Categories
101

Bagaimana Wanita Menyerap Energi Pria: Mengulik Konsepsi Energi dan Gender Pada Masyarakat Hua

*Penulis menggunakan kata wanita untuk menggambarkan bagaimana kehidupan dan kebebasan perempuan ‘tertata’ dalam kehidupan masyarakat Hua di Papua Nugini.

Seperti halnya Indonesia dengan Suku Bugis yang memiliki lima jenis gender dan masyarakat India dengan konsep hijra atau transgender, masyarakat Hua di Papua Nugini juga memiliki konsepsi gendernya sendiri, berupa kepercayaan terhadap adanya substansi vital atau energi yang ada dalam tubuh manusia dan memisahkan antara energi kehidupan antara perempuan dan lelaki dengan sebutan nu. Menurut studi yang didalami oleh antropologis Anna Meigs pada tahun 1970, masyarakat Hua merupakan masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal, di mana lelaki adalah pengatur garis keturunan. Masyarakat Hua hidup dengan bercocok tanam dan tinggal di lereng Gunung Michael, 40 mil jaraknya dari Distrik Lufa dekat Kota Goroka, Papua Nugini.

Masyarakat Hua menganggap wujud nu dapat berbentuk gas dan cairan, seperti napas, darah, keringat, dan sekresi setelah berhubungan seksual (Peoples, 2014, p. 245). Mereka percaya nu dapat dipindahkan dari satu orang kepada orang lainnya, baik berkurang maupun bertambah, dengan bermacam-macam cara; mulai dari berkontak fisik hingga memakan makanan yang dimasakkan orang lain. Kepercayaan terhadap nu ini membuat adanya ‘pembatasan’ yang diterapkan terhadap perempuan karena masyarakat Hua yakin bahwa perempuan memiliki banyak nu. Mengapa hal ini menjadi masalah? Seakan pupuk untuk menumbuhkan fisik dan psikis masyarakat Hua, nu merupakan simbol dari perkembangan dan kedewasaan. Mereka menganggap bahwa lelaki juga membutuhkan nu untuk beraktivitas di luar rumah, seperti berburu dan bercocok tanam, namun tidak dalam jumlah yang berlebihan. Masyarakat Hua percaya bahwa kadar nu dalam diri perempuan secara natural lebih banyak dibandingkan lelaki, oleh karena itu, perempuan dibebankan tugas untuk mentransfer nu seperti melalui kegiatan menyiapkan makanan untuk lelaki.

Walaupun dapat ditransfer melalui bermacam kegiatan, perpindahan nu mengikuti hubungan yang dimiliki antara orang yang sedang berinteraksi. Menurut Anna Meigs, perpindahan nu secara negatif di mana salah satu pihak memberikan energi yang buruk atau memiliki ketidaksukaan terhadap penerima dapat menghambat perkembangan sang penerima dan bahkan menghambat kesehatan dan stamina, atau disebut keva ro. Sedangkan sebaliknya, apabila pemberi nu memancarkan energi positif melalui interaksi ataupun masakan yang diberikan, maka nu ini akan diterima dengan baik dan menjadi pemicu perkembangan dari segi stamina, fisik, dan kesehatan penerima yang disebut dengan kosi’ (Counihan & Van Esterik, 1997, p. 98).

Menurut Meigs (1984, p. 73), ada dua kategori makanan yang mengandung nu dan memiliki ciri berbeda di antara keduanya. Kategori pertama adalah korogo. Korogo merupakan jenis makanan yang mudah dicerna, berkembang dengan cepat, dan mudah diternakkan. Contohnya adalah sayur-mayur hijau, babi, dan katak. Sedangkan kategori kedua adalah hakeri’a dengan ciri kering, susah dikembangbiakkan, dan susah diternakkan karena tidak subur. Contohnya adalah palem hitam, burung, binatang buas. Walaupun memisahkan makanan dengan dua jenis itu, masyarakat Hua percaya bahwa mereka tetap membutuhkan asupan dari keduanya untuk memaksimalisasi perkembangan tubuh.

