Categories
Analisis

Agama dan Ruang atau Opini Publik dalam Masyarakat Pascasekuler

Menurut Jürgen Habermas

I.

Berbicara dalam ruang publik atau mengutarakan opini publik [1] tentang atau dengan basis agama merupakan hal yang tidak sepele. Sering terjadi ketegangan antara argumen-argumen agamis, teologis, dan nonagamis, rasional–penjelasan lebih tidak sederhana maupun tidak dikotomisnya tentang agama dan rasionalitas akan kita temukan di bagian-bagian tulisan selanjutnya.

Kita semua masih ingat kasus Ahok yang mencoba mengkritik secara rasional para politisi yang suka membawa argumentasi berbasis sumber-sumber agamis, dan akhirnya dia sendiri masuk penjara. Barangkali menarik untuk menggunakan kasus Ahok sebagai titik tolak tulisan ini. 

Ada tiga poin yang dapat kita dapat dari kasus Ahok. Pertama, secara politik, Ahok ingin melawan politisasi semantika religius yang dapat menimbulkan keengganan warga Jakarta untuk memilihnya. Ia mengutip surah Al-Maidah ayat 51, yang memang sering digunakan oleh para fundamentalis-populis untuk mendukung proses irasionalisasi politik, dengan menggabungkan kembali secara konseptual pemimpin negara/pemerintahan dengan agama (fundamentalisme), juga menciptakan pemahaman identitas agama anti-pluralistik yang memandang orang dari agama lain sebagai tak mampu atau tak sah untuk menduduki posisi kepemimpinan (Reckwitz, 2019b: 412, 416).

Kedua, secara budaya dan kependidikan, Ahok mempropagandakan sekularisme atau rasionalisme–pada konteks ini keduanya tidak perlu dibedakan secara ketat–kepada khalayaknya dengan menganjurkan pada mereka untuk tidak menggabungkan (kalau ada) pertimbangan teologis mereka dari surah Al-Maidah ayat 51 dengan kepuasan mereka terhadap program dan kinerja pemerintahan Ahok. 

Poin yang ketiga adalah konsekuensinya. Pidato Ahok yang kata “pakai” di antara “dibohongi” dan “Al-Maidah 51” dihilangkan secara tendensius oleh Buni Yani menjadi viral dan dianggap sebagai tindakan penistaan agama Islam. Selama berminggu-minggu setelahnya, bumi Nusantara penuh dengan berita itu dan hal itu juga menunjukkan betapa media tidak memenuhi fungsinya sebagai penyuplai sekaligus kurator bahan refleksi untuk opini publik (Luhmann, 1997: 1099). Namun, media hanya sekadar menyuplai sensasi (Reckwitz, [2012]: 244). Poin ke-(3) yang lebih banyak dapat dibahas dari sisi sosiologi media dan model jejaring sosial di dunia maya akan dijelaskan pada tulisan lain.

Untuk menelaah permasalahan pelik ini, kita dapat mengutip banyak teori Habermas. Jürgen Habermas merupakan salah satu filsuf sosial berhaluan Teori Kritis dan Pragmatisme yang paling termasyhur secara internasional, walaupun di kampung halamannya sendiri di Jerman ia mendapat banyak sekali hantaman kritik yang menumbangkan kejayaannya. Analisisnya tentang demokrasi dan ruang publik sebagai tempat terselenggaranya diskursus demokratis akan memberi kita dasar pemahaman yang cukup untuk menelaah permasalahan agama dalam ruang publik atau opini publik dengan demokrasi dan kebinekaan masyarakat sebagai latar belakang, yang untuk memudahkan pemahaman akan selalu dikaitkan dengan kasus Ahok di atas.

II.

Sebagaimana kita tahu, hari ini hampir semua negara di dunia secara politik menganut sistem demokrasi. Mengapa? Jika semua yang teman-teman akan baca pada bagian ini terlalu abstrak, harap jangan menyerah dahulu, sebab di bagian-bagian selanjutnya terdapat banyak konkretisasi dari formulasi teoretis bagian ini. 

Menurut Habermas, demokrasi dalam bidang politik menunjukan keberhasilan di berbagai belahan dunia oleh dua hal berikut: Pertama, “partisipasi politik secara merata” seluruh warga negara sebagai “penerima (adressaten) sekaligus penulis hukum”; Kedua, “dimensi epistemis dari perundingan teratur oleh bentuk-bentuk diskursif yang berbasiskan pada perkiraan hasil rasional dan memuaskan” yang menjadi basis mekanisme produksi hukum, pemilihan umum, dan lain-lain [2] (Habermas, [2009]: 126). 

Namun menurutnya, kedua hal itu hanya mungkin jika negara dan mekanisme pembentukan hukum (termasuk di dalamnya opini publik) “diubah untuk berbasis pada dasar nonreligius” atau “netral secara pandangan dunia” (Ibid.). Dengan kata lain, organ politik negara, yang sudah mengalami proses sekularisasi, mengekstraksi agama dan mengisolasi agama untuk kepentingan privat saja. Max Weber menyebutnya dengan istilah “Entzauberung der Welt” (Weber, 1917), atau “disenchantment of the world“. Sesuatu yang menurut Habermas berlangsung akibat “tiga tantangan modernitas”, yakni “pluralisme agama, naiknya sains modern, […] dan penerapan hukum positif dan moral masyarakat profan” (Habermas, [2009]: 143).

Akibatnya, semantika hukum atau produk kebijakan publik juga diformulasikan “dalam bahasa netral” (Nussbaum, 2019: 216) atau “sesuai dengan argumentasi yang mudah dipahami secara merata oleh semua orang” (Habermas, [2009]: 125). Sementara, semantika religius juga tidak kemudian dilarang, tetapi tidak lagi memiliki kekuatan apapun dalam mekanisme pembentukan hukum. Untuk itu, Habermas menyitir John Rawls yang mengistilahkan “proviso” sebagai “duty of civility“, atau katakanlah, “kewajiban” seluruh warga untuk “membedakan nilai-nilai agamis dan politis” di dalam sistem “liberalisme politik”-nya (Ibid.: 130). 

III.

Tentunya, demokrasi dengan diskursus rasionalnya harus berlangsung pada atau melalui “media” tertentu. Menurut Habermas, media tersebut ialah opini publik atau ruang publik yang ia istilahkan sebagai “bürgerliche Öffentlichkeit” semenjak tahun 1960-an.[3] Ruang atau opini publik tersebut “dapat dijangkau secara umum” oleh setiap orang yang “bermoral” dan sekaligus adalah “makhluk privat” [4], sebab “ruang publik yang eo ipso tidak dapat dijangkau oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu, bukan hanya tidak lengkap, namun juga bukan sama sekali ruang publik” (Habermas, [1969]: 156).

Kalau kita mengaitkan definisi Habermasian dari ruang publik dan subjek politiknya dengan kasus Ahok, maka jenis subjek “makhluk privat” merupakan jenis subjek yang bisa jadi religius. Dalam konteks Ahok, makhluk privat bisa diterjemahkan sebagai mereka yang percaya pada Al-Maidah 51 melalui interpretasi privat sumber langsung, dengar-dengar dari orang awam lain, maupun dari pemuka agama, dan memutuskan untuk tidak memilih Ahok. Dengan kata lain: mereka yang tidak sepenuhnya menjalankan proviso dan duty of civility ala Rawls, yang memisahkan yang rasional dan yang teologis. Entah disadari atau tidak, memasukkan kategori subjek “makhluk privat” sejatinya memberi kesempatan kepada mereka yang tidak memiliki paham sekuler untuk berada di dalam ruang publik.

Barangkali karena itu, puluhan tahun kemudian Habermas menyadari, bahwa bürgerliche Öffentlichkeit-nya jelas ditabrak oleh kenyataan dalam praktik sosial masyarakat: bahwa proses sekularisasi tidak pernah terjadi sepenuhnya, sebab “komunitas agama masih bertahan” (Habermas, [2009]: 146), bahkan memainkan peran sebagai “sumber penting pemberi makna hidup” bagi warga negara. Dunia ideal masyarakat sekuler yang rasional yang dijelaskan pada subbab kedua. tidak sejalan dengan fakta sosial yang ada. Oleh karenanya, ia menciptakan istilah “masyarakat pascasekular” (Ibid.). Sesuatu yang sejalan dengan konsep multiple modernity dari Eisenman atau pasca-kolonialisme secara umum, untuk mengakui bahwa modernisasi tidak selalu beriringan dengan sekularisasi agama, atau hilangnya agama.

Kembali lagi ke kasus Ahok, maka pidato Ahok dengan pernyataannya, “Jangan mau ditipu pakai surat Al-Maidah”, sejalan pada prinsipnya dengan anjuran Habermas maupun Rawls. Kita dapat melihat itu dari paparannya pada khalayak di Kepulauan Seribu, bahwa ada diskrepansi antara, pertama, jenis interpretasi surat Al-Maidah 51 yang tidak menganjurkan untuk memilih Ahok sebagai pemimpin karena keberbedaan agama, dan kedua, pertimbangan rasional akan program-program Ahok yang ia klaim sebagai menyejahterakan para khalayak yang bisa jadi percaya pada Al-Maidah 51. Dengan kata lain, ia mempromosikan proviso yang Rawls bahkan ajukan sebagai “moral […] duty” (Ibid.: 127): untuk membedakan agama Ahok dan jenis interpretasi Al-Maidah 51 dari capaian program (rasional) pemerintahannya. Menurutnya warga Kepulauan Seribu harus berfokus pada program, politik, kebijakannya, bukan interpretasi Al-Maidah 51 yang menganjurkan untuk tidak memilih dirinya karena keberbedaan agama.

IV.

Pertanyaan besar yang sebenarnya coba dijawab Habermas ialah: bagaimana menghadapi diskrepansi dari kedua kubu yang kesannya incommensurable tersebut, di antara argumentasi sekular dan agamis, dalam masyarakat pascasekuler?

Jawaban yang ia paparkan tahun 2019 maupun 2009 untuk itu dapat ditelusuri akarnya dari publikasinya tahun 1983, yakni bahwa “modernitas tidak dapat dan tidak ingin meminjam acuan dari kurun waktu lain dan harus menciptakan normativitasnya dari dalam dirinya sendiri” [5] (Habermas dalam Meyer, 2020). Modernitas haruslah menjadi sebuah “proyek” penciptaan acuannya sendiri, yang bersumber dari akal budi atau daya pikir (vernünft) manusia sendiri sebagai satu-satunya jenis hewan yang mampu berdaya pikir. Dan konsekuensinya terhadap agama (juga besertanya teologi) adalah, seperti yang Theodor Adorno, mantan profesor dari Habermas di Frankfurt pernah katakan, bahwa “tiada dari kandungan teologis akan bertahan tanpa perubahan; setiapnya [pertimbangan teologis] akan mengalami percobaan untuk bertamasya ke yang sekuler dan profan” [6] (Adorno, [1957], Ibid.). Dengan kata lain, modernisasi dengan proses sekularisasinya, meskipun menabrak kenyataan masyarakat pascasekuler, dianggap sebagai proyek yang belum rampung, dan akan rampung sebagai solusi masyarakat modern, pasca-sekular.

Ada dua penjelasan terpenting untuk klaim tersebut. Hal yang pertama, secara sosiologis, adalah kondisi masyarakat dunia secara umum, apalagi Indonesia, sebagai masyarakat madani yang bineka, terdiri dari banyak agama dan aliran kepercayaan. Tidak ada masyarakat modern yang tidak madani, dan oleh karenanya, masalah yang dihadapi bersumber dari “unchosen cohabitation” (Butler, 2015: 112) dan fakta bahwa di dalam masyarakat hidup berdampingan secara mutlak orang-orang yang berbeda secara individual (makhluk privat) maupun secara pandangan dunia. Hal yang kedua, secara epistemologis, bahwa dari dalam mekanisme komunikasi, yang terjadi antarkubu pandangan dunia melalui tiap-tiap individu, di dalam ruang atau opini publik, jelas dibutuhkan sebuah, katakanlah, “struktur pikiran atau kemampuan untuk berekspresi yang diterima oleh semua orang tanpa terkecuali”, dan hal tersebut ialah hal yang rasional, yang bersifat universal. Singkatnya untuk poin kedua ialah bahwa “tidak ada skema pengetahuan yang tidak memiliki kandungan rasionalitas di dalamnya”, biarpun seorang itu orang dari agama atau aliran kepercayaan tertentu; argumen ini menunjukan sisi Pragmatisme Habermas. [7]

Oleh karenanya, dibutuhkan “proses penerjemahan” (Übersetzungsarbeit) bagi argumentasi yang berbasis pada agama atau pandangan dunia tertentu “ke dalam bahasa yang secara umum terjangkau” oleh seluruh partisipan ruang atau opini publik (Habermas, [2009]: 137). Kalau kita ingat kalimat Adorno sebelumnya, “percobaan untuk bertamasya ke yang sekuler dan profan”, maka “penerjemahan” yang Habermas jadikan sebagai jalan keluar konflik antara yang sekuler dan religius jelas terarah ke sana.

V. 

Lantas bagaimana proses penerjemahan diskursus agama dan teologis dalam konteks interpretasi Al-Maidah 51 ke dalam struktur pikiran rasional sebagai satu-satunya bahan yang beredar di ruang atau opini publik terjadi dalam masyarakat pascasekuler? Sebab kita tahu, tak semudah itu untuk mengubah banyak orang yang religius, seperti dalam konteks Ahok adalah mereka yang percaya pada interpretasi tendensius Al-Maidah 51, supaya berpikir rasional dan mempertimbangkan hasil program, bukan agama pemimpinnya. Tentu saja bukan berarti mereka yang sekular juga langsung akan memilih Ahok atau bahwa tindakan yang rasional hanyalah memilih Ahok–semoga kita tidak sampai berpikir ke arah sana–, namun paling tidak para pemilih sekuler (bukan sama sekali berarti ateis; ateisme dan sekularisme ialah dua hal yang tak sama) tidak terbebani dengan interpretasi apa pun dari Al-Maidah 51 ataupun sumber-sumber agama lainnya. [8]

Habermas menjawabnya dengan memasukan aspek edukasi ke dalam analisisnya, bahwa dibutuhkan “proses pembelajaran” dari sisi warga religius (Ibid.: 142). Apa saja tematika yang harus “dipelajari” warga religius demi “perubahan mental” (Ibid.) tersebut? Dengan parafrase, pertama, bahwa warga religius dianjurkan membandingkan agamanya sendiri dengan agama lain, sebab pada akhirnya kesamaan epistemologis, atau nilai-nilai universal akan mengemuka–untuk ini catatan kaki nomor 7 menjadi relevan lagi. Kedua, warga religius sebaiknya “menyesuaikan” pemikiran berbasis agamanya dengan sains yang diwakilkan oleh para ahli yang diakui. Ketiga, warga religius selaiknya memahami kondisi sosiologis mereka, yakni kondisi terindividualisasi mereka [9] dan juga universalitas moral profan yang tertera pada HAM dan perwujudannya dalam undang-undang, kemudian memasukan pemahaman tersebut ke dalam doktrin agama masing-masing. 

Dalam konteks ini, memang mengemuka asimetri tuntutan dari warga religius dan sekuler yang memang dapat membebani warga religius secara kognitif. Namun, ia tak melihat kemungkinan lain, dengan berdalih, bahwa sejatinya proses pembelajaran yang terjadi menjadi “komplementer” (Ibid.: 146), berlaku juga untuk warga sekuler. Sebab, warga sekuler juga harus mendengarkan dan mempertimbangkan pemikiran para warga religius, namun bukan dalam konteks memahami argumentasi berbasis agama mereka, melainkan dalam konteks “rekonstruksi sejarah perkembangan [modernitas dan sekularitas] itu sendiri” (Ibid.: 148), bahwa sistem ide modern memiliki “ketergantungan epistemologis […] dari sumber inspirasi yang adalah tradisi agama” (Ibid.: 234). [10]

VI. 

Habermas sebagai Hegelian barangkali muncul di sini, dengan pledoinya untuk “proses pembelajaran” antarwarga religius dan sekuler di dalam ruang atau opini publik, “ruang” di mana “kemungkinan akan sebuah sikap tercerahkan dan reflektif terhadap satu sama lain baru dibuat mungkin” (Ibid.: 154), yang tidak lain adalah proses dialektika antarwarga sekular sebagai tesis dan religius sebagai antitesis. Kemudian, roh yang sedang mewujud ala Hegel maka menjadi “proyek modernitas”, proses sekularisasi, proses modernisasi, yang disampaikan oleh Habermas (Meyer, 2020). [11]

Kita pun dapat melihat konkretisasinya pada kasus Ahok, bahwa banyak pemuka agama dari dalam agama Islam pun, terutama dari kalangan NU, yang mencoba menjelaskan secara secara teologis, bahwa anjuran Al-Maidah 51 harus dikontekstualisasi dan dibaca beserta ayat-ayat sebelumnya. Apa yang dimaksud sebagai “pemimpin” atau “kekasih” pada ayat itu tidaklah bisa semena-mena ditafsirkan sebagai gubernur, walkot, presiden, maupun jabatan kepemimpinan struktural lainnya dalam masyarakat modern yang sudah mengalami rasionalisasi mekanisme pembuatan kebijakan publik dan pembangunannya. Bahkan, di terjemahan bahasa Inggris saja bunyinya sudah lain, bukan “pemimpin”, melainkan guardian, atau pelindung. [12]

Pada intinya, dalam teologi (dalam kasus ini, Islam) sendiri juga terjadi mekanisme koreksi, kritik, yang mempertanyakan keabsahan sebuah interpretasi, atau seperti kata Habermas, bahwa selalu dari dalam dinamika kognitif agama itu sendiri ada “bentuk pemikiran (geist) objektif yang berkompetisi menuju kebenaran” (Habermas dalam Meyer, 2020). [13] Sebab itu, “proses pembelajaran” berlaku pula sebagai kunci untuk dinamika internal komunitas agama, selain dalam dialektika antara teologi dan filosofi, maupun dialog antarwarga religius dan sekular. Bayangkan saja, bila yang menyodorkan interpretasi terhadap Al-Maidah 51 adalah para warga sekular. Kita lantas dapat membayangkan, bahwa warga religius tidak akan mendengarkan interpretasi para warga sekuler akibat tiadanya kepercayaan atas kesamaan identitas religius. Namun, kalau para ulama sendiri yang memberi interpretasi lain, kemungkinan proses refleksi pemahaman agama jauh lebih tinggi. Sebab, penurunan ilmu di dalam mekanisme sosial psikologis internal komunitas agama itu sendiri, siapa yang menyatakan jauh lebih penting ketimbang apa yang dikatakan. Dengan kata lain, “kredensial” pemberi pernyataan berlaku sebagai “epistemological shortcuts” (Bloom, 2015).

VII.

Pada akhirnya, menurut Habermas, ruang atau opini publik merupakan salah satu elemen terpenting yang menjadikan manusia sebagai manusia, yang pada dasarnya adalah “zoon politikón“, atau “hewan yang ada dalam ruang publik” (Habermas, [2004]: 17). Tanpa ruang atau opini publik, tiada “proses pembelajaran” untuk masyarakat plural, pascasekuler, dan demokratis. Konflik tidak akan terhindarkan, sebab tiap-tiap komunitas tak memiliki media untuk berkomunikasi dan melakukan “diskursus rasional” antara satu dengan yang lain. Adapun diskursus rasional juga tidak dapat dihindari, sebagaimana dari dalam mekanisme komunikasi itu sendiri “proses penerjemahan” ke dalam “bahasa netral” yang dapat dipahami semua orang juga tak dapat dihindari. Selain itu pula, berangkat dari “tindakan komunikatif”, dari “diskursus” dalam ruang atau opini publik tersebut (Ibid.: 20), masyarakat pascasekuler akan mendorong warga religius untuk semakin terbuka untuk menemukan “potensi-potensi kebenaran [dari agama], yang dapat diwujudkan ke dalam argumentasi netral dan publik” (Habermas dalam Meyer, 2020). Sebab, pada inti sari pemikirannya, modernitas tidak dapat bergerak mundur dari akal budi dan daya pikir, dari geist, yang mewujud dalam “penggunaan akal dalam ruang atau opini publik” dan dijiwai oleh “paksaan tanpa paksaan argumentasi yang lebih baik” [13] (Habermas, [2004]: 20).

Catatan Kaki

[1] Keduanya tak perlu dibedakan, hanya masalah dimensi aksi dan ruang-waktu. 
[2] Terjemahan dari “die epistemische Dimension von Formen einer diskursiv gesteuerten Auseinandersetzung, die die Vermutung auf rational akzeptable Ergebnisse begründen” 
[3] Dalam disertasi yang kemudian dipublikasikan oleh penerbit Suhrkamp, “Der Strukturwandel der Öffentlichkeit” (1969).
[4] Dalam bahasa Jerman, “Privatmann”, atau bahasa Inggris, private man.
[5] Habermas: “Die Moderne kann und will ihre orientierenden Maßstäbe nicht mehr Vorbildern einer anderen Epoche entlehnen, sie muss ihre Normativität aus sich selber schöpfen” (1983).
[6] Adorno: “Nichts an theologischem Gehalt wird unverwandelt fortbestehen; ein jeglicher wird der Probe sich stellen müssen, ins Säkulare, Profane einzuwandern” (1957).
[7] Klaim ini merupakan klaim yang besar, yang paling terkenal digarap oleh Donald Davidson dalam kritiknya terhadap “conceptual scheme”. Terjemahan buruknya barangkali: skema konseptual. Apa maksudnya? Skema konseptual adalah istilah yang Davidson gunakan untuk mendeskripsikan sebuah situasi di mana tiap-tiap pandangan dunia, sekularisme, agama, budaya, dst. dianggap memiliki logika dan rasionalitasnya sendiri. Seakan-akan penjelasan Ahok yang liberalis bertentangan secara logis dari penjelasan teologis penelaah Al-Maidah 51 yang mendukung pemenjaraan Ahok. Katakanlah, seakan-akan ada dua kebenaran yang berasal dari skema konsep yang berbeda, satu dari agama, satu dari filsafat politik liberalisme. Nah, situasi ini lah yang dikritik oleh Davidson, dan filsafat pragmatis setelahnya pada umumnya. Menurutnya, tidak ada sistem kognitif atau pemikiran apapun yang tidak memuati rasionalitas dan logika di dalamnya. Semua sistem pemikiran memiliki logika internal yang rasional, yang pasti dapat dipertemukan dan dipahami oleh sistem pemikiran lain. Maka, teologi agama maupun filsafat politik, sekularisme hanya perlu dipertemukan dengan diskursus rasional di antara keduanya. Dan hal ini mensyaratkan: diskursus rasional di dalam tubuh teologis agama itu sendiri. Sesuatu yang akan dijelaskan pada paragraf berikutnya.
[8] Dan tentu saja tulisan ini tak membahas pengaruh kamar gema media sosial, propaganda populisme partai tertentu, ataupun penggiringan opini yang bersifat politis dari media massa tertentu, yang tentunya berpengaruh dalam mengurangi rasionalitas pertimbangan seseorang.
[9] Bahwa dalam masyarakat modern setiap orang dinilai sebagai sebuah individu secara egaliter, bukan lagi secara kasta, maupun posisi dalam ritual.
[10] Sebuah tuntutan yang tentu saja agak tidak realistis untuk dijalankan, sebab hal itu berarti para warga sekular harus membaca tulisan-tulisan dari Habermas, Kant, C.G. Jung dan para filsuf agama lainnya! Pun demikian, jika kita mengintegrasikan itu ke dalam sistem pendidikan, maka kemungkinan keberhasilannya dapat meningkat.
[11] Atau, bisa juga Habermas lebih mirip Marx. Hegel tidak pernah memasukan prediksi teleologis, selain prediksi amat netral bahwa der Geist, atau Roh Dunia akan mewujud. Namun, Marx berbeda; ia memasukan aspek teleologis, dengan mengatakan bahwa dialektika antara kelas ekonomi akan berakhir pada masyarakat sosialisme atau komunisme. Mirip dengan habermas: pada akhirnya modernitas harus selesai sebagai proyek, yakni saat terwujudnya masyarakat yang sepenuhnya rasional.
[12] Berbagai macam tafsir lainnya dapat dilihat di: https://tafsirweb.com/1935-quran-surat-al-maidah-ayat-51.html; juga https://quran.com/5/51.
[13] Habermas mencoba menggarap “tamasya” agama ke dalam wilayah profan dan sekular tersebut pada karya terakhirnya, dua jilid buku tentang sejarah filosofi (lebih dari 1700 halaman), “Auch Eine Geschichte von Philosophie” (Suhrkamp, 2019).
[14] Dalam bahasa aslinya, “der öffentliche Vernünftgebrauch” dan “zwangloser Zwang des besseren Argumentes“.

Pustaka

Bloom, Paul (2015). “Scientific Faith Is Different From Religious Faith. Not all beliefs are equal.” Dalam The Atlantic, diakses 10.3.2021, https://www.theatlantic.com/science/archive/2015/11/why-scientific-faith-isnt-the-same-as-religious-faith/417357/

Butler, Judith (2015). “Notes Toward a Performative Theory of Assembly”. London: Harvard University Press.

Habermas, Jürgen [2004][2009](2013). “Zwischen Naturalismus und Religion. Philosophische Aufsätze”. Cetakan ke-2, Frankfurt am Main: Suhrkamp.

Habermas, Jürgen [1969](1990). “Strukturwandel der Öffentlichkeit”. Cetakan revisi, Frankfurt am Main: Suhrkamp.

Luhmann, Niklas [1997](1998). “Die Gesellschaft der Gesellschaft. Zweiter Teilband”. Frankfrut am Main: Suhrkamp.

Meyer, Thomas (2020). “Jürgen Habermas und die Rettung der Moderne”. Dalam artikel Deutschlandsfunk, diakses 12.4.2021, https://www.deutschlandfunk.de/die-geschichte-der-philosophie-juergen-habermas-und-die.1184.de.html?dram:article_id=468954

Nussbaum, Martha (2019). “The Cosmopolitan Tradition. A Noble but Flawed Ideal”. London: Belknap Press of Harvard University Press.

Reckwitz, Andreas (2019a) [2012]. “Die Erfindung der Kreativität. Zum Prozess gesellschaftlicher Ästhetisierung.” Berlin: Suhrkamp.

Reckwitz, Andreas (2019b). “Die Gesellschaft der Singularitäten. Zum Strukturwandel der Moderne”. Berlin: Suhrkamp.

Selesai ditulis 12.3.2021.

By Geraldus Martimbang

Pembelajar arsitektur dan filosofi, aktif di Podcast Progresif. Sedang mencari jalan filosofis. Suka makan pasta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *