Categories
101

Efek Semmelweis Sebagai Reaksi dari Penolakan Gagasan Mencuci Tangan

Semenjak pandemi Covid-19 merebak, aktivitas cuci tangan seakan menjadi hal wajib di hampir setiap kegiatan yang dilakukan. Tapi, jauh sebelum akhirnya cuci tangan ini menjadi kegiatan yang diterima oleh masyarakat banyak atau bahkan menjadi kegiatan wajib yang harus dilakukan, aktivitas cuci tangan punya sejarah yang kelam, bahkan kehadirannya pertama kali sempat dianggap konyol dan berlebihan oleh ilmuwan maupun para ahli.

Aktivitas mencuci tangan mungkin bukan sesuatu yang spesial. Kita diajarkan untuk membiasakan cuci tangan sebelum makan atau ketika tiba di rumah setelah beraktivitas lama di luar. Namun, semenjak pandemi Covid-19 merebak, aktivitas cuci tangan seakan menjadi hal wajib di hampir setiap kegiatan yang dilakukan. Tidak hanya sebelum makan, melainkan sebelum memasuki gedung, restoran, kafe, atau tempat umum. Kini mencuci tangan adalah aktivitas yang wajib dilakukan setiap orang. Tidak cukup hanya mencuci tangan dengan air, kini kita dimudahkan dengan kehadiran hand sanitizer yang praktis lewat kemasannya yang kecil sehingga mudah dibawa kemana-mana. Formulanya sendiri bermacam-macam, ada yang bahannya cair atau yang berbentuk gel, semua bisa dipilih sesuai selera. Tapi, jauh sebelum akhirnya cuci tangan ini menjadi kegiatan yang diterima oleh masyarakat banyak atau bahkan menjadi kegiatan wajib yang harus dilakukan, aktivitas cuci tangan punya sejarah yang kelam, bahkan kehadirannya pertama kali sempat dianggap konyol dan berlebihan oleh ilmuwan maupun para ahli.

Secara historis, setiap ide revolusioner yang dikemukakan oleh para ahli biasanya melewati tiga fase terlebih dahulu sebelum akhirnya ide tersebut dapat diterima oleh orang banyak, yakni fase diejek, ditolak secara mentah-mentah, hingga akhirnya diterima melalui bukti yang ada dengan sendirinya. Hal inilah yang dialami oleh beberapa temuan ilmuwan Isaac Newton maupun Albert Einstein, yang juga dirasakan oleh Ignaz Philipp Semmelweis, seorang fisikawan dan scientist dari Hungaria yang menjadi pionir dari menjaga kebersihan tangan dengan cara mencuci tangan menggunakan antiseptik yang dapat membunuh kuman.

Temuan Semmelweis ini terjadi ketika ia bekerja di sebuah bangsal bersalin di Rumah Sakit Umum Vienna. Tingkat kematian yang ada di rumah sakit tersebut bisa dibilang cukup tinggi, dan rata-rata penyebab kematiannya adalah childbed fever atau demam nifas yang biasa menyerang oleh ibu yang hendak melahirkan. Di bangsal yang terbagi menjadi dua klinik ini, Semmelweis menemukan terdapat perbedaan jumlah kematian yang disebabkan oleh demam nifas yang ada di klinik pertama dan kedua. Klinik pertama yang dilihat Semmelweis memiliki angka mortalitas sebesar 15,8% yang notabene didominasi oleh dokter yang beroperasi di dalamnya, sedangkan klinik kedua hanya memiliki angka mortalitas sebesar 7,6% dengan bidan yang lebih banyak bekerja di bangsal tersebut.

Semmelweis mulai melihat adanya keganjilan jumlah kematian yang kontras di antara dua klinik tersebut. Perlahan ia mulai mempelajari aktivitas yang dilakukan di dua klinik tersebut, mulai dari prosedur yang dilakukan, apakah atmosfer yang ditimbulkan berpengaruh pada tingkat stres ibu hamil, hingga aktivitas religius yang biasanya dilakukan oleh para pastor atau suster yang mengunjungi para ibu yang hendak melahirkan. Perbedaan yang paling kentara dilihat oleh Semmelweis adalah kontrol fasilitas yang diberikan di dua bangsal tersebut. Fasilitas di bangsal pertama dikontrol secara penuh oleh para dokter maupun tenaga medis yang datang dari universitas untuk melakukan autopsi atau operasi, sedangkan di bangsal kedua dikontrol oleh bidan yang tidak melakukan aktivitas tersebut. Semmelweis mengasumsikan adanya penyebaran bakteri dan kuman yang diderita oleh para ibu hamil ini sama-sama diakibatkan oleh pisau medis yang digunakan untuk autopsi. Transfer kuman yang berasal dari cadaver (mayat manusia yang diawetkan) yang disalurkan dari satu pasien ke pasien lainnya tanpa proses higienisasi inilah yang lantas menyebabkan banyak ibu melahirkan akhirnya terinfeksi penyakit yang berpotensi mengancam nyawa sang ibu. Setelah menyadari penyakit mematikan ini ditularkan dari ibu yang telah meninggal ke tubuh ibu yang sehat karena dokter yang tidak mencuci tangan setiap selesai melakukan operasi, Semmelweis lantas menciptakan protokol cuci tangan yang terbuat dari larutan kapur yang terklorinasi dan menyuruh seluruh pelajar medis serta dokter untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan autopsi. Konsep cuci tangan yang dilakukan secara rutin ini sejak diperkenalkan oleh Semmelweis menunjukkan hasil yang menakjubkan, di mana tingkat mortalitas di klinik tersebut menurun, dari yang sebelumnya menyentuh angka 12,2% di bulan Mei pada tahun 1847, kemudian menjadi 2,2% di bulan Juni, lalu 1,2% di bulan Juli, dan 1,9% di bulan Agustus. Penerapan kebiasaan cuci tangan tersebut hanya dilakukan ketika Semmelweis masih bekerja di RS Vienna. Ketika masa tugasnya telah selesai pada tahun 1849, peraturan cuci tangan tersebut tidak dilanjutkan oleh dokter lain di Departemen Kebidanan. Pada tahun 1850, Semmelweis berupaya untuk memperkenalkan kebiasaan cuci tangan dan manfaatnya untuk dunia kedokteran di Vienna Medical Society. Sayangnya, Semmelweis tidak mendapat respon yang diharapkan. Dokter-dokter yang hadir pada pertemuan tersebut menolak mentah-mentah konsep cuci tangan tersebut. Para dokter juga menjuluki Semmelweis sebagai “pria yang aneh” karena gagasan barunya yang dianggap tidak biasa. Pasalnya, menurut para dokter, tangan-tangan mereka tidak akan pernah menularkan penyakit. Dokter berpendapat bahwa penyakit tersebut biasanya disebabkan oleh penderita miasma atau yang memiliki nafas udara yang buruk sehingga merekalah yang seharusnya bertanggung jawab dalam penyebaran penyakit.

Setelah gagasan mencuci tangan yang dimilikinya ditolak mentah-mentah, Semmelweiss akhirnya pindah ke Pest, Hungaria, untuk bekerja kembali di bangsal melahirkan dan menerapkan aturan cuci tangan yang sama seperti saat di RS Vienna. Hasilnya pun juga memuaskan: tingkat mortalitas yang rendah pada ibu melahirkan dengan menerapkan aturan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan proses operasi. Namun, tetap saja gagasan Semmelweis tidak kunjung mendapat sambutan hangat di lingkungan rumah sakit tersebut.

Pada tahun 1861, Semmelweiss menulis sebuah buku mengenai cuci tangan yang berjudul Etiology, Concept, and Prophylaxis of Childbed Fever. Meski demikian, buku yang dibuatnya masih belum bisa meyakinkan para dokter dan masyarakat umum mengenai konsep cuci tangan dan hubungannya dengan penyakit nifas pada ibu hamil, sehingga lagi-lagi Semmelweis harus menerima kritikan dan cemoohan, bahkan terdapat anggapan bahwa konsep cuci tangan Semmelweis-lah yang telah memperparah penyebaran penyakit nifas yang diidap oleh ibu yang hendak melahirkan. Kesehatan fisik dan mental Semmelweis lambat laun menurun, hingga akhirnya ia sempat dirawat di rumah sakit jiwa sebelum akhirnya meninggal akibat infeksi luka yang ada di tangan kanannya dan kekerasan yang dia terima selama dirawat di rumah sakit jiwa. Semasa hidupnya, kontribusi Semmelweis ditolak secara tegas oleh para dokter dan masyarakat umum hanya karena penemuannya dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tradisi, dan kepercayaan lingkungan medis pada umumnya di era tersebut.

Adanya penolakan yang disebabkan karena pertentangan kepercayaan, nilai, dan norma yang secara umum telah dipegang oleh kelompok komunitas tertentu yang dialami oleh Semmelweiss ketika memperkenalkan konsep cuci tangan semasa hidupnya mengilhami sebuah fenomena psikologis yang disebut dengan efek Semmelweis, yaitu refleks yang digambarkan dengan sikap dan gestur penolakan yang biasanya ditunjukkan terhadap penemuan atau hal baru. Ini menghadirkan efek yang hampir mirip dengan xenophobia – ketakutan untuk menerima nilai dan ajaran baru yang datang dari kelompok luar. Efek Semmelweis juga mendorong seseorang untuk kemudian memercayai apa yang seyogianya telah diterima dan terbentuk secara umum yang didukung oleh preferensi pandangan yang telah diyakini dalam kehidupan sehari-hari. Penolakan ini lantas disebut juga sebagai bias konfirmasi karena menolak adanya saran atau pendapat dari orang lain yang padahal bisa bermanfaat atau menjadi pilihan alternatif dalam pengambilan keputusan.

Sumber:

Baar, Monika. t.t. Lessons for the Coronavirus Pandemic on the Cruciality of Peripheral Knowledge: Handwashing and the Semmelweis Reflex [daring] Rethinking Disability.

Helembai, Kornelia. 2019. The Effect of Semmelweis Reflex on Nursing. Szeged: Madridge Publisher.

Semmelweis I, Semmelweis IF. 1983. The etiology, concept, and prophylaxis of childbed fever. University of Wisconsin Press.

Strochlic, Nina. 2020. ‘Wash your hand’ was once controversial medical advice’ [daring]. National Geographic.

Vipin, Gupta, Saini, Chavvi, Oberoi, Meher, Kalra, Gagan & Nasir, Imran. 2020. “Semmelweis Reflex: An Age-Old Prejudice” dalam World Neurosurgery.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *