ia juga menjadi sebuah objek hiburan. Kita semua pun dapat menikmatinya. Bila kita bertanya mengapa, pertama mari tengok sejenak betapa sederhananya konsep olahraga ini. 

Dikutip dari Law of The Game (IFAB, 2020), sepak bola membutuhkan lapangan dengan luas kira-kira 90 x 45 meter persegi, dengan sedikit pengaturan apabila itu adalah pertandingan internasional. Kemudian, dimainkan dengan 11 orang dalam satu tim (sudah dengan satu kiper). Konfigurasi ini begitu mudah disederhanakan, luas lapangan tak perlu terlalu ideal, dan jumlah orang bisa disesuaikan dengan keadaan. Bila kurang dari 22 orang, maka jumlah pemain dan luas lapangan bisa disesuaikan. 

Selebihnya, kita tahu, pemain boleh mengoper, menendang, menyundul, menahan dengan dada, bahkan punggung dari benda bernama bola. Asalkan tidak menggunakan tangan (kecuali penjaga gawang). Tim yang bisa mencetak gol lebih banyak ke gawang tim lawan adalah pemenangnya. 

Secara garis besar begitu mudah dipahami, bukan? 

Kedua, ekspektasi publik yang hampir selalu antusias dengan pertandingan sepak bola, apalagi bila itu adalah pertandingan besar. Kita bisa ingat, misalnya, saat Indonesia berlaga di turnamen AFF Suzuki Cup 2016. Di mana saat itu, Indonesia mampu menembus babak final. Seorang teman saya dua hari setelahnya langsung membeli baju timnas bertuliskan nama Irfan Bachdim. 

Hal yang sama juga berlaku pada penggemar sepak bola. Dari yang sekedar menyukai, sampai yang hooligans, semua punya antusiasme yang tinggi. Di Manchester, beberapa waktu lalu, penggemar Manchester United menyerbu masuk ke dalam stadion menjelang pertandingan klub tersebut melawan Liverpool. Atau kalau Anda ingin yang lebih gila, coba simak kisah pemain bertahan Kolombia, Andres Escobar. Lima hari setelah ia melakukan gol bunuh diri, ia dibunuh di depan sebuah bar. Dikutip dari The Sun, alasannya karena bandar narkoba menaruh banyak uang di pertandingan tersebut. 

Ketiga, karena varian gaya permainan dan taktik yang begitu banyak. Mulai dari level klub, pelatih, hingga individu pemainnya. Pemain Spanyol terkenal dengan oper-operannya yang memusingkan, sedangkan pemain dari Brazil dengan gocekan samba yang meliuk-liuk. Ronaldo dengan knuckle shot yang memainkan udara di sekitar bola, Roberto Carlos dengan tendangan pisangnya, atau Iniesta dengan dan dribble-nya yang menyihir. 

***

Bila kita kupas dinamika psikologisnya, maka sepak bola memiliki kiasan psikis yang terhubung dengan manusia. Pertandingan antar dua tim merupakan sebuah metafora dari sebuah kompetisi antar komunitas, kota, dan bangsa, yang mana hal ini melibatkan identitas kelompok dari seseorang (Chehabi, 2002). 

Seorang pemain, membawa identitas kelompok yang berbeda, tergantung di mana ia bermain. Ketika melihat Andik Vermansyah berseragam Persebaya (Surabaya), kita melihatnya sebagai seorang individu yang terafiliasi dengan sebuah komunitas. Seorang pemain yang dikontrak oleh manajemen klub Persebaya, bermain untuk membela klub tersebut, dan mendapat upah.  Individu tersebut, kemudian membawa serta identitas timnya. Bila Persebaya kalah, maka mereka yang bermain untuk klub tersebut dianggap sebagai penyebab  kekalahan. Sebaliknya, ketika Andik bermain sebagai punggawa tim nasional Indonesia, kita tak lagi melihatnya sebagai pemain Persebaya, melainkan sebagai seorang pemain yang membela tim nasional Indonesia. 

Bila kita lihat dalam perspektif psikoanalisis, maka identitas ini menanamkan semacam “panduan tingkah laku” pada individu. 

Kita bisa menengok dalam psikologi Freudian, misalnya. Hal tersebut bisa kita lihat sebagai bagian dari super-ego yang merupakan aspek moral dan ideal pada kepribadian manusia (Feist & Feist, 2009). Secara struktur super-ego dibagi menjadi dua subbagian, yaitu the conscience dan ego ideal. Bagian pertama tersebut berperan memberitahu individu tentang “apa yang tidak boleh dilakukan”, sedangkan bagian kedua memberitahu individu tentang “apa yang harus dilakukan”. 

Sehingga di lapangan hijau, sebenarnya yang terjadi bukan semata-mata sejumlah orang yang memperebutkan pencapaian atau sebuah reward. Melainkan ada kumpulan super-ego yang mempertahankan dirinya. 

Ada semacam psychodrama juga di mana tiap pemain mengeksplorasi diri mereka di dalam sebuah role play. Adapun psychodrama sendiri memang istilah yang umum digunakan sebagai terapi. Individu secara spontan mendramatisasikan masalah personal mereka di dalam kelompok, sehingga individu tersebut mendapatkan penyadaran akan dirinya (Britannica, 2008). Namun, di sini maksud dari psychodrama adalah dinamika psikis yang terjadi di antara individu yang diperankan/didramatisasikan dalam sepak bola.

Bahkan, di luar lapangan juga terjadi sebuah dinamika psikologis. Ketika kita sebagai penonton juga turut mengidentifikasi diri sebagai bagian dari tim yang kita dukung. Implikasinya, kita mengalami deindividuasi, yaitu saat kita tidak mengidentifikasi diri sebagai ‘diri’ sendiri, melainkan sebagai bagian dari suatu kelompok (King, 2011). 

Salah satu contohnya, adalah ketika tim jagoan kita mencetak gol dan kita berteriak sekencang-kencangnya. Kita tidak menganggap itu sebagai perilaku satu orang, melainkan sebagai perilaku kelompok kita. Secara bersamaan kita juga menarik garis dengan tim lawan beserta suporternya. Kita bisa melihat, misalnya, tangisan emosional dari pemain sepak bola maupun fans ketika tim mereka harus mengalami kekalahan di partai final. 

Selain itu, sepak bola juga seolah menjadi cara mengutarakan apa yang tidak bisa diutarakan, speak the unspeakable. Hasrat instingtif manusia (drive) akan agresi mendapat aktualisasinya—atau sublimasinya, bila meminjam konsep defense mechanism. Dengan ini, sepak bola memiliki koneksi tersendiri dengan individu-individu di dalam maupun luar lapangan. Ia layak dianggap sebagai peleburan berbagai elemen personal manusia. 

***

Tidak heran bahwa kemudian sepak bola juga berkaitan dengan kepentingan-kepentingan politis manusia. Silvio Berlusconi—seorang taipan dari Milan dan juga pemilik partai politik Forza Italia—misalnya, menggunakan kosakata sepak bola untuk menarik perhatian berbagai macam kelas masyarakat dan batasan sosial di Italia (Semino & Masci, 1996). Era itu disebut era football-politics, dan dampaknya tak usai meski masa itu sudah lewat begitu lama (Porro & Russo, 2012). Kita bisa menengok rivalitas dua klub Milan (Inter Milan dan AC Milan), yang pertandingannya diabadikan dengan nama “Derby Milano”. 

Penyerang asal Pantai Gading, Didier Drogba, pernah menghentikan sejenak perang sipil yang berkecamuk di negaranya lewat pertandingan sepak bola. Didier Drogba dan golden era-nya Pantai Gading di kala itu, selain ditekan oleh perhitungan poin, juga ditekan oleh suasana politik yang memanas. Pemerintahan Laurent Gbagbo memegang wilayah selatan, sedangkan kaum rebel di utara yang bernama The New Forces of Ivory Coast, menguasai wilayah utara (Guiberteau, 2020, p. 1)

Pertandingan itu berakhir bahagia. Pantai Gading lolos menuju Piala Dunia. Kata seorang pelajar: “Seluruh negeri—setiap orang, setiap rumah—begitu bahagia. Hari itu kami semua lupa bahwa negeri ini sedang terbelah”. Nahas, perang masih berkecamuk setelahnya. 

Atau yang terjadi akhir-akhir ini di semesta sepak bola Eropa. Menyusul adanya pembentukan liga baru, yakni Europa Super League (ESL), yang membuat perseteruan tak terelakkan. Sebuah perseteruan yang bukan soal dua kali 45 menit lagi. Sebuah perseteruan di antara klub-klub sepak bola Eropa dan liga baru itu. Klub-klub besar sedang mandek dalam masalah keuangan, sehingga memutuskan membuat liga sendiri dengan hadiah yang luar biasa. Florentino Perez, presiden klub Real Madrid, menjelaskan bahwa ia hendak menyelamatkan sepak bola dengan dibikinnya liga super Eropa ini. 

“Liga super ini akan menghasilkan lebih banyak uang. Lebih menarik. Manchester United melawan Barcelona lebih menarik dibandingkan Manchester United melawan klub yang lebih kecil,” begitu ujarnya. 

Tak pelak, liga tersebut bentrok dengan penggemar sepak bola sedunia. Bahkan beberapa pemain turut menunjukkan penolakannya. Hasrat pemilik klub untuk keuntungan, bersua dengan penggemar yang tak ingin ada perubahan eksklusif semacam itu. 

***

Sepak bola adalah peleburan yang ajaib. Ia hadir bersama kepentingan dan hasrat manusia—bahkan seorang Jokowi menyempatkan diri bermain bola juga. Atau dari gang-gang sempit, misalnya, kita bisa dapati sekumpulan anak menendang bola. Seolah-olah mereka hendak bilang bahwa tidak adanya lapangan yang mumpuni tak menghalangi keseruan mereka. 

Di lapangan hijau, manusia bertemu, sambil menanti hal-hal ajaib terjadi. Gol-gol indah, kartu merah kontroversial, comeback dramatis dari tim yang tidak diunggulkan, atau apapun yang membuat manusia segar sejenak. Ah, dan jangan lupa: taruhan.

Referensi:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *