Categories
101

Utopia dan Heterotopia: “Ruang-Ruang Lain” Menurut Michel Foucault

Michel Foucault merupakan salah seorang filsuf dan sosiolog yang memberikan konsepsi terhadap perspektif pascamodern. Dalam bukunya yang berjudul “Of Other Space” (judul asli: “Des Espace Autres”), intelektual asal Prancis ini membicarakan ruang dan konteks virtualitasnya. Tulisan yang ia tulis di tahun 1967 ini mengulas pemikiran tentang konsep utopia dan heterotopia dalam membahas persoalan tentang ruang dan virtualitas yang menjadi bagian dari fenomena spasial dalam peradaban manusia masa kini.

Michel Foucault merupakan salah seorang filsuf dan sosiolog yang memberikan konsepsi terhadap perspektif pascamodern. Dalam bukunya yang berjudul “Of Other Space” (judul asli: “Des Espace Autres”), intelektual asal Prancis ini membicarakan ruang dan konteks virtualitasnya. Tulisan yang ia tulis di tahun 1967 ini mengulas pemikiran tentang konsep utopia dan heterotopia dalam membahas persoalan tentang ruang dan virtualitas yang menjadi bagian dari fenomena spasial dalam peradaban manusia masa kini.

Dalam konsep Foucault, ruang tidak hanya dapat dikategorikan secara dikotomis antara ruang yang nyata (berwujud, berdimensi, dapat dirasakan secara inderawi) dan ruang tidak nyata, maya atau virtual. Menurutnya, ruang adalah sebuah gabungan atau tempat bersandingnya antara aspek yang nyata dan yang tak nyata itu sendiri. Implementasi dari hal tersebut menghasilkan apa yang disebut sebagai ruang-ruang liyan yang hadir mengiringi dari ruang-ruang yang telah ada. Ruang liyan ini adalah ruang yang dianggap ada namun sebenarnya tidak ada. Foucault menyebutnya sebagai “site” atau situs.

Menurutnya, persepsi dan cakrawala pengetahuan manusia terhadap bentukan ruang yang nyata bukanlah semata hadir dari sebuah inovasi, melainkan produk dari historisitas. Dalam peradaban Barat, ruang dikonstruksi secara dikotomis berdasarkan titik potongnya dengan waktu, sehingga menciptakan terminologi “ruang dan waktu”. Secara historis pula peradaban Barat sejak Abad Pertengahan telah menyusun hierarki ruang sedemikian rupa: ruang sakral (tempat ibadah) dan ruang profan (pasar dan kedai minum), ruang publik (alun-alun kota) dengan ruang privat (istana raja), desa dan kota, hingga surga dengan neraka. Contoh-contoh di atas merupakan hierarki, oposisi, hubungan dari berbagai tempat yang terkonstitusi sehingga dapat dikatakan bahwa ruang abad pertengahan merupakan  sebuah ruang berkedudukan.

Lebih lanjut adalah bagaimana peradaban membangun sistem penanda, klasifikasi, dan kategorisasi dari tempat dan situs yang ditempati manusia. Sebaliknya, peradaban juga menandai dan memberikan makna bagi manusia dalam kaitannya dengan situs yang ditempatinya. Pada akhirnya, upaya kontrol manusia terhadap ruang menciptakan tatanan konsep yang kemudian dimaknai sebagai geografi. Meskipun geografi membahas konteks ruang spasial yang nyata, dalam ranah ilmu pengetahuan geografi lebih menghadirkan ruang secara virtual dalam bentuk abstraksi.

Utopia

Setelah memahami pemikiran Foucault seperti penjabaran di atas, barulah konsep “utopia” dapat dipahami. Foucault menggunakan analogi cermin untuk konsepnya tentang utopia.

Saat kita bercermin, kita akan melihat gambaran diri kita yang tepat sama, hanya bersifat kebalikan: kanan jadi kiri dan sebaliknya.  Secara spasio-temporal, bayangan kita di cermin juga bergerak secara sinkron tanpa jadi lebih lambat ataupun lebih cepat. Di dalam cermin kita hanya dapat melihat gambaran virtual dari diri kita, akan tetapi kita justru menggunakan gambaran virtual tersebut untuk mengetahui kondisi realitas diri kita. Gambaran virtual yang terdapat di dalam cermin juga mempengaruhi persepsi bawah sadar setiap orang, ada yang tersenyum puas namun ada juga yang cemberut kecewa mendapati gambaran dirinya di cermin tersebut. Ilusi tentang realitas baru yang runtuh ke dalam alam bawah sadar inilah yang disebut Foucault sebagai utopia.

Situs utopia menurut Foucault adalah situs tanpa tempat dan lokasi geografis yang nyata, namun memiliki relasi langsung yang terkadang juga berkebalikan dengan ruang-ruang lain dalam masyarakat. Situs utopia merupakan konsep ruang itu sendiri yang merepresentasikan pemahaman manusia terhadap ruang. Setiap orang memiliki persepsi dan ilusi tersendiri terhadap sebuah situs atau lokasi yang nyata.

Heterotopia

Bagaimana cara mengetahui situs utopia? Yaitu dengan cara menemukan situs heterotopianya. Heterotopia adalah locus atau lokasi yang memungkinkan sebuah utopia terjadi. Seperti analogi cermin di atas, jika utopia adalah gambaran virtual beserta ilusi diri kita di dalam cermin, maka cermin itu sendiri adalah heterotopia. Jadi heterotopia dapat diartikan sebagai bentukan fisik yang nyata dan menjembatani sebuah utopia dapat terjadi.

Heterotopia merupakan sebuah konsep yang merujuk pada situasi dan tempat di mana berbagai utopia secara simultan termanifestasi ke dalam berbagai wujud representasi, kontestasi, dan beberapa pemutarbalikkan. Heterotopia berada di luar segala tempat yang ada sehingga seolah-olah menjadi tidak nyata, padahal keberadaannya dalam kenyataan sehari-hari dapat dengan mudah ditunjukkan. Foucault menawarkan enam konsep agar kita dapat memahami gejala heterotopia, yang disebut “heterotopologi”. Keenam konsep tersebut antara lain:

  • Heterotopologi Pertama

Konsep ini menyebutkan bahwa bentuk dari ruang heterotopia tidak ada yang universal atau tetap. Bentuk ruang heterotopia sangat bervariasi, berbeda-beda, dan dapat berubah sesuai budaya dan norma yang berlaku di masyarakat. Dalam masyarakat primitif, terdapat ruang atau tempat “istimewa” atau juga sakral yang ditujukan untuk orang-orang yang dalam kondisi krisis – seperti remaja yang sedang akil balig, perempuan yang sedang menstruasi, hingga kalangan lansia – guna memisahkannya secara sementara dari lingkungan sosial.

Konsep heterotopia krisis mulai menghilang digantikan oleh heterotopia penyimpangan (heterotopia of deviance) yang digunakan untuk memisahkan orang-orang yang dianggap menyimpang. Contoh heterotopia penyimpangan tersebut adalah penjara dan rumah sakit jiwa.

  • Heterotopologi Kedua

Ruang heterotopia sangat bergantung pada perubahan dalam kurun waktu tertentu, sehingga ruang heterotopia memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda menurut masyarakat sesuai konteks waktunya. Seperti contoh sebuah pemakaman karena bagaimanapun juga setiap anggota masyarakat baik individu maupun institusi keluarga memiliki hubungan terhadap makam. Hingga abad ke-18 di peradaban barat, pemakaman selalu terletak di pusat kota berdampingan dengan gereja. Namun sejak abad ke-19, muncul pemikiran bahwa orang yang mati akan membawa penyakit terhadap yang hidup, maka lokasi pemakaman dipindah ke area luar atau pinggiran kota. Area pusat kota hanya diisi oleh aktivitas orang yang hidup dan area pemakaman dianggap sebagai ruang liyan yang kelam bahkan menyeramkan.

  • Heterotopologi Ketiga

Konsep ketiga menyebutkan bahwa ruang heterotopia mempunyai kemampuan untuk menyandingkan beberapa ruang maya atau tidak nyata dalam satu tempat atau ruang yang nyata. Contohnya pada ruang bioskop, di mana ruang bioskop merupakan sebuah ruang fisik yang nyata namun sekaligus juga menampilkan gambaran ruang maya atau tidak nyata dalam satu layar. Konsep taman Persia juga menunjukkan heterotopia yang sama, di mana sebuah taman yang berisi kumpulan vegetasi tumbuhan dan di tengahnya terdapat air mancur. Konsep tersebut seakan menggambarkan mikrokosmos dunia dalam bentuk potongan kecil sebuah taman.

  • Heterotopologi Keempat

Heterotopia sering kali terhubung dengan potongan-potongan waktu untuk mengonstruksi konsep waktu yang baru. Dengan kata lain ruang heterotopia dapat menghadirkan segala era waktu. Seperti contohnya museum dan perpustakaan yang di dalamnya kita dapat merasakan gambaran utopia terhadap potongan keadaan atau suatu kejadian peristiwa di rentang waktu yang lain. Selain itu contoh heterotopia ini dengan waktu yang lebih singkat dapat dilihat pada festival kebudayaan, parade, pameran, hingga desa wisata.

  • Heterotopologi Kelima

Dalam konsep kelima ini, Foucault menyatakan lebih lanjut bahwa dalam heterotopia terdapat sistem yang menentukan siapa yang dapat masuk ke dalamnya. Penentuan siapa yang dapat masuk tersebut dilakukan melalui proses purifikasi atau aktivitas penyucian diri (baik untuk religi maupun alasan higienitas). Seperti contohnya aktivitas berwudhu bagi orang muslim ketika masuk ke area untuk ibadah (sholat). Contoh lainnya di masyarakat kontemporer adalah sistem pemeriksaan keamanan di pintu masuk mal atau gedung-gedung yang dianggap penting. Upaya menggeledah dan memeriksa isi tas yang dibawa pengunjung dapat dikatakan sebagai upaya purifikasi yang sama.

  • Heterotopologi Keenam

Konsep ini adalah sebuah heterotopia yang berfungsi untuk menghubungkan situs dengan ruang-ruang lain yang ada. Fungsi ini mencakup dua kutub ekstrem yang salah satunya berperan untuk menciptakan ruang ilusi yang mengekspos setiap ruang fisik yang nyata. Heterotopia ini juga berperan untuk menyembunyikan situs lain, dan membuat adanya situs-situs tertentu yang sengaja disembunyikan dari peradaban manusia.

Contoh sederhananya adalah rumah bordil (pelacuran). Dalam sebuah ruang kota, rumah bordil menjadi situs yang disembunyikan karena secara sosial ia diposisikan berada di kutub ekstrem yang berlawanan dengan moral umum. Penyembunyian rumah bordil meninggalkan jejak dengan munculnya kawasan “daerah hitam” dari sebuah ruang kota. Selain itu, untuk menyembunyikan keberadaan “daerah hitam” maka dibangun juga daerah dari kutub yang berlawanan. Foucault mencontohkan daerah komunitas Yesuit yang kental dengan nilai-nilai Kristiani atau juga “Kota Santri” di konteks masyarakat muslim Indonesia.

Referensi:

Foucault, Michel, (1997). Of Other Spaces: Utopias and Heterotopias,Rethinking Architecture: Reader in Cultural Theory. London: Routledge.

By Danang Lukmana

Seorang pembelajar

2 replies on “Utopia dan Heterotopia: “Ruang-Ruang Lain” Menurut Michel Foucault”

Sejalan dengan pemaparan terkait kafe dalam karya-karya Najib Mahfudz tersebut, peneliti berasumsi bahwa mela-lui karya-karyanya, Najib Mahfudz men-coba menciptakan kesadaran bahwa kafe seharusnya bukan sekadar ruang sosial; lebih dari itu, kafe dapat menjadi ruang yang multipel yang dapat dinikmati oleh berbagai kalangan, strata, serta konteks masyarakat. Hal tersebut selaras dengan konsep ruang menurut Michel Foucault 1984 yang mengatakan bahwa pada dasarnya konflik-konflik ideologis terten-tu yang mewarnai perbedaan masa kini, berkaitan dengan ruang dan waktu. Dalam konsep ruang menurut Foucault 1984 , terjadi penjungkirbalik-kan relasi ruang, seperti runtuhnya batas antara jauh-dekat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *