Video dokumenter “Why Jakarta is sinking” karya kanal berita populer Vox yang diunggah pertama kali pada 19 Februari lalu menarik perhatian banyak orang Indonesia. Paling tidak dari kawan-kawan saya, saya mendengar pernyataan-pernyataan seperti “Lo, Jakarta tenggelam, ya?” “Baru tahu.” “Selama ini ngapain aja pemerintah?” dan seterusnya.
Tanah Jakarta sudah turun sejak 40 tahun lalu dan tidak ada upaya serius—dramatis, efektif—untuk menggarapnya. Isu ini bahkan tidak muncul pada ajang Pilkada Jakarta 2017 lalu. Salah siapa sehingga bencana ini bisa terjadi? Salah pemerintah saja? Sayangnya tidak, sebab turunnya tanah Jakarta merupakan salah seluruh warga Jakarta yang memompa air dari sumur. Ternyata, aktivitas yang lumrah terjadi di seluruh Indonesia itu menyedot air tanah secara drastis, ditambah dengan betonisasi sebagian besar permukaan tanah untuk keperluan bangunan, sehingga menghalangi proses pengisian kembali air tanah oleh mekanisme alam—dari laut, ke awan, ke hujan, ke tanah, ke air tanah.
Nah, masalah yang paling pelik adalah: kita tak bisa menyalahkan semua orang secara langsung begitu saja, karena kenyataannya, masyarakat awam tidak tahu bahwa tindakan menggali sumurnya itu memberi dampak negatif secara lingkungan, yang secara refleksif mengancam eksistensi mereka sendiri. Ya, mereka tidak tahu. Dampak tindakan mereka tak langsung dapat dilihat. Yang melihat dampaknya hanya mereka yang terkena dampaknya secara langsung, yakni mereka yang tinggal di pesisir: para nelayan Jakarta Utara. Yang tahu bahwa menyedot air tanah untuk keperluan sehari-hari merupakan penyebab turunnya tanah Jakarta hanyalah mereka yang menginformasi diri atau yang meneliti secara saintifik fenomena tersebut di universitas-universitas. Oleh karenanya, hanya kedua “subjek” tersebut yang diwawancara pada video tersebut: para nelayan dan seorang dosen UI.
Masyarakat Adat dalam Pelestarian Ekologi
Mari kita melihat permasalahan ini dari kacamata perbandingan masyarakat modern dengan Masyarakat Adat sebagai latar belakang. Hal yang membedakan masyarakat modern secara struktural dari Masyarakat Adat adalah proses rasionalisasi (Max Weber) dalam banyak bidang kemasyarakatan. Masyarakat Adat tidak memiliki permasalahan signifikan dengan lingkungan, sebab kehidupan mereka menyatu dengan cara kerja dan aturan-aturan lingkungan. Niklas Luhmann [1] menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam Masyarakat Adat, pengetahuan mengenai keberlanjutan lingkungan hidup dan upaya pelestariannya terkodifikasi secara religius “dalam tabu dan dalam ritualisasi”, sehingga “organisasi semantis pengetahuan dan kaitannya dengan penyelarasan motivasional tingkah laku manusia mewujud dalam semantika sakral—sebab perihal langit lebih mudah dan, katakanlah, lebih pragmatis untuk diorganisasi ketimbang perihal profan” (Luhmann [1986]: 70).
Cukup dengan membuka Google dan memasukkan kata kunci “kearifan lokal dan pelestarian lingkungan”, kita akan menemukan puluhan jurnal dari Indonesia yang membahas mekanisme pelestarian lingkungan yang dimiliki oleh berbagai Masyarakat Adat dalam konteks geografisnya masing-masing. Kenyataan bahwa Masyarakat Adat juga hidup di dalam alam dan memiliki hubungan yang jauh lebih intensif dengan alam dalam keseharian dan praktik kebudayaannya juga bisa jadi memunculkan kedekatan sentimental yang meningkatkan motivasi untuk menjaga alam. Jangan lupakan juga skala kuantitatif Masyarakat Adat yang jauh lebih kecil jumlahnya. Mereka bisa dikatakan sebagai komunitas, bukan masyarakat (Tönnies), sehingga eksploitasi alam yang terjadi untuk pemenuhan kebutuhan hidup maupun teknologis tidak sempat mengganggu ekosistem secara berarti (Luhmann [1986]: 71).
Secara kualitatif, Masyarakat Adat juga jauh lebih homogen ketimbang masyarakat modern yang mensyaratkan pluralisme (Habermas 2009: 147). Hal ini menyebabkan reproduksi praktik kebudayaan apapun—dalam ritual, kebiasaan, norma, dan seterusnya—juga memudahkan berlangsungnya pelestarian lingkungan.
Permasalahan Masyarakat Modern dalam Melestarikan Lingkungan
Seperti sudah tertulis di atas, masyarakat modern berbeda secara struktural dari bentuk masyarakat sebelumnya akibat apa yang disebut Max Weber sebagai proses “rasionalisasi”. Proses ini ditandai pertama-tama dengan proses “Entzauberung der Welt” (istilah bahasa Inggris: disenchantment of the world) atau pemisahan kandungan magis dari struktur rasional tindakan-tindakan individu maupun kemasyarakatan (Seiwert 1995: 93).
Dalam konteks kasus Jakarta tenggelam, ketika masyarakat Jakarta (juga seluruh Indonesia) memutuskan untuk menggali sumur, mereka tidak melakukan itu untuk tujuan ritualistik atau menghindari tabu tertentu, melainkan untuk tujuan rasional (tipe tindakan zweckrationales Handeln), yakni pemenuhan kebutuhan air minum sehari-hari. Apa yang kita lakukan menjadi terisolasi secara rasional dan tidak lagi merupakan bagian dari sistem kepercayaan, tabu, maupun ritual tertentu yang menyeluruh (Ibid.: 94). [2]
Selain itu, prekondisi pluralisme masyarakat modern juga mensyaratkan sebuah pembentukan norma dan hukum yang terkodifikasi secara sekuler dan netral secara pandangan dunia (weltanschaulich neutral) ke dalam kalimat-kalimat peraturan yang rasional, misalnya dalam UU atau peraturan-peraturan lainya (Habermas 2009: 137). Hal-hal normatif yang berasal dari kepercayaan-kepercayaan tertentu tidak direproduksi secara intensif lagi, seperti dalam kasus Masyarakat Adat, melainkan diprivatisasi, sehingga pengaruh kearifan lokal jelas menurun drastis (Seiwert 1995: 94).
Dalam konteks Jakarta yang merupakan kota megapolitan, dengan populasi puluhan juta jiwa karena urbanisasi ekstrem selama 70 tahun terakhir, tak ada lagi kearifan lokal yang masih aktif dipraktikkan sejak Masyarakat Adat yang dari dulu tinggal di Jakarta, mengingat Jakarta sudah menjadi kota pelabuhan kosmopolitan sejak ratusan tahun lalu, menjadi tempat berbagai budaya tinggal dan lebur—dari video Vox kita tahu paling tidak ada kampung orang Jawa, Banda, Arab, India, dst. Kedatangan Belanda dengan rancangan tata kota rasional Renaisans ala Amsterdam jelas merupakan simbol bercokolnya rasionalisme Eropa ke tanah Banten, dan perlahan Nusantara.
Diferensiasi Fungsional Menghambat Aksi Terkoordinasi
Kembali ke poin rasionalisasi, akan mendetail bila kita mengelaborasinya melalui istilah “kompleksitas” dalam kaitannya dengan “diferensiasi fungsional”, yang digarap secara superteoretis—dengan sistematik dan menjangkau hampir seluruh bidang keilmuan yang lain—oleh Niklas Luhmann. Banyaknya permasalahan dalam masyarakat modern dan banyaknya pendalaman yang harus dilakukan untuk menelaah dan memberi solusi untuk masalah-masalah tersebut membuat sistem masyarakat modern semakin kompleks (Luhmann 2018: 41). [3] Kompleks berarti tidak sederhana; tidak sederhana berarti membutuhkan peningkatan kemampuan kognitif untuk menelaahnya. Oleh karena itu, masyarakat modern secara evolusioner mengalami diferensiasi fungsi-fungsi yang ditempatkan pada subsistem-subsistem masyarakat, seperti politik, hukum, ekonomi, sains, agama, media massa, pendidikan, keluarga, dst. (Ibid.: 798). Sebab, tak seperti Masyarakat Adat yang memiliki sentralisasi pengaturan pengetahuan dan tindakan dalam ritual dan kepercayaan, masyarakat modern mengalami desentralisasi sumber kebenaran dan instruksi tingkah laku ke dalam subsistem-subsistem masyarakat yang ada.
Dari sisi diferensiasi, yang terjadi bukan hanya stratifikasi vertikal yang hierarkis (Schichtung)—yang menciptakan kelas-kelas sosial—melainkan juga horizontal, dalam arti desentral, yang elemen-elemen terdiferensiasi secara fungsionalnya lebih independen dari satu sama lain ketimbang dalam struktur stratifikasi (Luhmann 2017). Armin Nassehi [4] mencoba menjelaskannya dengan membawa istilah dari dunia komputer, yakni “distributed intelligence” (verteilte Intelligenz). Seperti halnya komputer yang tak memiliki perangkat sentral dapat menyetir seluruh perangkat dengan perangkat lunak dan kerasnya, masyarakat modern terdiri juga dari aktor-aktor kemasyarakatan yang memiliki tujuan fungsional untuk memenuhi fungsi tertentu (Nassehi 2019: 238).
Dalam konteks Jakarta tenggelam, akibatnya adalah tidak adanya koordinasi menyeluruh dan selaras yang menggerakkan aktor-aktor masyarakat Jakarta modern untuk menyelesaikan masalah penurunan tanah tersebut. Subsistem sains, yang diwakilkan oleh Dr. Dewi pada video Vox tersebut, jelas-jelas memenuhi tujuannya dengan meneliti penurunan tanah, konteks historisnya, dan barangkali saran praktis tentang kebijakan apa yang harus diambil pemerintah, yakni menyelesaikan masalah kurangnya suplai air bersih. Namun, ia tidak berwenang untuk menerapkan apa yang ia teliti, sebab ia bukan pembuat kebijakan yang berumah di subsistem politik.
Subsistem keluarga, atau subsistem pribadi individual, tentu terpecah menjadi dua kubu: pertama, mereka yang tidak (atau belum) terdampak oleh penurunan tanah, sehingga mereka berfokus pada pemenuhan kebutuhan hidup ataupun proyek personal mereka, kedua, mereka yang terpengaruh langsung oleh penurunan tanah (yang pada video Vox diwakilkan oleh salah satunya Pak Nondho), sehingga kegiatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan proyek personal mereka terganggu. [5]
Subsistem politik, dengan mekanisme utama pemilu demokratis, mementingkan elektabilitas yang akan terancam bila para aktor politiknya berkoar-koar mengenai penurunan tanah yang mereka sendiri tidak urusi selama puluhan tahun, sekaligus takut bahwa informasi mengenai penurunan tanah akan menimbulkan kepanikan sosial dan disrupsi-disrupsi lain dalam proses produksi kebijakan publik yang tadinya tidak mementingkan Jakarta tenggelam.
Subsistem ekonomi juga terbelah secara pengetahuan: mereka yang tahu bahwa tanah tempat kantornya berdiri akan tenggelam barangkali akan mulai panik dan mendesak pembuat kebijakan untuk segera menyelesaikan permasalahan tersebut, tetapi mereka yang tidak tahu (atau tidak peduli) akan tetap berkegiatan ekonomi seperti biasa. [6] Luhmann menyebut ini sebagai “ketidakmungkinan akan sentralisasi kompetensi ekologis” dan menganggapnya sebagai “kelemahan struktur masyarakat modern” (Luhmann 1998: 805). [7]
Epistemologi dalam Masyarakat Risiko
Sambil melanjutkan diskursus diferensiasi fungsional dengan metodologi sistem, kita juga harus melihat masalah ini melalui metodologi individualisme dengan melibatkan pemikiran Ulrich Beck dalam konsepnya mengenai Masyarakat Risiko (Risikogesellschaft). Sebab, permasalahan tahu dan tidak tahu secara individual menjadi amat sentral.
Ketika mayoritas masyarakat Jakarta memilih untuk menggali sumur ketimbang mengakses air PAM, tentu masyarakat awam tak sampai mempertimbangkan dampak ekologis kolektif negatif yang muncul akibat keputusan mereka. Barangkali, mereka memutuskan hal itu juga karena tak ada pilihan lain, sebab pipa-pipa air bersih dari negara belum juga menjamah mayoritas masyarakat. Maka, dengan menggunakan istilah “risiko”, kita dapat mengatakan bahwa masyarakat awam tidak tahu mengenai risiko dari tindakan rasional mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari di kota modern Jakarta.
Mengapa? Sebab pengetahuan mengenai risiko ekologis dalam infrastruktur masyarakat modern “dimonopoli” (Wissensmonopol), atau hanya mungkin diproduksi oleh subsistem sains (Beck 1986: 36), melalui observasi tingkat dua dengan metode saintifik. Risiko ekologis tak dapat ditangkap oleh pengamatan mata secara langsung, atau observasi tingkat satu, [8] sampai risiko berubah menjadi ancaman nyata bencana ekologis, sebab “kesadaran akan risiko” pada masyarakat modern merupakan “kesadaran tersaintifikasi” (Ibid.: 37). (Untuk menghubungkannya kembali dengan topik Masyarakat Adat, pengetahuan mengenai risiko ekologis tidak lagi dikodifikasi dalam atau tercabut dari hukum moral yang tadinya mewujud pada semantika sakral, ritual, dan kepercayaan.)
Dengan kata lain: hanya mereka, masyarakat awam yang memiliki pengetahuan saintifik yang diproduksi oleh subsistem sains-lah yang akan mampu prihatin dengan masalah ini. Juga, kalau kita masukkan elemen temporal untuk melengkapi analisis ini, kita dapat mengatakan bahwa “pusat dari kesadaran saintifik terletak tidak pada masa kini, melainkan pada masa depan” (Ibid.: 44) dalam upaya preventif.
Menurut Beck, peliknya masyarakat modern tidak berhenti pada kompleksitas akibat diferensiasi fungsional, tetapi juga pada “risiko modernisasi” yang “ikut terproduksi” akibat kondisi dan metabolisme masyarakat modern itu sendiri, seperti peningkatan populasi, cara produksi industrial, dan organisasi rasional fungsional masyarakat (Ibid.: 25). Salah satunya, tentunya, adalah tata kota modern. Masyarakat modern merupakan masyarakat dengan “normalisasi risiko yang ikut terproduksi” dan “efek samping laten”-nya (Ibid.: 26). Namun, lagi-lagi masalahnya adalah risiko modernisasi tersebut tidak kasat mata dalam observasi tingkat satu yang sehari-hari dilakukan oleh masyarakat awam (laypeople).
Niklas Luhmann mencoba memahami persoalan ketidaktahuan (Nichtwissen) tersebut dengan menjadikannya sebagai bagian dari “bentuk budaya” (Kulturform) yang integral dalam masyarakat modern (Luhmann 1998: 411). [9] Di sini, batas seorang individu mengemuka di hadapan kompleksitas (permasalahan) masyarakat. Batas itu kemudian berujung pada permasalahan yang lebih pelik, yakni hilangnya subjek akibat sulitnya menghubungkan permasalahan ini dengan konsep “tanggung jawab”.
Pada kasus Jakarta tenggelam, masyarakat awam Jakarta menggali sumur tanpa ada maksud buruk, yang ternyata lebih tepat dikatakan sebagai “tanpa tahu dampak buruk dari tindakan tersebut”. Seperti kata Beck, “seseorang bertindak, katakanlah, dalam absensi diri” (Beck 1986: 44). Namun, Beck tidak menyatakan itu sebagai kritik untuk seluruh masyarakat awam yang tidak memiliki kesadaran saintifik, melainkan kritik untuk bentuk sistem dan fungsi yang menjadi struktur masyarakat modern (Ibid.: 43). Maksudnya, sebagai individu, masyarakat awam Jakarta sulit untuk disalahkan, sebab kesalahan terletak pada rangkaian mekanisme (non-individual) subsistem politik yang tak segera bergerak menanggulangi permasalahan Jakarta tenggelam. [10]
Opini Publik sebagai Kunci
Jalan keluar satu-satunya dalam kasus Jakarta tenggelam dan serupanya ialah mengomunikasikan produk subsistem saintifik yang memetakan risiko dan merumuskan solusi untuk permasalahan kompleks tersebut pada masyarakat awam—yang pada akhirnya melalui subsistem politik akan menyelesaikan permasalahan ekologis tersebut. Dengan kata lain: menghubungkan “rasionalitas saintifik” dengan “rasionalitas sosial”, sebab “rasionalitas saintifik tanpa sosial adalah kosong, dan rasionalitas sosial tanpa saintifik tinggal buta” (Ibid.: 40).
Karena, pada dasarnya, lingkungan hidup tak dapat berteriak secara verbal, ia tak dapat berkomunikasi secara langsung dengan sistem masyarakat, dengan kita. Lingkungan hidup hanya menunjukkan reaksi alamiahnya, seperti tanah yang menurun, banjir, air laut yang menggenangi rumah-rumah penduduk, dst.. Manusialah yang menangkap fenomena itu sebagai bencana dan mengomunikasikannya kepada sesama (Luhmann [1986]: 64).
Media satu-satunya tentu saja ialah “opini publik” (öffentliche Meinung), “ruang” tempat komunikasi antarsubsistem masyarakat dalam sistem masyarakat dapat berlangsung (Luhmann 1998: 1098). Opini publik dapat diisi dengan narasi yang meningkatkan perhatian terhadap Jakarta tenggelam melalui banyak cara dan oleh banyak aktor: subsistem seni dengan mural atau karya seni kritisnya, subsistem media massa dengan kemampuannya “menerjemahkan” (Habermas [1968]), atau mengencerkan, informasi saintifik mengenai penurunan tanah dan bencana ekologi lainya sehingga mudah dipahami oleh masyarakat awam—seperti video Vox yang mudah dipahami dan disajikan dengan visual yang menarik, subsistem gerakan protes dengan menguasai ruang publik, baik infrastruktural maupun maya, dengan presensi para aktivis dan pesan-pesan berkekuatan semantika yang dapat menimbulkan percepatan perubahan mental (Luhmann 1998: 853). Sebaliknya, secara halus, subsistem pendidikan dapat melakukan protes dengan mengajarkan konsep ekologi dan masyarakat modern sedari dini (Ibid.: 784). [11]
Dengan demikian, sampailah pesan darurat krisis ekologi ke dalam kalbu masyarakat awam secara perlahan-lahan akibat perubahan mental yang terjadi. Perubahan mental dalam masyarakat awam akan memengaruhi secara langsung subsistem politik sebagai satu-satunya subsistem yang “memiliki tuntutan representasi [seluruh anggota masyarakat] secara menyeluruh” (Baecker 2015). Perubahan mental dalam masyarakat juga akan meningkatkan intensitas subsistem gerakan protes, sebab gerakan protes yang menyampaikan aspirasi untuk segera menanggulangi masalah Jakarta tenggelam mendapatkan dukungan dari mayoritas masyarakat (Luhmann [1986]: 65-66). Kemudian, pada akhirnya subsistem politik harus memutuskan kebijakan publik untuk menanggulangi masalah Jakarta tenggelam secepat mungkin, sebab, kalau dibiarkan, jelas akan menimbulkan kepanikan sosial dan instabilitas masyarakat atau benar-benar menjadi bencana ekologi yang menghancurkan sistem masyarakat Jakarta itu sendiri.
Catatan
Seluruh teks berbahasa asing selain dari bahasa Inggris diterjemahkan sendiri oleh penulis.
[1] Salah satu sosiolog Jerman paling termasyur, seangkatan dengan Jürgen Habermas, Shmuel Eisenstadt, dll.
[2] Bukan berarti dalam Masyarakat Adat tidak ada tindakan rasional, namun tindakan rasional yang dilakukan oleh subjek-subjek Masyarakat Adat dikodifikasi secara religius, tidak murni rasional seperti pada subjek-subjek masyarakat modern.
[3] Untuk menyebut sedikit: tatakota, sanitasi, demokrasi, kriminalitas, pendidikan, dst.
[4] Murid dari Niklas Luhmann, salah satu sosiolog Jerman paling penting masa kini.
[5] Seperti kata Niklas Luhmann, interaksi antarsubsistem terjadi ketika muncul “iritasi” di antaranya.
[6] Bisa dibandingkan dengan analisis serupa oleh Nassehi dalam Moral im System (2015)
[7] Luhmann: “Die Nichtzentralisierbarkeit ökologischer Kompetenzen mag als eine Strukturschwäche der modernen Gesellschaft angesehen werden.” Namun, pernyataan ini jangan disalahartikan sebagai tiap subsistem masyarakat seperti buta dan hidup dalam kapsul epistemologinya masing-masing. Sebab, di bag. VI akan ditunjukan sebaliknya.
[8] First-order observation dan second-order observation. Pada tingkat satu: aku melihat apel, tingkat dua: aku memikirkan aku yang melihat apel.
[9] Dalam kaitanya dengan perkembangan evolusi media, yang tak akan dibahas pada tulisan ini.
[10] Tak mungkin masyarakat Jakarta yang sudah sadar sekalipun akan masalah tenggelamnya kota mereka akan berswadaya membangun pipa. Permasalahan infrastruktur utama, seperti sanitasi, kota modern merupakan permasalahan struktural yang sifatnya top-down.
[11] Harus diakui tulisan ini belum melibatkan analisis masyarakat jejaring (network society) yang juga, pada perkembangan sistem teori pasca-Luhmann oleh Baecker dan Harrison, diinkorporasi ke dalam teori diferensiasi fungsional masyarakat sebagai sebuah subsistem, namun dengan banyak pengecualian. Contoh jejaring sosial: grup WhatsApp yang juga mengedarkan banyak sekali informasi untuk para penggunanya, yang ramai di masa pilkada maupun masa “krisis” lainya.
Pustaka
Baecker, Dirk (2015). “Thesen zum Wandel politischer Grundverständnisse”. Dalam kuliah umum “Formate des Politischen” pada Konferenz für Journalisten, Politiker & Bürger di Haus der BPK, tanggal 27.11.2015. Diakses 23.10.2020, https://youtube.com/watch?v=Cl4etPAlc0Q
Beck, Ulrich (2015) [1986]. “Die Risiko Gesellschaft: auf dem Weg in eine andere Moderne”. Frankfurt am Main: Suhrkamp.
Habermas, Jürgen (2015) [1968]. “Technik und Wissenschaft als ‘Ideologie’“. Frankfurt am Main: Suhrkamp Edition.
Habermas, Jürgen (2009). “Zwischen Naturalismus und Religion. Philosophische Aufsätze”. Frankfurt am Main: Suhrkamp.
Luhman, Niklas [1960-an] (2018). “Systemtheorie der Gesellschaft”. Frankfurt am Main: Suhrkamp.
Luhmann, Niklas [1986] (2004). “Ökologische Kommunikation. Kann die moderne Gesellschaft sich auf ökologische Gefährdungen einstellen?”. Wiesbaden: Springer.
Luhmann, Niklas (1998). “Die Gesellschaft der Gesellschaft”. Frankfurt am Main: Suhrkamp.
Luhmann, Niklas (2017). “Zur Innendifferenzierung des Gesellschaftssystems: Schichtung und funktionale Differenzierung”. Dalam Soziale Welt, vol. 68, hal. 5-23.
Nassehi, Armin (2015). “Moral im System. Die Minimalmoral von Kommunikation.”
Nassehi, Armin (2019). “Muster. Theorie der Digitalen Gesellschaft.” München: C.H. Beck
Seiwert, Hubert (1995). “Religion in der Geschichte der Moderne”. Dalam Zeitschrift für Religionswissenschaft 95/1, hal. 91-101.
New York Times (2017). “Jakarta Is Sinking So Fast, It Could End Up Underwater”. Diakses 8.3.2021, https://www.nytimes.com/interactive/2017/12/21/world/asia/jakarta-sinking-climate.html?searchResultPosition=2Vox (2021).
Vox (2021). “Why Jakarta is Sinking”. Diakses 5.3.2021, https://youtube.com/watch?v=Z9cJQN6lw3w