Adanya peraturan-peraturan tertentu mengenai makanan yang dapat dan tidak dapat dikonsumsi oleh lelaki Hua turut memperbesar adanya jurang perbedaan antara perempuan dan lelaki dalam masyarakat Hua. Meigs memaparkan (Counihan & Van Esterik, 1997, p. 102), lelaki muda tidak bisa memakan jamur dguripa karena berbentuk seperti payudara perempuan ketika masa menyusui dan tidak boleh memakan jamur apapun yang tumbuh ketika masa a’di kuna atau bulan baru di mana para perempuan akan mengalami siklus menstruasi. Apabila larangan ini dilakukan, maka pertumbuhan lelaki muda Hua akan terhambat. Mereka menganggap bentuk jamur dan apapun yang merepresentasikan kehidupan biologis perempuan sebagai hal yang patut dihindari karena dapat mengontaminasi nu yang dimiliki serta menjijikkan. Selain itu, beberapa kelompok pada masyarakat Hua melarang perempuan untuk menyiapkan makanan ketika sedang menstruasi, karena takut keluarganya secara tidak sengaja terkontaminasi dan tercelakai karena mengonsumsi darah dari perempuan yang mengandung nu dan vitalitas kehidupan. Selain itu, terdapat larangan untuk memakan dan meminum sesuatu yang berwarna merah karena menggambarkan darah menstruasi perempuan.

Tidak hanya dilekatkan pada manusia, masyarakat Hua turut memberikan konsepsi gender kepada tumbuh-tumbuhan. Menurut mereka, tumbuhan yang tumbuh menjulang tinggi seperti tanaman tebu, atau pohon buah-buahan dengan perkembangan yang lambat adalah tumbuhan berjenis kelamin pria karena merepresentasikan kekuatan dan kebermanfaatan yang diberikan. Sedangkan, tumbuhan umbi-umbian atau apapun yang melekat dengan tanah dan berkembang dengan cepat adalah tumbuhan dengan jenis kelamin wanita, karena menggambarkan kedekatan dengan bumi (MacDonald & College, 2000, p. 27).

Semakin besarnya jarak jumlah substansi nu antara seorang lelaki dengan perempuan akan membuat keberadaan sang perempuan semakin mengancam untuknya. Laun, lelaki itu akan terpapar nu dalam jumlah yang banyak, menjadikannya memiliki energi feminin yang berlebih. Bagi masyarakat Hua, paparan ini akan ‘merusak’ citra diri dari lelaki Hua itu sendiri. Dari situlah muncul sebuah konsep gender yang disebut figapa, seseorang lelaki dengan kadar nu yang berlebih, menjadikannya memiliki sifat feminin. Figapa dapat ditemui pada kalangan lelaki berusia lanjut, karena seiring berjalannya waktu, lelaki akan banyak terpapar energi nu dari perempuan baik melalui hubungan badan, kontak fisik, hingga memakan masakan yang disajikan sang perempuan. Sedangkan bagi perempuan lanjut usia dianggap lebih ‘jinak’, karena substansi nu yang dimiliki akan berkurang seiring berjalannya waktu dan diselingi aktivitas yang mengakibatkan berkurangnya nu. Aktivitas ini dapat berupa melahirkan, menstruasi, dan memasak untuk keluarga. Perempuan dengan nu yang sedikit akan disebut kakora. Mereka akan bebas hidup dan beraktivitas dengan lelaki dan laiknya lelaki.

Bagi masyarakat Hua, masing-masing perempuan dan lelaki memiliki porsi dan perannya tersendiri dengan kebebasan yang terikat serta memusatkan kultur mereka pada jenis makanan dan energi nu yang dimiliki. Untuk dapat mencapai anggapan dan pengakuan seperti ‘saya perempuan’, ‘saya lelaki’, ‘saya perempuan yang tidak berbahaya bagi masyarakat’, ‘saya lelaki yang sudah berkembang dengan maksimal’, dan lain sebagainya, diperlukan adanya transfer nu yang seimbang dalam kehidupan masyarakat Hua. Bagi sebagian orang, makanan hanyalah sekadar pengisi energi. Akan tetapi, untuk masyarakat Hua, makanan merupakan dasar dari aturan-aturan yang membentuk konsepsi gender dalam kehidupan bermasyarakat. Selain makanan, bagi masyarakat Hua, antara perempuan dan lelaki tidak hanya berbeda dan dibedakan dari segi biologis, namun juga melalui kadar nu yang dimiliki. 

Apa yang menjadi kepercayaan masyarakat Hua terkait gender, energi manusia, dan sumber energi inilah yang bersejajaran dengan pemikiran Butler (2004, p. 42) bahwa gender adalah mekanisme di mana gagasan tentang maskulinitas dan femininitas diperluas dan menjadi sebuah hal yang natural atau normal. Naturalisasi kedua gagasan inilah yang membuat masyarakat Hua meletakkan peran penting pada makanan sebagai sumber energi yang akhirnya turut menyusun mekanisme tersebut dan menghasilkan adanya diversifikasi gender dan peran dalam gender.

Kepercayaan masyarakat Hua terhadap nu juga membentuk cara pikir masing-masing gender dalam memandang diri sendiri dan orang lain. Adanya keharusan untuk menyeimbangkan kadar nu, ketakutan lelaki Hua akan terkontaminasi sifat feminin, dan tugas menyiapkan makanan yang dibebankan pada perempuan Hua merupakan contoh produk dari kepercayaan masyarakat Hua Papua Nugini terhadap makanan dan substansi vital kehidupan manusia.

Di Indonesia, peletakan posisi perempuan dalam keluarga yang hampir serupa terkait dengan peran gender juga dapat ditemukan pada perempuan di suku Jawa. Sumintarsih (2006, p. 19) mengemukakan bahwa isteri dalam kehidupan budaya Jawa disebut dengan kanca wingking, atau teman yang berada di belakang. Hal ini merujuk pada peran perempuan sebagai seseorang yang menyiapkan makanan untuk keluarga pada kehidupan sehari-hari. Dapur dianggap menjadi tempat paling ‘lemah’ dan menjadi keharusan bagi perempuan tradisional Jawa untuk bekerja di dalamnya. Peran ini memunculkan anggapan apabila lelaki yang bekerja di dapur, maka perempuan atau istrinya dianggap kurang cakap dalam menyelesaikan permasalahan dapur. Pawon dalam bahasa Jawa sendiri disusun dari kata pa+awu+an atau perabuan, yang merujuk pada perabuan, tempat hasil pembakaran makanan, tempat yang ‘kotor’. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan kesadaran masing-masing individu terkait dengan kebebasan peran gender, filosofi pawon mulai bergeser dan hanya dengan mudah dijumpai pada lingkungan Jawa yang masih jarang tersentuh pendidikan atau arus globalisasi dari luar.

Pustaka

Butler, Judith. (2004). Undoing Gender. New York: Routledge. 

Counihan, C., Van Esterik, P. (1997). Food and Culture: A Reader. New York: Routledge.

MacDonald, Mary N., College, Le Moyne. (2000) Food and Gender in the Highlands of Papua New Guinea. Journal of Ritual Studies, 14(1), 23-31. www.jstor.org/stable/44368574.

Meigs, Anna. (1984). Food, Sex, and Pollution: A New Guinea Religion. New Brunswick: Rutgers University Press.

Peoples, J., Bailey, G. (2015). Humanity: An Introduction to Cultural Anthropology. Stamford: Cengage Learning.

Sumintarsih. (2006). Pawon Dalam Budaya Jawa. Jurnal Jantra; Sejarah dan Budaya, 1(1), 19. ISSN 1907-9605.

Ditulis oleh Tuffahati Athallah.
A perpetual learner who learns to read more and listen much more.

One reply on “Bagaimana Wanita Menyerap Energi Pria: Mengulik Konsepsi Energi dan Gender Pada Masyarakat Hua”

Terima kasih, artikelnya sangat bermanfaat dan tata bahasanya dikemas dengan apik sehingga mudah dimengerti oleh orang awam. Keep up the good work, Athala!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *