Categories
101

Tan Malaka dan Cita-Cita Merdeka 100%

Makna merdeka 100% bagi Tan, bukanlah semata-mata terbebas dari penjajah (tangible) melainkan besarnya golongan orang dalam negara yang mempunyai hak lahir dan batin itu. Hak atas keperluan hidup, seperti makanan, pakaian, perumahan, gaji, dan sebagainya. Sementara hak batin berhubungan dengan hak asasi manusia.

Saat berkunjung ke Bayah Banten di tahun 1942, Soekarno dibuat berang oleh pertanyaan kemerdekaan dari salah satu pekerja romusha.

“Kalau saya tiada salah bahwa kemenangan terakhir akan menjamin kemerdekaan Indonesia. Artinya itu kemenangan terakhir dahulu dan di belakangnya baru kemerdekaan Indonesia? Apakah tiada lebih cepat bahwa kemerdekaan Indonesia-lah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir,” tanya pria bertopi mandor yang diketahui bernama Ilyas Hussein.

“Buktikanlah jasa kita lebih dahulu! Berhubung dengan banyaknya jasa kita itulah kelak Dai Nippon akan memberikan kemerdekaan kepada kita,” balas Soekarno.

Tak puas dengan pertanyaan Soekarno, Iliyas Husen membalas, “Semangat untuk membela naik dengan adanya hak nyata yang sudah ada di tangan. Dengan ditetapkannya hari kemerdekaan Indonesia maka rakyat Indonesia akan berjuang mati-matian untuk membela dan mempertahankannya.”

Mendengar pernyataan tersebut, Soekarno dengan geram berdiri dan berbicara lantang, dengan masih pada pendirian yang sama.

“Kalau Dai Nippon sekarang juga memberikan kemerdekaan kepada saya, maka saya tiada akan terima,” balas Soekarno.

Adegan perdebatan antara Ilyas Hussein dan Soekarno ini terekam dalam buku Harry A. Poeze, penulis paling otoritatif tentang Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, terbitan Grafiti Pers. Dalam bukunya, Harry menyebutkan bahwa Ilyas Hussein adalah Tan Malaka. Pejuang yang selama ini menghilang dikejar-kejar oleh tak hanya dinas intelijen Hindia Belanda (PID) atau Kempeitai Jepang, tapi juga oleh semua aparat penjajah termasuk Inggris dan Amerika.

Pemenuhan Hak Lahir Batin

Tan Malaka sendiri lahir di Nagari Padam Gadang, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897 dengan nama asli Sutan Ibrahim. Semasa hidupnya Tan menghabiskan waktunya selama 20 tahun dalam pelarian. Berpindah dari satu negara ke negara lain, semakin membuka pikiran Tan akan kebrutalan penjajah dan arti kemerdekaan sesungguhnya.

Dalam bukunya Merdeka 100%, Tan menyebutkan bahwa kemerdekaan itu setidaknya memiliki isi kedaulatan. Lantas apa itu kedaulatan? Menurut Tan, kedaulatan adalah kekuasaan untuk memenuhi hak lahir dan batin dari seseorang atau golongan orang dalam masyarakat.

Hak lahir ialah hak atas keperluan hidup, seperti makanan, pakaian, perumahan, gaji, dan sebagainya. Sementara, hak batin ialah hak untuk merdeka berkumpul, berbicara, menulis, serta hak melindungi harta, kemerdekaan, dan jiwa, yang di zaman Revolusi Perancis dinamai “hak manusia”.

Selama suatu pemerintahan belum memenuhi hak lahir dan batin dari individu ataupun masyarakat maka sebetulnya itu adalah kemerdekaan yang semu.

Bila diperhatikan, Indonesia hari-hari ini berada dalam kemerdekaan semu. Pembubaran ormas terjadi di sana-sini, diskusi ilmiah di lingkungan universitas dibubarkan bahkan postingan status di sosial media pun bisa dipidana dengan menggunakan pedang UU ITE. Sungguh tragis, Indonesiaku hari-hari ini.

Makna merdeka 100% bagi Tan, bukanlah semata-mata terbebas dari penjajah (tangible) melainkan besarnya golongan orang dalam negara yang mempunyai hak lahir dan batin itu.

Anti Perjuangan Diplomasi

Soal urusan politik luar negeri pun, Tan terbilang sangat keras. Di kala Soekarno dan Hatta masih bernegosiasi dan berjuang secara diplomatis dengan Belanda, ia memilih menolak itu.

Onghokham dalam Rakyat dan Negara menjelaskan, perjuangan secara diplomasi selalu ditentang oleh Tan karena dirinya tak mempercayai Belanda yang selalu mengingkari kesepakatan yang telah dibuat pada perundingan tersebut.

Sikap anti diplomasi ini ditunjukkan Tan pada saat kongres yang berlangsung di Purwakarta dan dihadiri sekitar 300 orang dari pengurus partai, badan-badan perjuangan, dan perkumpulan pemuda. Tan sebagai pembicara utama saat itu mendapat giliran bicara di hari kedua, 5 Januari 1946. Ia pun menyoroti isu kemerdekaan penuh atau 100% merdeka yang harus diraih oleh Indonesia.

“Kita tidak suka berunding dengan siapa saja sebelum kemerdekaan tercapai 100% dan sebelum musuh meninggalkan pantai dan lautan kita dengan beres. Jangan kira kalau rakyat tidak mengerti diplomasi. Kita tidak suka berunding selama musuh masih dalam negeri kita. Selama masih ada 1 kapal musuh, kita harus terus berontak,” ujar Tan Malaka, seperti dikutip dari historia.id.

Hasil dari kongres tersebut dibentuklah volksfront (front rakyat) pada 16 Januari 1946 dengan nama resmi Persatuan Perjuangan. Persatuan Perjuangan inilah yang menjadi oposisi pertama sejak Indonesia merdeka. Bahkan Jendral Soedirman pun mendukung kemerdekaan 100% ala Tan Malaka dan kelompoknya.

Posisi Tan yang oposan ini nampaknya harus dibayar dengan mendekam di penjara. Tepatnya Maret 1946, Tan dimasukkan ke penjara selama kurang lebih 3 tahun 6 bulan oleh bangsanya sendiri.

Murba dan Ajakan Grilya

Adam Malik dalam bukunya Mengabdi Rebublik: Volume 2 (1978) menyebutkan, Tan Malaka bebas tepat pada tanggal 16 September 1948. Kini saatnya ia bergerak, berjuang dengan prinsip yang diyakininya, yakni terus melawan, bergerilya, anti-diplomasi, demi kemerdekaan seutuhnya bagi rakyat Indonesia.

Belum genap tiga bulan menghirup udara segar, pada 7 November 1948, Tan mendeklarasikan Partai Murba sebagai kendaraan barunya dan kawan-kawan untuk menentang kebijakan diplomasi yang terus-menerus dilakukan pemerintahan Sukarno-Hatta dengan Belanda.

Tatkala Sukarno, Hatta, dan para pemimpin RI lainnya ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa, juga telah jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda, tiba saatnya bagi Tan Malaka untuk unjuk gigi. Maka, pada 20 Desember 1948, Tan Malaka menyerukan pidato pemerintahan darurat di Kediri yang disiarkan ke segala penjuru melalui Radio Republik Jawa Timur.

“Dari sini, saya menyerukan pada seluruh rakyat di Indonesia, khususnya yang ada di daerah-daerah pendudukan, untuk melancarkan perlawanan gerilya, bebas dari perintah dan pengaruh kolonial, serta terlepas dari diplomasi perundingan,” kata Tan Malaka berpidato.

“Rebut kembali setiap jengkal tanah yang telah diduduki musuh, dan usirlah ia sampai laut dan kembalikan ke negeri asalnya… Tolak semua perintah gencatan senjata, dari siapapun datangnya, sebelum Belanda meninggalkan Indonesia!” serunya.

Berkali-kali Tan Malaka menegaskan rakyat Indonesia harus kembali kepada semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan demikian, pidato Tan Malaka—yang menjadi landasan berdirinya pemerintahan darurat di Kediri—bukan untuk menggantikan proklamasi yang tiga tahun lalu dinyatakan oleh Sukarno-Hatta.

“Sudah tiga tahun perjuangan berjalan. Tapi politik diplomasi telah mengembalikan perjuangan kita pada taraf awal revolusi kita. Apakah kita akan berjuang dengan semua yang ada pada kita, ataukah akan kita biarkan Belanda mengatur nasib kita?” tukas Tan Malaka.

“Jika kita masih tetap percaya pada proklamasi (17 Agustus 1945), dan tidak akan melakukan pengkhianatan terhadap para pahlawan, yang telah mempertahankannya dengan memberikan hidup mereka, maka seharusnya kita kembali kepada semangat proklamasi, pada bambu runcing.” Tan Malaka menutup pidatonya dengan seruan yang amat heroik.

“Satu menit pun kedaulatan rakyat Indonesia tidak boleh ditunda-tunda, dan kebulatan kemerdekaan kita tidak boleh dikurangi. Sekali merdeka, tetap merdeka!”

Alih-alih mengatakan pidato proklamasi yang disampaikan Tan Malaka pada saat itu adalah pengkhianatan terhadap Indonesia dan menentang RI di Bukit Tinggi, Harry Poeze justru punya pendapat berbeda.

Dinukil dari Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid 4, Harry menjelaskan bahwa pidato yang disampaikan oleh Tan di Kediri merupakan bagian dari rencana pemerintahan Soekarno saat itu. Sebuah laporan intelijen dari Jawa Timur yang diterima pada bulan Maret 1949, kata Harry, menyajikan teori komplotan yang rumit (hal. 158).

Namun, hingga situasi Indonesia kembali normal dan Soekarno-Hatta dibebaskan, upaya perjuangan Tan dipandang separatis. Belum lagi adanya pemberontakan di Madiun semakin mengabsahkan posisi Tan sebagai pembelot.

Alhasil, tepat 21 Februari 1949 ia akhirnya ditembak mati oleh tentara republik. Perjuangan gerilyanya dari pelosok ke pelosok memperjuangkan kemerdekaan 100% harus pupus di tangan bangsanya sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *