Categories
101

Tanjung Priok, 12 September 1984

Genap 36 tahun yang lalu pada 12 September 1984, di Tanjung Priok – Jakarta Utara jadi hari yang pilu bagi saudara umat muslim. Bentrokan terjadi yang melibatkan massa dengan kelompok aparat senjata, yang menghasilkan banyaknya tumpahan darah dan banyaknya jiwa – jiwa yang melayang sia – sia akibat peristiwa ini.

Peristiwa ini menjadi catatan merah dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia , 14 tahun sebelum tragedi Mei 1998 terjadi. Yang juga melibatkan sekelompok massa dengan tindakan aparat yang berlebihan dalam menghadapi demonstrasi massa kala itu. 

Kejadian pilu ini bermula saat penerapan Pancasila sebagai asas tunggal yang mulai gencar digaungkan sejak awal 1980-an oleh presiden kedua republik ini, Soeharto.

Di tengah suasana yang seakan mengekang itu, tersiar kabar dari utara Jakarta bahwa Abdul Qodir Jaelani, memberikan sebuah khutbah yang berisi penentangan terhadap asas tunggal Pancasila di masjid As Saadah. 

Beberapa hari sebelum kejadian penumpahan darah itu terjadi, bermula saat Sersan Hermanu seorang anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) tiba di Mushala As Sa’adah di Gang IV Koja, Tanjung Priok – Jakarta Utara (08-09-1984), dan mengatakan kepada pengurusnya Amir Biki, untuk mencopot pamflet maupun spanduk bertenggeran yang isinya mengkritik pemerintah.

Namun Biki menolak untuk melakukannya. Hingga akhirnya Hermanu sendiri yang turun tangan untuk melakukan pencopotan spanduk dan pamflet tersebut. Saat melakukannya, Hermanu dilaporkan memasuki area batas suci masjid tanpa melepas alas kakinya. Dan juga ia menyiram air comberan untuk menyiram pamflet tersebut.

Kelakuan Babinsa itu sontak membuat kalangan jemaah dan warga sekitar menjadi naik pitam, kendati demikian warga masih menahan diri untuk bisa menyelesaikan kejadian itu dengan kepala dingin. Namun tidak ada tindak lebih lanjut dari pihak – pihak yang berwenang untuk menyelesaikan kasus ini sebelum emosi warga tumpah dan polemik besar terjadi.

Isu ini kemudian berbuntut panjang di kalangan warga dan jemaah sekitar, dan masih belum ada upaya nyata dari pihak berwajib.

Dua hari setelahnya (10-09-2019), jemaah As Sa’adah bertemu empat mata dengan Hermanu dan rekan babinsanya. Mereka terlibat perselisihan sengit hingga harus diselesaikan di kantor pengurus Masjid Baitul Makmur, yang tidak jauh dengan mushala. Namun saat perundingan tengah berlangsung, tiba-tiba massa sudah berkumpul di depan pos dan sudah gatal ingin menangkap Hermanu. 

Entah bagaimana tiba – tiba situasi mulai ricuh saat salah seorang dari gerombolan itu membakar sepeda motor milik tentara. Aparat yang juga hadir dalam perundingan jemaah dan Hermanu itu sontak bertindak melakukan penangkapan pada keempat orang yang diduga adalah provokator.

Keempat orang itu adalah Syarifuddin Rambe, Syafwan Sulaeman, Achmad Sahi, dan Muhammad Noor. Penangkapan yang dilakukan oleh aparat itu sontak membuat emosi warga naik.

Keesokan harinya (11-09-2019), massa yang masih memendam kegeramannya itu datang ke Amir Biki, karena tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta. Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu membebaskan keempat tahanan. Sudah sering kali Amir Biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer.

Biki pun mengiyakan permintaan massa, lalu mendatangi Kodim dan meminta supaya keempat orang yang ditangkap itu dibebaskan. Namun Biki tidak mendapat respon yang berarti, alias sia – sia belaka. 

12 september 2019, di tengah suasana yang masih tegang, acara pengajian remaja islam di jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh hari sebelum ada peristiwa mushala as-sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, karena memang Biki bukan seorang penceramah.

Namun jemaah yang hadir dalam ceramah itu meminta Biki untuk naik ke mimbar dan menyampaikan pidato, bunyinya :

“Kita meminta teman-teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya!” 

Dihadapan massa, Biki berbicara dengan lantang yang isinya mengultimatum agar membebaskan para keempat tahanan, dan paling lambat pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi. 

Selanjutnya, Biki berseru… 

Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita .” 

Seiring waktu, kelompok demonstran terus meningkat, dengan perkiraan berkisar antara 1.500 sampai beberapa ribu orang. Pada keberangkatan, massa dibagi dua : sebagian ke Polres Tanjung Priok, yang lainnya ke Kodim.

Sebagian demonstran yang sudah sampai di depan Polres, kira-kira 200 meter jaraknya, mereka disambut oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan. Massa demonstran berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap tempur.

Sesaat massa mulai dikepung oleh aparat dari segala penjuru, massa kala itu tidak berbuat apa – apa. Mereka hanya mengumandangkan “Allahu Akbar! Allahu Akbar!”. 

Saat itu aparat mundur dua langkah, tanpa ada peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, diikuti oleh pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran, lalu memantik senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit.

Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri di tengah hujan timah panas, pada saat yang sama juga mereka diberondong senjata lagi. Malahan ada anggota militer yang berteriak, 

“Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” 

Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih terlihat bergerak maka ditembak lagi sampai mati.

Tak lama berselang, dari arah pelabuhan muncul dua truk militer yang mengangkut pasukan tambahan dengan kecepatan yang tinggi. Sembari memacu truk dengan kencang, hujanan peluru tetap dilontarkan ke arah demonstran yang berhamburan di jalan. 

Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah yang tiarap di selokan-selokan sisi jalan.

Setelahnya, truk-truk besar itu menepi dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan dan melemparkannya ke dalam truk bagaikan melempar karung goni. 

Sementara itu di lain tempat, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jemaah dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Biki.

Ketika ketiga orang itu mendekat, tentara kembali menyongsong mereka dengan senjata yang sontak membuat panik massa yang di belakangnya. Diketahui puluhan orang tewas di depan kodim itu.

Jumlah korban yang pasti belum diketahui berapa banyak, baik mereka yang terluka, meninggal, bahkan yang hilang. Pemerintah saat itu menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah itu. Lewat panglima ABRI saat itu L. B. Moerdani menyatakan bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang dan yang luka-luka 53 orang. 

Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah korban yang tewas mencapai 400 orang. Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer mengalami berbagai macam penyiksaan. Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas diberondong peluru tentara. 


Masalah yang terjadi di Tanjung Priok ini menjadi sebuah perhatian serius. Pemerintah dinilai tak bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik dan melanggar HAM.

Dalam sebuah laporan investigasi Kasus Tanjung Priok terbitan Kontras pada Maret 2000, Komisi Penyelidik Pemeriksa dan Pelanggaran HAM Tanjung Priok (KP3T) dibentuk.

Laporannya adalah terdapat sebuah kesewenang-wenangan dari pihak aparat terhadap korban. Pihak aparat juga melakukan penangkapan dan penahanan di luar proses hukum terhadap seseorang yang dicurigai ikut dalam insiden tersebut. 

Selain itu, adanya penghilangan paksa juga terjadi selama selang waktu tiga bulan sejak peristiwa 12 September 1984. Saat itu, korban ditangkap dan ditahan secara semena-mena tanpa ada surat pemberitahuan kepada pihak keluarga dan tanpa alasan yang jelas.

Hasil dari KP3T menyebutkan nama-nama yang terlibat dalam aksi pelanggaran HAM tersebut, yaitu dari Babinsa, Kesatuan Arhanud, Koramil Koja, Polres Jakarta Utara dan beberapa perwira tinggi selama kejadian itu.

Melalui proses yang panjang dan cukup berbelit, kasus pelanggaran HAM inipun dianggap telah selesai.

Referensi :

1. 23 Tahun Peristiwa Tanjung Priok 1984: Pelaku dibebaskan, korban terus menjadi korban. Kontras.org 

2. Tragedi Tanjung Priok: Dari Provokasi, Subversi, hingga Pelanggaran HAM, Kompas.com

3. Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru Menghabisi Umat Islam. Tirto.id

4. #MasihIngat dan Suara Lirih Korban Tragedi Tanjung Priok, CnnIndonesia.com

***

By BungLomi

Stay Hungry, Stay Foolish!

2 replies on “Tanjung Priok, 12 September 1984”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *